Pengaruh Financial Technology Terhadap Pertumbuhan Filantropi Syariah di Indonesia

dakwatuna.com – Fintech, singkatan khas dari Financial Technology, merupakan sebuah terobosan baru dalam dunia keuangan yang mengikuti perkembangan jaman. Sistem perekonomian yang terus berputar tak lagi melulu berkaitan dengan uang yang dapat dipegang dengan tangan. Industri ini mencakup e-money, payment system, maupun produk kredit seperti peer to peer lending dan crowdfunding.

Perkembangan Financial Technology itu sendiri juga mencakup bisnis online, dimana masyarakat yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari biasanya pergi ke pasar konvesional, mulai senang berbelanja dengan satu kali klik.

Perkembangan fintech yang lumayan pesat ini sudah semestinya menjadi sorotan tiap pelaku ekonomi, sebab perkembangannya sangatlah cepat hingga sektor ketenaga kerjaan saja ikut terpengaruh. Apalagi, saat ini masyarakat tengah mengalami perubahan perilaku konsumen dikarnakan perkembangan teknologi tersebut.

Di jaman modern ini, para pelaku ekonomi sejatinya sedang menghadapi persaingan yang tak terlihat. Dan untuk hal itu, semua sektor diharapkan dapat berkontribusi dalam fenomena fintech, agar tidak terjadinya keterbelakangan atau istilah kerennya, gagap teknologi.

Terkait hal tersebut, sistem ekonomi konvensional telah dengan mudahnya beradaptasi. Contoh produk fintech yang terkenal adalah Doku Wallet, Online-Pajak.com, hingga Go-Pay. Lalu, bagaimana kabarnya dengan keuangan syari’ah?

Dalam dunia keuangan berbasis syari’ah, kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan paytren yang kini nasabahnya telah mencapai 1,6 juta orang, diraup hanya dalam tempo dua tahun. Sementara itu, Bank Syari’ah Mandiri atau BSM yang didirikan tahun 1999 hingga kini baru dapat mengumpulkan 6,5 juta nasabah. Salah satu keunggulan fintech adalah dapat menjangkau masyarakat yang tidak bisa menjangkau layanan perbankan. Untuk mencapai dampak positif yang dimaksud, kuncinya adalah dengan memandang fintech sebagai tantangan berkolaborasi, dan bukannya sebagai kompetitor.

Dari sisi akad, fintech tidak bertentangan dengan syariah sepanjang mengikuti prinsip-prinsip sahnya suatu akad, serta memenuhi syarat dan rukun serta hukum yang berlaku. Namun, masih perlu adanya upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai keuangan syariah. Pasalnya, pemahaman masyarakat tentang keuangan syariah memang masih perlu ditingkatkan.

Keuangan syari’ah juga tak melulu tentang menabung di bank berlabel ‘syariah’. Cakupan metode ekonomi yang didasarkan oleh Qur’an dan Sunnah itu begitu luas, termasuk tabungan berhaji, akad mudharabah, hingga pembayaran zakat. Terkait hal ini, fintech dapat memberi kontribusi besar tidak hanya sebatas pada dunia perbankan syari’ah saja, namun juga pada sektor filantropi.

Filantropi diambil dari bahasa Yunani, philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia. Artinya mencakup tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Kedermawanan atau filantropi bukan hal yang baru dalam sejarah Islam. Masalah filantropi menjadi salah satu bagian penting dari ajaran atau doktrin Islam, yang diterima Nabi Muhammad saw. sejak lima belas abad lalu. Banyak ayat Al-Quran maupun Al-Hadits yang menegaskan pentingnya berderma kepada sesama manusia.

Contoh sederhana filantropi dalam islam adalah zakat, sedekah, wakaf, dan lainnya.

Secara doktrinal, masalah filantropi memang telah ada sejak Islam diterima Rasulullah saw. Namun, dari sudut akademis dan kelembagaan, masalah filantropi Islam merupakan salah satu bidang yang tampaknya masih terbengkalai dan belum menjadi kajian serius, khususnya di Indonesia.

Dalam sejarahnya, filantropi berkembang dengan penyesuaian jaman. Dahulu, dalam adat Raja-Raja Melayu, sedekah dan zakat yang dikeluarkan oleh raja kepada fakir dan miskin diberikan pada saat diadakan upacara kerajaan seperti upacara kelahiran, upacara memotong rambut, dan upacara membayar nazar. Sedekah yang dikeluarkan raja pun tidak tanggung-tanggung, yaitu berupa emas, perak, dan pakaian kepada fakir miskin di seluruh negeri. Semakin kesini, nampaknya kontribusi masyarakat tidaklah lagi sebesar kontribusi Paduka Raja Melayu.

Disinilah fintech dapat memerankan perannya dalam meraup konstribusi masyarakat agar lebih condong kepada sektor filantrofi. Sejauh ini, peluang teknologi era digital ternyata mampu mendorong realisasi filantropi Islam, antara lain adalah wakaf (ziswaf). Melalui urun dana atau istilah lain crowdfunding yang diintegrasikan dengan kemampuan digital internet, praktik penggalangan dana, dan pengelolaan ziswaf berpotensi semakin besar.

Nur Efendi, CEO Rumah Zakat, seperti yang dikutip oleh Republika.com, yakin peluang untuk ziswaf di era digital donasi melalui online akan sangat signifikan dibandingkan transaksi donasi secara cash. Transaksi online ke depan akan mencapai 80 persen. Semakin banyak donatur yang menyukai interaksi berbasis online, seperti kalkulator zakat menggunakan aplikasi atau online.

Menteri Keuangan Sri Mulyani turut mengungkapkan bahwa zakat dapat menutupi kesenjangan sosial. Sehingga filantrofi bukan lagi masalah tuntutan, melainkan sudah seharusnya menjadi kebutuhan.

Para pelaku ekonomi, terutama yang berbasis syari’ah, perlu menyokong kesiapan untuk Go Digital. Kesadaran akan munculnya kekuatan platform digital mampu menjadi alternatif sempurna bagi kegiatan filotrofi. Agar dana dapat berputar sesuai syari’at, sehingga tidak hanya lapisan masyarakat tertentu yang dapat menikmatinya. (SaBah/dakwatuna)

Lahir dan besar di Jakarta, Ayah dari 5 orang Anak yang hobi Membaca dan Olah Raga. Setelah berpetualang di dunia kerja, panggilan jiwa membawanya menekuni dunia membaca dan menulis.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...