Muslim Uighur Berbicara Tentang Kebengisan Cina (Bagian 1)

Post media sosial pemerintah pada April 2017 menunjukkan tahanan di sebuah kamp di Prefektur Hotan [Gambar yang diperoleh oleh HRW/ Al Jazeera]
dakwatuna.com – Beijing. Pada April 2017, Tarim, pria 48 tahun-pebisnis besar dari Urumki, ibu kota provinsi Xinjiang Cina, mendapat sebuah telepon. Rupanya, telepon itu dari polisi dan memanggilnya ke kantor kepolisian di Prefektur Aksu, 900 km ke arah barat daya.

Tarim tahu bahwa ia dalam kesulitan dan segera mencari jalan keluar, menjaga detail untuk dirinya sendiri. Dia hanya punya waktu beberapa jam saja untuk melaksanakan rencananya.

Dua hari sebelumnya, Tarim berada di Aksu untuk menyelamatkan adiknya, Zohra. Sang adik telah dikirim ke “kamp pendidikan ulang”, setelah bepergian ke Turki bersama Tarim dan ibu mereka pada tahun 2016.

Dengan membayar 20.000 yuan Cina ($ 2.900), Tarim meyakinkan para pejabat untuk diberi izin mengunjungi saudara perempuannya itu. Awalnya, ia bermaksud menggunakan uang tersebut untuk membebaskan adiknya. Namun, dia diberitahu bahwa itu tidak mungkin.

Apa yang ia lihat di dalam kamp adiknya itu membuatnya yakin bahwa sudah tiba waktunya untuk meninggalkan Xinjiang, aku Tarim.

Pengakuan Tarim tentang apa yang terjadi pada Muslim Uighur, dan wawancara dengan dua Muslimah Uighur di Istanbul, sejalan dengan laporan Human Rights Watch (HRW) yang menyebut Cina melakukan “kampanye pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis” terhadap kelompok minoritas Muslim berbahasa Turki itu.

Adik Tarim ditahan bersama hingga 3.000 orang lainnya di dekat pangkalan militer beberapa kilometer di utara Xayar, sebuah kota di Aksu.

Pagar setinggi lima meter dengan kawat berduri membuat kamp aman dan jauh dari pandangan publik. Di luar, terdapat plakat bertuliskan” “Tidak ada Komunis, Tidak ada Cina”.

Tarim harus melewati dua gerbang keamanan untuk mencapai pintu masuk utama, yang dijaga oleh dua pria berseragam. Sekitar 30 meter dari pintu masuk ada pos pemeriksaan keamanan lain dengan sekitar 25 tentara dan personil berseragam berdiri di samping kendaraan lapis baja.

Sambil menunggu saudara perempuannya, Tarim mengatakan dia melihat sekelompok sekitar 500 orang berjongkok di tanah.

Sepertinya mereka baru saja tiba, karena mereka berganti dari pakaian biasa, menjadi seragam biru cerah yang dikeluarkan oleh kamp. Rambut di kepala mereka telah dicukur bersih.

Saat itu pukul tujuh malam ketika Tarim tiba di kamp, tetapi matahari masih terjaga, jadi ia berhasil mengenali beberapa wajah di antara kerumunan dari lingkungan di Aksu.

Setelah sekitar satu jam, adik perempuan Tarim yang berusia 33 tahun, Zohra, akhirnya dibawa ke ruang tunggu. Mereka hanya diberi waktu berbicara sangat singkat.

Tarim memperhatikan Zohra tidak seperti biasanya dan mengatakan bahwa adiknya itu tampak pucat. Bintik-bintik gelap terbentuk di sekitar matanya, yang dipenuhi dengan air mata.
Ketika mereka berbicara, seorang penjaga wanita dan dua pria mengawasi mereka.

Zohra bercerita bahwa ia perlu menyelesaikan sejumlah “pelajaran” dan menjalani tes sesudahnya. Jika lulus ujian, maka ia akan dibebaskan.

Zohra tak pernah mengatakan berapa lama akan tinggal di kamp, dan Tarim juga tidak pernah tahu. Setelah berbicara selama 10 menit, Tarim berjalan menuju luar gedung.

Bersambung . . .

Konten ini telah dimodifikasi pada 11/09/18 | 09:50 09:50

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...