Pers dan Pemilu

Ilustrasi. (fj-p)

Ilustrasi. (vikalpa.org)

dakwatuna.com – Pers dan Pemilu (Pemilihan Umum). Ibarat dua sisi mata uang atau seperti aur dengan tebing. Masing-masing memiliki esensi dan tugas fungsi yang sangat penting. Di samping itu, kedua-duanya memiliki kedudukan serta peranan yang strategis dan bahkan bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya.

Saat kita memperbincangkan pers dan pemilu atau membicarakan pers dalam perspektif pemilu maupun sebaliknya, sama artinya kita sedang mendiskusikan arah, kebijakan serta “nasib” bangsa dan negara tercinta ini di masa depan.

Berdasarkan amanat konstitusi, pemilu telah dinobatkan menjadi simbol pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan tersebut yang diharapkan mampu menjembatani aspirasi murni rakyat “badarai”. Sejalan dengan hal itu, pada sisi lain, beberapa peran strategis pers dalam kaitannya dengan kesuksesan pesta demokrasi lima tahunan dan tercapainya iklim demokrasi yang kondusif dan matang serta berkeadilan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini, dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Sarana Pendidikan Politik

Tidak dapat dipungkiri bahwa pers memegang peranan yang sangat penting terutama dalam kaitannya dengan upaya pencerahan dan pencerdasan masyarakat, khususnya pada bidang sosial dan politik. Karena kita sangat memahami, bahwa sejatinya pendidikan politik bukan saja menjadi “domain” atau tugas pertama dan utama partai politik; baik fungsionarisnya, kadernya maupun simpatisannya. Melainkan ada “ruang kosong” sebagai wilayah terbuka yang patut dan pantas dikelola oleh segenap insan pers secara objektif, proporsional dan profesional.

Pendidikan politik dimaksud, tidak saja berbicara berkenaan dengan pemenuhan “hak” setiap warga negara untuk “memilih ataupun dipilih”. Tidak juga sekadar untuk memberitahukan masyarakat terkait siklus Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali tersebut.

Lebih jauh dari itu, pendidikan politik yang diusung oleh pers bertujuan untuk memberikan kesadaran dini kepada setiap individu sebagai Warga Negara yang telah memenuhi “persyaratan yuridis” tentang pentingnya berpartisipasi aktif dan berkontribusi positif di dalam setiap “momentum emas” kehidupan berdemokrasi itu.

Mengapa demikian? Karena “alam” demokrasi di negeri ini, dibangun di atas dasar permusyawaratan dan perwakilan serta persatuan dan kesatuan semua “elemen dasar” bangsa ini demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosil bagi seluruh rakyat Indonesia.

  1. Sarana Sosialisasi dan Promosi

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pemilu menjadi ajang “test case” atau uji kelayakan bagi setiap partai politik hingga calon anggota legislatif di Pusat dan Daerah untuk mengukur popularitas, elektabilitas dan bahkan akseptabilitasnya masing-masing di tengah-tengah masyarakat.

Maka dalam hal ini, pers memiliki ranah yang sangat luas untuk membantu mensosialisasikan dan mempromosikan (baca; mengampanyekan) serta merealisasikan cita-cita dan asa partai politik, dan para calon tersebut menjadi kenyataan.

Kampanye melalui pers juga diyakini akan memberi manfaat signifikan bagi tersebarluaskannya visi, misi, program kerja, karakteristik dan “rekam jejak” masing-masing partai politik dan para calon tersebut secara “gradual” dan massif. Selanjutnya, tinggal bagaimana masyarakat selaku konstituen cerdas nan berdedikasi yang akan menyikapinya untuk kemudian “memilah dan memilih” secara arif dan bijaksana.

  1. Sarana Kontrol Sosial Demokrasi

Hampir semua penduduk di Negeri bertuah ini sudah sangat memahami dan memaklumi bahwa ajang perhelatan demokrasi bersiklus lima tahunan ini; menggelontorkan biaya tinggi dan melibatkan sumber daya yang sangat banyak serta beragam. Bahkan, pada beberapa daerah tertentu, ditengarai sering berpotensi terjadinya konflik sosial hingga isu SARA (Suku, Adat, Agama dan Ras).

Oleh karenanya, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan serius dari semua pihak termasuk insan pers, untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu serentak. Ibarat kata pepatah Minang, pada saatnya nanti jangan sampai terjadi kondisi seperti ini; “pitih abih samba tak lamak” alias sia-sia.

Sebagai salah satu sarana alternatif kontrol sosial dalam upaya penataan kehidupan berdemokrasi di Negeri yang telah berdaulat semenjak 17 Agustus 1945 lalu, secara lebih spesifik, insan Pers dituntut untuk tetap kritis terhadap masih adanya upaya provokasi, intimidasi dan praktek “politik uang” hingga jual beli suara serta kemungkinan adanya pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan oleh “lembaga penyelenggara” Pemilu tersebut atau bahkan oleh peserta Pemilu pada setiap tingkatannya.

Ibarat wasit di tengah pertandingan olahraga, pers mestilah menjadi “juru penengah” yang benar-benar adil dan konsisten. Sebab, sebagai juri atau pengadil, tentunya pers juga tidak boleh terlibat langsung di dalam permainan yang sedang “berkecamuk”.

Hal ini untuk memastikan bahwa prosesi monitoring, evaluasi dan kontrol sosial yang dilakukan oleh pers terhadap dinamika “pesta politik rakyat” nan ritual itu berjalan dengan akurasi dan presisi yang tinggi serta tanpa tekanan dari pihak manapun.

Jika pers sebagai media “mainstream” telah memainkan perannya dengan baik dan bertanggung jawab, maka dapat dipastikan bahwa pemilu yang memiliki jargon Luber serta Jurdil itu akan menghasilkan para pemimpin dan pengemban amanat rakyat yang memiliki integritas dan kompetensi yang sangat memadai untuk menjalankan pemerintahan yang bersih, baik dan melayani sepenuh hati. (sb/dakwatuna.com)

Ketua Forstudi Faperta Unand Padang (1995-1996). Ketua Badan Pembentukan Perda DPRD Kota Bukittinggi periode 2014 – 2019.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...