Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ikhlas Dan Dimensinya Dalam Kehidupan

Ikhlas Dan Dimensinya Dalam Kehidupan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi

dakwatuna.com – Kapankah terakhir kali Anda ikhlas? Apakah ketika Anda ikhlas tersebut sudah berada di titik paling ikhlas?

Ikhlas adalah salah satu sifat terpuji dan merupakan salah satu bentuk amal hati yang kedengarannya mungkin sangat tidak asing lagi di telinga kita. Kedudukan ikhlas berada di barisan paling depan dibandingkan dengan sifat terpuji dan amal hati yang lain, karena ikhlas merupakan kunci diterimanya sebuah amal dan sebab sempurnanya amal itu sendiri. Secara bahasa ikhlas artinya bersih, murni dan khusus. Sedangkan secara istilah, ikhlas didefinisikan sebagai suatu pengosongan maksud (tujuan) untuk bertaqarrub kepada Allah SWT dari segala macam noda (kehidupan).

Setiap amal perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan, tidak lepas dari istilah ikhlas. Terutama dalam konteks ibadah. Segala perbuatan yang dilakukan atas dasar niat karena Allah akan bernilai ibadah. Dan kunci diterimanya ibadah oleh Allah adalah ikhlas. Oleh karenanya ikhlas menjadi hal yang sangat vital dalam melakukan sesuatu. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 162:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Arti: “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

Dalam ayat ini Allah telah memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk senantiasa berkeyakinan bahwasanya shalatnya, ibadahnya, hidupnya dan juga matinya semata-mata harus dilakukan hanya untuk Allah SWT. Hal ini berarti seorang muslim hendaknya harus memiliki keyakinan yang kokoh mengenai segala sesuatu yang dilakukannya di dalam kehidupan harus diniatkan karena Allah, sekalipun itu perbuatan yang jauh sekali kaitannya dengan ranah ibadah. Seperti halnya ketika kita melihat batu di tengah jalan, kemudian kita memiliki inisiatif untuk menyingkirkannya agar tidak ada orang yang celaka akibat batu tersebut, dan hal ini kita lakukan dengan ikhlas dan diniatkan membantu sesama demi kemaslahatan bersama dan semata-mata mengharap rahmat Allah Ta’ala. Perbuatan seperti ini juga bernilai ibadah, karena ada unsur ikhlas di dalamnya yaitu dengan mengharap rahmat Allah semata, bukan yang lain.

Di sinilah kita dapat melihat the power of ikhlas, ikhlas dapat menjadikan perbuatan yang tak bernilai ibadah menjadi perbuatan yang sangat bernilai ibadah dan pahala.

Lantas bagaimana jika kita melakukan suatu perbuatan yang dari awalnya memang kita niatkan ikhlas namun sangat sulit sekali, atau kita tidak sengaja mengalami suatu kejadian yang mana sangat menuntut adanya suatu keikhlasan dalam diri kita?

Kita memang harus mengakui bahwasanya ikhlas kerap kali sangat sulit untuk dilakukan. Mungkin sebagian orang berkata ikhlas mudah diucapkan namun sulit dilakukan, memang benar adanya. Dalam suatu kasus kehidupan seperti ketika barang kita dipinjam teman kita dan tidak dikembalikan, pada awalnya kita pasti merasa sangat keberatan dan mungkin sampai marah atau kecewa dan jauh dari kata ikhlas. Namun lama kelaman kita sadar bahwa jika kita tetap berada dalam keadaan ini, kita tidak akan mendapat faedah apa-apa dan hanya mendapatkan kerugian dan bahkan dosa, karena barang kita telah hilang dan kita marah terhadap orang yang bersangkutan. Di sinilah sangat diperlukan sekali adanya sifat ikhlas dalam diri kita. Dan pada akhirnya kita memilih untuk mengikhlaskan barang tersebut karena terlanjur dipinjam dan tidak dikembalikan. Namun muncul pertanyaan di sini, apakah ikhlas semacam ini juga dihukumi sebagai ikhlas yang murni? padahal ikhlas dalam konteks ini terjadi ketika kita sudah kehilangan barang, dan baru mengikhlaskannya, atau bisa disebut kita ikhlas belakangan. Bolehkah ikhlas seperti ini?

Nabi SAW bersabda:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ – وَفِي رِوَايَةٍ : بِالنِّيَّةِ – وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ .

Arti: Dari Umar bin Khaththab RA, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda; Amal itu hanyalah dengan niat, dan bagi setiap orang (balasan) sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa berhijrah (dengan niat) kepada Allah dan Rasul-Nya, maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa berhijrah (dengan niat) kepada (keuntungan) dunia yang akan diperolehnya, atau wanita yang akan dinikahinya, maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya.”

Cukup jelas dalam hadits di atas dijelaskan bahwa ‘segala sesuatu tergantung pada niat’. Segala amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang telah diniatkannya. Jadi terkait adanya kasus di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa ikhlas yang dilakukan belakangan, atau sesudah kita terlanjur mengalami sesuatu misal kehilangan barang, maka ikhlas tersebut dapat diberikan pahala ikhlas sebagaimana mestinya jika pada dasarnya memang diniatkan semata-mata karena Allah ta’ala, bukan karena kita ingin dipandang sebagai orang yang baik dan selalu memaafkan orang lain. Hal ini sangat perlu diperhatikan, karena mungkin ini hal sepele namun jika kita salah niat akibatnya fatal, karena ikhlas dimensinya adalah hal-hal yang abstrak, hubungannya dengan hati dan keimanan seseorang.

Oleh karena itu, kita hendaknya senantiasa menata niat kita ketika hendak melakukan suatu perbuatan. Dan diiringi dengan ikhlas lillahi ta’ala, karena ikhlas merupakan sebab diterimanya suatu amal perbuatan, dan kunci sempurnanya ibadah, dan juga entitas ikhlas yang sebenarnya tidak sesederhana yang kita ketahui, dan juga tidak semudah yang kita ucapkan.

Wallahu ‘alam bis shawab.. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 1.50 out of 5)
Loading...
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Semester 4.

Lihat Juga

Jalan Meraih Taqwa

Figure
Organization