dakwatuna.com – Kehidupan jalanan yang liar dan tanpa aturan justru menuntun Mochammad Anggi untuk terus mengenal Islam. Laki-laki yang berprofesi sebagai pengamen jalanan ini menemukan hidayah dari sesama pengamen jalanan, beberapa tahun lalu.
Mochammad Anggi terlahir dari keluarga yang berbeda keyakinan, ayah beragama Kahtolik dan ibu beragama Islam membuat anak pertama dari tiga bersaudara ini tidak memiliki keyakinan yang jelas.
“Secara dokumen saya beragama Katholik tapi jarang sekali ke gereja, apalagi setelah ibu saya meninggal waktu saya remaja, kehidupan saya jadi kehilangan pegangan dan tanpa arah” terangnya.
Setelah ibu meninggal, lanjutnya, kehidupan jadi tidak jelas hingga akhirnya, laki-laki berdarah Manado ini turun ke jalan menjadi pengamen.
“Di jalan, kehidupan saya semakin tida jelas, banyak bertemu dengan orang-orang berbagai macam karakter, tapi ada teman-teman beragama Islam yang rajin melasanakan shalat membuat saya sering memperhatikan mereka.” Ungkapnya.
Laki-laki bernama asli Anggi Kodongan ini mengungkapkan “Saya merasa hidup tidak ada arti dan aturan. Apalagi setiap hari Jum’at teman-teman pengamen jam setengah sebelas sudah berhenti ngamen, mandi dan siap-siap ke masjid untuk shalat Jum’at. Sementara saya hanya nunggu di halte sambil main gitar seperti orang kebingungan. mau ikut malu karena agama saya Katholik dan tidak ada yang mengajak saya juga”
Hati Anggi mulai terketuk dan penasaran dengan kehidupan muslim yang teratur, dia pun banyak bertanya tentang Islam kepada temannya yang juga pengamen tapi sangat taat pada ajaran agama.
“Saya sering bertanya sama teman, dia menjelaskan banyak tentang Islam. Saya cukup kagum karena dalam Islam semua kehidupan sudah diatur dan ada tempat mengadu yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala” katanya.
Teman saya menjelaskan, lanjutnya, kalau kita orang susah tidak punya agama, tidak punya Tuhan lalu kepada siapa kita mengadu. Kalau makan sehar-hari mungkin bisa minta ke orang tapi untuk hal-hal besar kepada siapa kita meminta? Dan hanya Islam agama yang di ridhoi, Islam hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.
“Sejak saat itu saya mulai sering main ke masjid, belajar wudhu dan shalat. Ketika belajar wudhu saya merasa cerah, tenang dan pokoknya banyak perasaan tenang yang tidak bisa saya jelaskan, Pokoknya saya seperti tidak punya beban. Sering main ke masjid dan sholat akhirnya saya bersyahadat dibimbing oleh teman saya” jelas anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Dalam waktu beberapa bulan, Anggi mulai belajar membaca Iqra dibimbing temannya, dan ketika masuk ke Iqra empat Anggi mulai belajar kepada Ustadz dan semakin sering bergaul dengan para Ustadz di masjid.
“Kalau dahulu saya ngamen tidak ingat waktu tapi setelah memeluk Islam. Saya jadi ingat waktu, jam berapa saya harus sholat dan hari apa saya harus puasa. Terlebih saya meminta apapun kepada Allah intinya jadi tidak terlalu mengejar dunia dan hanya menggantungkan harap kepada Allah sebelum saya mencari rezeki” ungkapnya.
Pada tahun 2011, dia mengikuti program rehabilitasi sosial di Balai Rehabilitasi Sosial Hestining Budi Klaten, Jogja. Disana dia diajarkan keahlian sebagai bekal usaha, di tempat itu pula dia bertemu dengan istrinya dan memutuskan untuk menikah, dia pun bersyahadat ulang dan mendapatkan dokumen resmi sebagai Muslim dan berganti nama menjadi Mochammad Anggi.
Bapak dari tiga anak ini mengaku, setelah memeluk Islam memang finansialnya tidak berubah tapi kehidupannya menjadi terarah, terlebih setelah melahirkan anak ketiga, istri Anggi mengalami gagal ginjal kronis dan sempat membuatnya putus asa.
“Awalnya istri sakit asma seja kecil dan sering mengkonsumsi obat warung setiap hari, ketika kami tinggal di Bekasi, istri sakit asma dan tidak mempan minum obat warung, akhirnya saya ke dokter dan kata dokter, istri saya harus pakai inhealer dan satu harga inhealer itu hampir enam ratus ribu. Saya bingung dan putus asa karena tidak mampu untuk membeli” katanya.
Ketika di Masjid Islamic Center Bekasi, lanjutnya, usai shalat dia berdoa dan menangis, mengeluhkan kesulitannya pada Allah, usai berdoa dia berbincang dengan seseorang dan menyarankan dia untuk meminta bantuan ke Laznas Inisiatif Zakat Indonesia.
“Saya merasa tercerahkan, saya langsung ke kantor Inisiatif Zakat Indonesia dengan membawa dokumen dan kurang dari dua jam Alhamdulillah dapat bantuan yang istri saya butuhkan, dan setiap bulan saya dapat bantuan inhealer. Istri saya dalam sebulan menghabiskan dua inhealer. Saya sangat bersyukur karena bantuan Allah datang begitu cepat” ungkapnya.
Beberapa tahun, dia kembali ke Klaten, istri Anggi mengalami sakit gagal ginjal akibat sering mengkonsumsi obat warung. “Istri saya harus cuci darah, dan kondisinya sudah sangat parah sampai badan dan kakinya bengkak, untuk beraktivitas harus ‘ngesot’. Terlebih kami tidak punya BPJS jadi agak kesulitan untuk berobat, tapi Alhamdulillah dari piha Balai Sosial Hestining Budi Klaten membantu kami untuk membuat BPJS, tapi sayangnya untuk cuci darah tidak di cover BPJS” ungkapnya.
Akhirnya keluarga kecil ini,memutuskan untuk kembali ke Bekasi dan mencari rumah sakit yang bisa mengobati istrinya, “Kondisi istri saya sudah parah, badannya sudah hitam, hangus seperti orang terbakar dan saya mengunjungi rumah sakit di Bekasi semua tidak ada yang sanggup, hanya rumah sakit dr. Subkhi Abdul Qadir yang menerima, dan dapat bantuan untuk cuci darah dari Laznas Inisiatif Zakat Indonesia dengan siklus cuci darah seminggu dua kali, sekali cuci darah kurang lebih 1.500.000,00. Alhamdulillah atas izin Allah istri saya sembuh total.”
“Saya tidak tahu, kalau saya belum mengenal Islam mungkin saya akan putus asa dan tidak tahu meminta ke siapa, Alhamdulillah Allah memudahkan jalan saya dan keluarga untuk mendapatkan hidayah, saya merasakan kasih saying Allah sangat-sangat besar karena telah menunjukan saya Islam dan sudah menyembuhkan istri saya” pungkasnya. (SaBah/dakwatuna)