Kesaksian Warga Desa Kamboja Hempaskan Megaproyek Cina (Bagian 1)

Penduduk desa yang menerima kompensasi untuk meninggalkan tanah terus memprotes, mengklaim mereka diperlakukan tidak adil oleh UDG.(Andrew Nachemson / Al Jazeera)
dakwatuna.com – Phnom Penh. “Aku seorang warga Kamboja, aku tidak ilegal di sini,” kata Se Say Hieng, salah satu penduduk desa yang menolak meninggalkan tanah yang kini menjadi milik China Union Development Group (UDG).

Pembangunan pelabuhan dan resor di kota Koh Kong, barat daya Kamboja, telah dimulai sejak 2008. Ketika kelihatan proyek mengalami kemacetan, penduduk desa mengklaim terus diteror pihak berwenang karena tidak mau meninggalkan tanah sewaan.

UDG diberi sewa 99 tahun pada 20 persen garis pantai Kamboja, dengan harga murah yang kurang dari $ 100 per hektar per tahunnya. Perlu dekrit kerajaan sehingga wilayah itu siap untuk dikembangkan.

Daerah yang disewakan lebih dari tiga kali ukuran batas legal untuk konsesi lahan, kata penduduk desa dan kelompok-kelompok hak asasi manusia.

Proyek ini telah meningkatkan peringatan atas implikasinya terhadap kedaulatan Kamboja, kerusakan lingkungan dan hak asasi manusia.

Laporan PBB tahun 2012 mengatakan, ribuan penduduk desa setempat telah digusur. Sementara kelompok hak sipil lokal Licadho mengatakan beberapa rumah dibakar dan dibongkar paksa.

“Sejak Cina datang ke sini tahun 2008 lalu, selalu ada masalah yang timbul,” tutur Say Hieng.

Hubungan dekat Kamboja dan Cina bertepatan dengan tindakan keras terhadap hak-hak politik dan asasi manusia.

Kecenderungan menuju otoritarianisme memaksa para donatur Barat untuk menjauh. Namun PM Kamboja Hun Sen tidak merasa rugi dan segera menggant Barat dengan pundi-pundi dari Cina. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran adanya keuntungan yang diambil Beijing dari Kamboja.

Say Hieng dan suaminya tinggal di salah satu dari empat rumah yang masih berdiri di sepanjang pantai selatan Taman Nasional Botum Sakor.

Mereka kehilangan lahan pertanian mereka untuk UDG bertahun-tahun yang lalu. Tapi masih menjalankan bengkel motor di luar rumah mereka.

Ketika ditanya mengapa dia memilih untuk melawan pemerintah Kamboja dan perusahaan Cina multi-miliar dolar, Say Hieng menjawab dengan sederhana.

“Kami tinggal di sini sudah sangat lama, 24 tahun,” katanya.

“Aku di sini untuk menunjukkan bahwa tempat ini masih milikku, dan perusahaan itu tidak bisa memaksa orang untuk pergi tanpa izin pemiliknya.”

Pelabuhan yang belum selesai, bagian dari pembangunan kembali Cina, membentang ke Teluk Thailand. (Andrew Nachemson / Al Jazeera)
Sementara itu, ribuan keluarga memilih menerima kompensasi dan pergi meninggalkan kampung halaman mereka.

Say Hieng mengatakan, ia dan penduduk desa lainnya yang tersisa – hanya empat keluarga yang tersisa – diancam secara teratur.

Pada 22 Mei, pengadilan memanggilnya dan mengatakan pihak berwenang akan merobohkan rumahnya dalam waktu dua pekan.

“Sebelumnya aku takut tidak bisa tidur, tetapi sudah lama itu menjadi hal yang normal,” katanya.

“Pengadilan memang seperti itu,” timpal suami Say Hieng.

Ketika negosiasi dimulai, Hieng mengatakan perusahaan menolak memberi kompensasi kepada keluarga untuk lebih dari lima hektar lahan dan hanya mengakui satu rumah per keluarga.

Suami almarhum Nhen Moeun, Prak Thon, adalah salah satu orang pertama yang pindah ke daerah itu, Pouy Japon, pada tahun 1980.

Dia membangun rumah keluarganya dan membantu membangun pagoda kota.

Makam Thon terletak di samping rumahnya, terlepas dari kenyataan bahwa istrinya meminta berulang kali untuk tidak dikubur di sana.

Pagoda itu tetap berdiri, tetapi dinaikkan – para biarawan dipaksa untuk pergi.

Bersambung . . .

Konten ini telah dimodifikasi pada 21/09/18 | 18:36 18:36

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...