Bukan Permulaan yang Mudah Bagi Erdogan

Jabat tangan antara Erdogan dan Trump disaksikan Presiden Prancis (tengah). (Anadolu)
dakwatuna.com – Ankara. Hasil dari Pertemuan NATO pada 11-12 Juli lalu bukan suatu yang buruk. Mungkin Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tak mendapatkan yang ia kehendaki. Namun bagaimanapun, tak ada seorangpun dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Kanselir Jerman Angela Merkel, maupun Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang memperoleh yang dikehendaki.

Aliansi Barat mengadopsi strategi baru menghadapi Rusia dan Cina yang mulai merebut kekuasaan. Meskipun tak ada satu dari mereka yang berbicara lantang soal ini, dengan peningkatan terorisme serta pernyataan AS yang menuntut para sekutunya meningkatkan kontribusi terhadap pertahanan mereka.

Namun, ada referensi khusus yang mengakomodir kekhawatiran Turki dalam Deklarasi Pertemuan. Artikel ke-23 dari deklarasi pasal 79 pada 11 Juli mengatakan: “Langkah-langkah kepastian terus dilakukan untuk menyediakan kebutuhan dasar dalam hal jaminan dan pencegahan. Sebagai tambahan, langkah-langkah pasti juga disesuaikan bagi Turki untuk mengatasi ancaman keamanan dari selatan, yang juga berkontribusi pada keamanan Aliansi secara keseluruhan, dan akan sepenuhnya dilaksanakan.”

Itu adalah pengakuan atas tuntutan sah Turki tentang solidaritas dalam Aliansi, sejak deklarasi menyatakan area ancaman baru sebagai berikut:

Pertama: Terorisme didorong oleh instabilitas di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara,

Kedua: Migrasi tidak teratur dan perdagangan manusia didorong oleh alasan yang sama,

Ketiga: Krisis yang sedang berlangsung di Suriah, tetangga selatan Turki dengan perbatasan darat sepanjang 910 kilometer.

Benar bahwa sebelum pertemuan, Menlu Turki Mevlut Covusoglu menyebut pertahanan udara kolektif NATO hanya bisa mencakup 30% wilayah udara Turki. Itulah sebab yang melatarbelakangi pembelian sistem pertahanan udara S-400 milik Rusia. karena sangat tidak mungkin untuk membeli sistem pertahanan NATO ‘Patriot’ dari AS.

Jaminan dalam Deklarasi Pertemuan tampak mengakomodir kekhawatiran Turki tersebut. Selain itu, keputusan Itali mempertahankan baterai Patriot-nya di Turki hingga satu tahun mendatang juga dinilai positif.

Selama Pertemuan NATO, Erdogan tak menggelar pertemuan bilateral dengan Trump seperti sebelumnya. Namun keduanya terlibat percakapan singkat saat memasuki markas NATO, di depan kamera dan pemimpin lainnya. Untuk mengamankan situasi, Erdogan hanya menggelar pertemuan bilateral dengan Merkel dan Macron.

Selain itu, Erdogan juga menghadapi tantangan lain yaitu penurunan nilai tukar lira terhadap dolar Amerika. Satu Dolar AS bernilai 4,69 lira, terendah pada 11 Juli. Pada jam-jam awal tanggal 12 Juli, lira mencapai rekor terendah yaitu 4,97 dan berada di 4,85 saat pasar ditutup pukul 17:00.

Menurut sebagian ahli, penurunan terjadi dipicu pernyataan Erdogan tentang ekonomi dalam perjalanannya dari Baku ke Ankara, dan laporan berita sampai jam itu diembargo. Saat itu, Erdogan meyatakan, suku bunga akan turun ketika tingkat inflasi diturunkan, dan Menteri Keuangan Berat Albayrak akan melakukan apapun untuk itu.

Erdogan menambahkan, Albayrak – yang juga menantunya – punya latar belakang di bidang keuangan, baik teori maupun praktik. Erdogan juga yakin menantunya itu akan segera mengendalikan situasi.

Di hari yang sama, ada sejumlah keputusan pertama yang diambil dalam sistem pemerintahan yang baru. Di antaranya penunjukan Gubernur Bank Sentral, Wakil Gubernur dan anggota Dewan Kebijakan Moneter (PPK).

Pada 12 Juli, Albayrak menyebut pemerintah tak akan membiarkan independensi Bank Sentral jadi sasaran spekulasi di pasar, dan targetnya adalah menurunkan inflasi ke level satu digit lagi.

Itu semua bukan awal yang mudah bagi Erdogan. Namun tampaknya Erdogan tak akan tergoyahkan oleh itu semua. Erdogan tetap bertekad untuk memacu sistem baru yang baru saja diluncurkannya. (whc/dakwatuna)

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...