Gadis Palestina Berjuluk ‘Malaikat Rahmat’ Itupun Gugur

Pemakaman Razan al-Najjar. (Aljazeera)
dakwatuna.com – Jalur Gaza. Sabreen al-Najjar tak menyangka harus mengeluarkan begitu banyak air mata sore itu. Gadis yang ia lahirkan dan besarkan, gugur oleh ganasnya penembak jitu Zionis Israel.

“Dia berdiri dan tersenyum kepadaku. Dia bilang akan pergi ke medan aksi,” kenang wanita 43 tahun itu kepada Aljazeera.

Aksi tersebut telah memasuki Jumat yang ke-10 sejak pertama kali digelar pada 30 Maret silam. Putri Sabreen, Razan, senantiasa hadir di medan aksi, sebagai volunter paramedis untuk membantu korban yang terkena peluru Israel.

“Dalam sekejap mata ia keluar dari pintu. Aku berlari ke balkon untuk melihatnya di luar. Tapi derap langkah telah mengantarnya ke ujung jalan,” kata Sabreen Sabtu kemarin.

Kala itu, sanak saudara, sahabat dan pasien yang pernah dibantu Razan tak dapat menyembunyikan kesedihan mereka.

“Dia terbang layaknya burung di hadapanku.”

Saksi di medan aksi Khuza’a menuturkan, saat itu Razan mendekati pagar perbatasan. Dengan pakaian medisnya, ia berdiri 100 meter di hadapan pasukan Israel bersenjata lengkap, sambil mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia tidak menimbulkan ancaman.

Saat itu, Razan hendak mengevakuasi seorang pengunjuk rasa yang terluka di dekat pagar.

Namun, Razan justru ditembak dengan amunisi hidup. Peluru tunggal itu masuk melalui dada, menembus tubuh bagian belakangnya.

Razan menjadi korban gugur ke 119 sejak aksi besar-besaran itu digelar. Sementara lebih dari 13.000 orang cidera dalam aksi damai menuntut hak-hak warga Palestina yang dirampas sejak 1948 silam tersebut.

Rekan Razan sesama petugas medis. (Aljazeera)
Tak Ada Pengunjuk Rasa

Rida Najjar, seorang tenaga medis juga, bercerita detik-detik tertembaknya Raza. Kala itu, ia berdiri di samping gadis 21 tahun tersebut.

“Ketika memasuki pagar untuk mengevakuasi korban, pasukan Israel menembakkan gas air mata ke arah kami,” kata Rida yang berusia 29 tahun tersebut.

“Kemudian seorang penembak jitu melesakkan peluru, yang langsung mengenai Razan. Pecahan peluru itu juga melukai tiga orang dari tim kami.”

“Awalnya Razan tak menyadari bahwa ia telah tertembak. Namun kemudian tangisnya pecah sambil berujar, “Punggungku, punggungku!”, dan tersungkur ke tanah.”

“Identitas kami sangat jelas terlihat dari seragam, rompi dan tas medis yang kami bawa,” imbuh Rida. “Tidak ada pengunjuk rasa lain saat itu. Hanya kami.”

Menyelamatkan Nyawa dan Mengevakuasi Korban Luka

Pada 20 April lalu, Aljazeera berkesempatan mewawancarai Razan. Kala itu, ia menyebut “punya tugas dan tanggung jawab” untuk hadir di tengah-tengah aksi dan membantu para korban.

“Tentara Israel berniat menembak sebanyak mungkin yang mereka mau,” katanya saat itu. “Itu sangat gila. Aku akan sangat malu jika tidak ada di sana untuk rakyatku.”

Bulan lalu, Razan juga berbicara kepada New York Times. Kepada media Amerika itu, ia menyampaikan antusiasmenya dalam menjalankan tugas.

“Kami punya satu tujuan – untuk menyelamatkan nyawa dan mengevakuasi korban,” katanya. “Tugas ini untuk negara kami.”

Ibu Razan (Berkaca mata). (Aljazeera)

Razan juga menolak anggapan banyak orang soal perempuan yang bekerja di lapangan. Ia sendiri harus bekerja selama 13 jam, dimulai pukul 07:00 hingga 20:00.

“Perempuan sering dijustifikasi, tapi masyarakat harus menerima kami,” kata Razan. “Jika mereka tak ingin menerima kami sebagai pilihan, maka mereka akan dipaksa menerima kami. Karena kami punya kekuatan lebih dari siapapun.”

Sabreen menuturkan, putrinya selalu berada di garda terdepan sejak aksi dimulai 30 Maret lalu. Dan itu dilakukan tidak hanya pada hari Jumat. Wajah Razan menjadi sangat familiar di perkemahan Khan Yunis, satu dari lima perkemahan yang dipasang di sepanjang pagar timur Gaza.

“Dia tak pernah memperdulikan apa yang orang katakan,” lanjut Sabreen. “Dia hanya konsentrasi dengan pekerjaannya sebaga relawan medis, yang mencerminkan kekuatan dan tekadnya.”

“Putriku tak punya senjata. Ia adalah tenaga medis,” imbuhnya. “Dia memberikan semuanya kepada orang-orang.”

Menurut tenaga medis di lapangan, tentara Israel menembaki para pengunjuk rasa dengan peluru beraneka.

Sabreen melanjutkan, “Putriku sengaja ditembak dengan peluru eksplosif. Sebuah senjata yang dianggap ilegal oleh hukum internasional.”

“Aku menuntut PBB melakukan investigasi, sehingga pembunuhnya dapat diadili dan dihukum,” katanya. Sabreen menggambarkan pasukan Israel “brutal dan tak kenal ampun”.

Sabreen kemudian terdiam.

Ketika kembali bersuara, kata-katanya justru membuat tangis wanita di sekitarnya pecah.

“Aku berharap bisa melihatnya dengan gaun pengantin berwarna putih, bukan kain kafan,” ungkapnya.

(Aljazeera)
Malaikat Rahmat

Pemakaman Razan pada hari Sabtu (02/06) itu dihadiri oleh ribuan orang.

Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan tangis para sahabatnya di rumah sakit. Rasa kaget dan duka tergambar jelas di wajah mereka.

Tagar berbahasa Arab yang berarti ‘Malaikat Rahmat’ bergema di jagat twitter sebagai gambaran tentang sosok Razan.

Sebelum pemakaman dilakukan, ayah Razan mengulurkan rompi medis berwarna putih yang telah berlumur darah.

“Ini senjata yang dibawa Razan,” kata sang ayah kepada awak media. Ia kemudian merogoh saku rompi dan mengeluarkan kapas serta perban.

“Ini juga senjatanya,” katanya lagi.

Sementara itu, Israel mengaku akan menyelidiki gugurnya Razan al-Najjar. Namun, Zionis itu juga tetap menyalahkan Hamas atas semua yang terjadi di Jalur Gaza.(whc/dakwatuna)

Konten ini telah dimodifikasi pada 03/06/18 | 08:51 08:51

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...