Muslim Uighur Berbicara Tentang Kebengisan Cina (Bagian 3/ Akhir)

Post media sosial pemerintah pada April 2017 menunjukkan tahanan di sebuah kamp di Prefektur Hotan [Gambar yang diperoleh oleh HRW/ Al Jazeera]

Belkez mengatakan pihak berwenang mengambil putrinya yang berusia tiga setengah tahun pada tahun 2017 (Ted Regencia / Al Jazeera)
Larangan Ramadhan

Belkez, wanita Uighur 38 tahun yang saat ini tinggal di Istanbul mengatakan, Otoritas Cina membawa ibu, ayah dan suaminya ke kamp pendidikan ulang pada April 2017 lalu.

Ia tidak tahu keberadaan putrinya yang berumur tiga tahun, yang juga dibawa oleh pihak berwenang.

Belkez, yang adalah mantan pegawai pemerintah lokal di Urumqi, dan lima anaknya berangkat ke Mesir pada September 2016.

Ia berharap suami dan anak bungsungnya menyusul segera setelah itu. Seperti Turki, Mesir juga menawarkan visa kedatangan bagi Muslim Uighur.

Tapi suami dan bayi perempuannya itu tak kunjung mendapatkan paspor. Kali terakhir ia berbicara dengan suaminya adalah pada 01 April 2017, hanya beberapa hari sebelum penahanan.

“Aku tak pernah berpikir bahwa itu adalah kali terakhir kami saling berbicara satu sama lain,” kata Belkez kepada Al Jazeera. Ia bercerita sambil menahan air matanya.

Bertahun-tahun penindasan pemerintah, termasuk larangan hijab dan puasa selama Ramadhan, mendorong keluarganya untuk meninggalkan Xinjiang, tutur Belkez.

Belkez dan lima anaknya bertahan di Mesir selama sembilan bulan, sebelum kemudian memutuskan untuk pindah ke Turki.

Rebiya, mantan penduduk Urumqi berusia 43 tahun, meninggalkan Xinjiang bersama dua anaknya, yang berusia 12 dan tiga tahun, pada 28 Januari 2017. Empat bulan kemudian, ia berharap suaminya akan menyusul. Namun, sang suami ditangkap di bandara Urumqi dan kemudian dikirim ke tahanan.

Ia tidak lagi mendengar kabar dari keluarganya sejak Oktober 2017, dan sejak itu ia pun berhenti membuat kontak apapun dengan keluarga untuk menghindari masalah yang lebih besar lagi.

Rebiya juga mengenang kerusuhan tahun 2009. Saat itu, ia melihat sendiri pasangan Muslim Uighur anak mereka yang masih berusia empat tahun terbunuh dalam serangan pisau.

“Rasa sakit dan penderitaan terpisah dari keluarga, tanpa pengetahuan tentang apa yang terjadi pada orang yang mereka cintai sangat kontras dengan klaim Beijing bahwa Muslim Turki ‘bahagia’ dan ‘bersyukur’,” kata Richardson dari HRW.

Kehidupan Baru di Istanbul

Tarim sekarang tinggal di Turki bersama keluarganya, yang telah melarikan diri sebelumnya (Ted Regencia / Al Jazeera)
Sama seperti suami Rebiya, Tarim bisa saja mengalami nasib yang sama di bandara internasional Urumqi. Namun ia berhasil menyelinap keluar.

Tangan Tarim tampak bergetar saat hendak menceritakan pada Al Jazeera detik-detik penting dari pelariannya itu.

Ia menggelengkan kepala berulang kali karena tidak percaya.

Bahkan setelah tiba di Astana untuk penerbangannya ke Istanbul, Tarim masih takut dipulangkan kembali ke Cina.

Pemerintah Kazakhstan telah dituduh mendeportasi warga Uighur ke Xinjiang, menurut Radio Free Asia yang didanai AS dan Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur.

Bagi Tarim, jam-jam yang dihabiskannya selama singgahnya di Astana adalah sebuah siksaan.

“Bagaimana jika pihak berwenang di Cina menghubungi Kazakhstan untuk mendeportasinya,” Tarim bertanya-tanya dengan gugup.

Dia tiba di Istanbul pada 11 April 2017, untuk memulai hidup baru, bergabung dengan istri dan anak-anaknya, yang telah melarikan diri ke Turki lebih awal.

Tarim mengatakan, ia masih mengkhawatirkan keselamatannya, dan keluarga yang ditinggal. Itulah sebab yang membuatnya masih ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya.

“Tetapi dunia harus tahu apa yang dilakukan pemerintah Cina kepada Muslim Uighur. Bahkan anjing memiliki hak lebih daripada orang Uighur di Cina.” (whc/dakwatuna)

Konten ini telah dimodifikasi pada 11/09/18 | 11:10 11:10

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...