Topic
Home / Berita / Internasional / Amerika / ‘Runtuhnya Barat di Depan Mata’

‘Runtuhnya Barat di Depan Mata’

Sela-sela Pertemuan G7 di Kanada lalu. (Time)
dakwatuna.com – Doha. setelah pertemuan negara-negara Kelompok 7 (G7) di Kanada, tak diragukan lagi bahwa ada krisis di Barat. Memang benar negara-negara Barat acap kali berbeda dalam kebijakan luar negeri. Namun hal itu masih dalam satu koridor ideologi bersama. Sementara saat ini, keruntuhan mulai tampak akibat kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) yang dikenal dengan ‘America First’.

Serangan dan kecaman Trump kepada para sekutunya sangat tampap dengan jelas. Seperti saat ia mengatakan, “Para sekutu tak akan dibiarkan untuk mengeksploitasi kami atas nama perdagangan.” Terlepas dari dukungan tanpa syaratnya pada Arab Saudi dan Israel, tampaknya Trump siap menghancurkan kesepahaman strategis yang selama ini dilestarikan antara AS dan sekutunya.

Beberapa tahun sebelumnya, sangat mustahil bagi AS menolak menandatangani pernyataan bersama G7. Juga tak terpikir oleh siapapun AS akan menyerang pemimpin Kanada, seperti yang dilakukan Trump kepada PM Kanada Justin Trudeau. Kala itu, Trump menyebut Trudeau sebagai “sosok lemah dan tak dapat dipercaya”.

Setelah bertemu dengan diktatot Korea Utara Kim Jong-un, Trump baru mengklaim hubungannya dengan Trudeau sangat baik. Ia juga mengaku menikmati hubungan baik dengan Presiden Kim di waktu yang sama.

Jika keburukan moral adalah satu-satunya masalah pemerintahan Trump, maka itu jelas. Namun pemerintahan ini juga berusaha menjalankan kebijakan konkret yang melemahkan aliansi AS dengan sekutunya.

Pertemuan G7 menjadi ajang untuk saling melontarkan tudingan. Sementara pertemuan serupa juga digelar di Qingdao, Cina. Pertemuan ini dihadiri oleh Cina, India, Kazakhstan, Kirgistan, Pakistan, Rusia, Tajikistan, dan Uzbekistan.

Surat kabar pemerintah Cina bahkan menyebut pertemuan antara Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin jauh lebih ramah daripada pertemuan Trump dengan pemimpin G7.

Trump sejauh ini belum berhasil memasukkan kembali Rusia ke G7, yang dikeluarkan karena mencaplok Krimea tahun 2014 lalu. Namun ada satu hal yang tidak dapat dihindarkan, yaitu: polarisasi geopolitik yang ekstrem.

Perpecahan pemerintahan global sangat bertentangan dengan kepentingan Barat. Daripada mengalami kemerosotan pengaruh, para pemimpin Barat harus lebih menjalin kerja sama untuk mencari solusi dari permasalahan-permasalahan global. Mereka juga harus membentuk forum dialog – seperti G20, yang mengumpulkan kekuatan-kekuata besar hari ini.

Tapi pendekatan rekonsiliasi Trump ke Rusia tampaknya menghadapi rintangan panjang. Kebijakan luar negeri Putin tampaknya bermusuhan dengan pengaturan keamanan Barat. Praktis hubungan Trump dengan Kremlin menimbulkan kekhawatiran serius domestik maupun internasional.

Setelah berpikir, Trump menegaskan komitmennya pada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tahun lalu. Tapi itu bukan berarti ketegangan telah memudar: Trump terus mendesak anggota NATO untuk meningkatkan belanja militer mereka.

Tampaknya Trump tidak memahami bahwa peningkatan anggaran seperti itu tidak akan masuk ke anggaran NATO, atau untuk membayar perlindungan Amerika, melainkan untuk memperkuat kemampuan pertahanan masing-masing negara.

Sangat jelas bahwa Trump lebih nyaman berinteraksi dengan negara lain secara bilateral. Maka tidak heran jika Uni Eropa (kubu pluralisme) tidak diliriknya.

Namun sejarah mencatat, Amerika dan Eropa akan semakin kuat saat mereka saling membantu satu sama lain, bekerja sama berdasarkan nilai-nilai bersama. Preferensi Trump untuk strategi “membagi dan memerintah” akan menjadi kerugian bagi Barat dan dunia pada umumnya. (whc/dakwatuna)

Redaktur: William

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 4.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization