dakwatuna.com – Alkisah di suatu negeri ada saudagar yang shalih memulai usaha dari modal kecil hingga saat ini sangat kaya raya. Dengan kekayaannya tentu ia dapat mempunyai apa pun yang dia mau, satu dua tahun berlalu kekayaannya tambah berlimpah, wanita-wanita memenuhi harinya, fasilitas mewah menyertai kehidupannya, kesenangan duniawi selalu siap menemaninya. Sebab, kekayaannya melimpah ruah. Tapi itu semua dia lakukan dengan menentang peraturan Rabbnya tidak seperti dahulu dengan keshalihannya, sekarang segala cara ia halalkan agar hartanya terus bertambah dan bertambah, namun hatinya tidak dapat dibohongi ia tetap merasa sepi sunyi pada lubuk hati terdalamnya, tetapi ia tidak paham apa yang hilang darinya.
Di lain kisah hidup sosok sederhana, jujur, berwatakkan tenang serta murah senyum, hari-harinya ia habiskan untuk bertani, tidak lupa setiap paginya diiringi pula dengan shalat duha, sebagai bentuk ikhtiar agar segala macam rezeki dimudahkan oleh Rabb-Nya, juga amalan sedekah tidak pernah terlewatkan, ayat-ayat Quran selalu terlafazhkan dari bibirnya, hatinya tenang sebab dipenuhi dengan kedekatan dirinya terhadap Rabb-Nya, walaupun kehidupan kesehariannya dipenuhi keterbatasan namun hatinya tenang dan senantiasa mensyukuri segala nikmat Rabbnya yang ia dapatkan hingga detik ini.
Al-Hafizh Ibn al-Jauzi dalam kitabnya, Shaid al-Khaitir menuturkan bahwa andai saja orang yang melakukan maksiat menyadari betapa kenikmatan maksiat itu hanya sesaat, kemudian setelah itu dia merasakan akibat kemaksiatannya, yaitu kemurkaan Allah, dosa, dan siksa-Nya, maka orang itu tidak akan sanggup melakukan maksiat.
Namun yang terjadi adalah, orang itu terpesona dengan kenikmatan maksiat, berzina dan berzina, memakan riba, berbohong, korupsi, mencuri, menipu. Baginya kemaksiatan tidak berdampak apa pun terhadap kehidupannya, dia tetap enjoy dengan kebergelimangan maksiat. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan orang yang seperti ini?
Ibn al-Jauzi memberikan jawaban “kemaksiatan itu diganjar dengan kemaksiatan”. Ketika seseorang melakukan suatu maksiat, lalu diikuti maksiat berikutnya itu sesungguhnya siksaan Allah, tetapi dia tidak merasa sedang disiksa Allah, dengan diambilnya kelezatan kedekatan dengan Rabbnya, tidak dapat merasakan nikmatnya ketaatan, shalat dan doanya kehilangan ruhnya, karena tidak lagi merasakan kenikmatan itu, dia pun mulai meninggalkan shalat, serta Qurannya karena baginya Al-Quran dan shalat hampa saja terasa olehnya, dia pun jauh semakin jauh dari ketaatan.
Bila tanda-tanda tadi menghinggapi diri-diri ini maka bersegeralah kembali kepada-Nya, agar setitik kenikmatan keimanan tidak lenyap dari hati ini, agar suara keimanan tidak hilang saat kita terperdaya ingin melakukan maksiat, sebab hal yang tidak dapat diprediksi hingga saat ini adalah trafik naik dan turunnya keimanan.
Sesungguhnya maksiat itu membunuh kelezatan ketaatan kepada Allah, dalam Al-Quran surat Ali-Imran ayat 8 terdapat doa agar Allah jaga keimanan setiap insan, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami. Dan karunialah kepada kami rahmat dari sisi engkau. karena Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi karunia.” Aamiin allahumma aamiin. (dakwatuna/hdn)