Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kabari, Jangan Lari

Kabari, Jangan Lari

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (downloadwallpapers.net)

Hidup bagaikan gema,
Atau seperti saat kau melempar bumerang
Apapun yang kau berikan di dalamnya, kan kau dapati ia berbalik utuh padamu

dakwatuna.com – Pernah merasa gak dihargai? Ketika kita udah berusaha ngeluangin waktu, bahkan lebih dari seminggu sebelumnya tapi yang punya janji malah telat mengabari untuk membatalkan pertemuan. Atau bahkan gak ada kabar samsek pas hari H. Dan karena menunggunya, kamu harus melewatkan sebuah acara di mana ada penulis favoritmu. Acaranya meet and greet gratis, di mana kamu punya kesempatan buat ketemu dan denger langsung pemikiran sang author untuk pertama kalinya.

Aku mengalaminya hari itu. Rasanya? Jangan ditanya. Kesel, marah, bete, pokoknya semua emosi campur jadi satu. Bukan soal harus nunggunya. Tapi soal kesempatan emas yang terlewatkan gegara urusan itu. Berasa pengen nangis sambil salto kalo bisa. Tapi gak bisa karena malu lagi banyak orang dan aku gak bisa salto#Plak. Oke tapi serius rasanya nyesek abis.

Hingga akhirnya sekelebat memori tentang episode pahit beberapa minggu ke belakang menampar kesadaranku. Episode ‘kecewa’ hari ini seolah de javu.

Bak bumerang yang kulempar pada orang lain lalu akhirnya berbalik keras ke arahku. Seketika aku teringat episode ‘mengecewakan banyak pihak’ di mana dosen pembimbing PPL kubuat menunggu seharian karena aku tidak mengabari secara jujur bahwa laporanku belum selesai. Saat itu aku terlalu takut membuat beliau marah karena waktunya bahkan melebihi deadline. Juga guru pamong yang pesannya sering telat kubalas dengan alasan baru ada kuota. Dan jangan lupakan kawan-kawan sejurusan yang terhambat penyerahan laporannya karena harus dikumpul berkelompok.

Bak digodam oleh peristiwa zhalim yang menimpaku hari itu, aku tersadar. Bahwa semua yang kulakukan kemarin-kemarin itu bukan perkara sepele di mana aku salah, minta maaf, lalu selesai. Aku malah menghindar dengan dalih dalam hati bahwa: ada-amanah-lain-yang-gak-kalah-penting, gapapalah-telat-dikit-toh-masih-ada-waktu.

Padahal ada opsi lain untuk jujur pada dosenku, mengabari belum selesai, bilang belum bisa ngadep pagi itu. Lalu perkara balasan chat yang sering telat bahkan berhari-hari, bisa saja aku ikut chat ke temen buat ngabarin guru pamongku supaya gak bikin beliau suuzhon dan bete. Saat itu aku lupa bahwa Allah Maha Mengaturkan yang terbaik sehingga terlalu pengecut untuk menghadapi konsekuensi dari kelalaianku. Egois. Gak mikirin perasaan dan waktu orang lain yang terenggut sia-sia. Dan semuanya terbayar kontan. Ketika Allah memosisikanku di sisi yang sama dengan dosen dan guru pamongku. Barulah aku paham kenapa perkara menjaga amanah dan menjadi muslim yang kredibel itu teramat penting.

Ketika kita meminta waktu orang lain, adalah sebuah pilihan yang berat ketika orang itu bersedia meluangkan waktunya saat ia punya kesempatan melakukan hal penting lainnya. Menuntaskan amanah yang tengah dipegang. Atau kesempatan untuk menambah kapasitas dirinya lewat kegiatan-kegiatan positif lain.

Lalu, dengan seenaknya kita malah ‘menggampangkan’ pengorbanannya

Ngaretlah, entah semenit dua menit atau berjam-jam. Gak bisa hadir karena hal yang insidental mungkin.  Lalu kita telat ngabarin atau parahnya gak ada kabar sama sekali pas hari H. Lantas kita berdalih dengan berbagai alasan dan berharap orang tersebut tidak berprasangka macam-macam.

Emang sih sebagai muslim kita disuruh keep positif thinking ama saudara sendiri

Tapi selalu minta dimaklumi bisa bikin kita bermental ‘korban’ di mana kita kehilangan kendali atas diri kita. Padahal Allah juga memberitahu bahwa Ia membenci kezhaliman dan menyuruh kita memudahkan urusan orang lain loh! Rasulullah saw juga dengan gamblang mencontohkan untuk aktif ngasih penjelasan (bukan alasan) agar orang lain gak suuzhon dan jadi kepikiran. Maka di samping berusaha amanah, jangan pernah menggampangkan urusan ‘konfirmasi’ ini

Selepas episode ‘mengecewakan beberapa orang’ kala itu, aku merasa menjadi manusia paling buruk. Bertanya-tanya ‘kenapa gua gini-gini amat’. Kenapa begitu pengecut, egois, zhalim ama sodara sendiri. Rasa-rasanya hampir putus asa karena lagi-lagi jatuh lagi ke lubang yang sama.

Alhamdulillah, sungguh Allah begitu baik. Teramat baik sekaligus tegas mendidik.

Allah masih berkenan mengingatkanku kala itu  bahwa “Tidaklah berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah kecuali orang-orang kafir”. Pada akhirnya memang Ia lah satu-satunya tempat kembali.

Maka aku berdoa supaya dosen dan guru pamongku gak marah lagi dan masih mau ngasih kesempatan. Tapi setelah kupikir-pikir gak tau malu banget ya kalo minta kek gitu? Boleh sih, tapi jatohnya jadi gak belajar buat berani bertanggung jawab atas setiap pilihan yang kubuat sebelumnya gak sih? Lalu aku mengganti doaku supaya Allah mau mengampuniku, meminta diaturkan yang terbaik, dan pasrah pada apa pun yang akan terjadi sebagai konsekuensinya. Pasrah, gimana Allah aja, lalu berusaha menghubungi dosenku kembali.

Dan Allah membuktikan janji-Nya. Dosen dan guru pamongku masih mau nerima laporan yang telat abis itu dan gak marah lagi. Seketika aku pengen nangis. Bertekad untuk gak ngulangin kesalahan yang sama. Gak mau lagi  bikin orang jadi ilfil sama saudara seimannya. Lebih-lebih gak mau bikin orang lain kehilangan kesempatan-kesempatan baik dalam hidupnya.

Insight baru yang kudapat adalah ‘jangan sombong’. Ketika Allah memperlihatkan betapa lemahnya manusia saat Allah kuasakan atas dirinya rasa malas, nafsu, mager, terjebak di zona nyaman, dan hal-hal semacem itu.

Pantas ya ada doa : Ya Allah.. janganlah kau serahkan aku pada diriku walau sekejap mata

Sebab setiap langkah terayun untuk menuju kebaikan, untuk istiqamah dalam kebaikan, itutuh bukan karena baik dan solehnya kita. Semua itu hanya karena nikmat dan karunia-Nya semata. Kebaikan itu berasal dari Allah, dan keburukan adalah buah dari pilihan buruk kita di masa sebelumnya.

Senantiasa introspeksi diri agar terus bertumbuh. Manusiawi saat kita khilaf. Keliru yang bikin kita ngerasa malu, gak guna, atau jadi orang terburuk sedunia saking gak ketulungannya kesalahan yang kita lakukan.

Tapi gapapa, beneran deh. Sebab Allah membesarkan hati setiap hamba-Nya bahwa: sebesar apapun kesalahan kita, ampunan-Nya jauh lebih besar.

Dan saat kekeliruan itu terlanjur dilakukan: hadapi, jangan lari

Wajar jika kita takut dengan konsekuensi yang harus diterima

Tapi kalo kita lari, masalah itu tetap akan ada dalam daftar antrian hidup. Menambah macet dan ruwet saat kita memilih menghindar. Maka seberat dan semenakutkan apapun badai itu, hadapilah. Perbaiki keyakinan kita ke Allah. Itu kunci utama menghadapi masalah, secadas apapun hidup yang sedang kita jalani.

Alhamdulillah ‘ala kulli hal. Beruntunglah yang bisa menangkap hikmah atas kejatuhannya. Atau yang belajar dari kejatuhan orang lain. Semoga Allah melindungi kita dari kesombongan dan beragam penyakit hati lainnya. Sebab hati adalah raja. Bersih dan lapangnya akan menjelma menjadi akhlak kece pemiliknya dan sebaliknya. Semoga bermanfaat. (dakwatuna/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Salah satu anak pendidikan Sejarah UPI 2014 yang hobi lintas alam.

Lihat Juga

Benarkah Kabar Wafatnya Mantan Mursyid IM? Berikut Penjelasan Pihak Keluarga

Figure
Organization