Menjual BUMN Lewat Kebijakan Holding Sektor Pertambangan

dakwatuna.com – Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Holding atau Holdingisasi atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor pertambangan, seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.47/2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam Saham Perusahan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Pemerintah berdalih bahwa Holding yang menggabungkan BUMN di sektor tambang ini bertujuan untuk memupuk modal usaha lebih besar, mencegah terhambatnya investasi swasta, serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi agar produknya bisa bersaing dengan korporasi asing.

Holding BUMN di sektor tambang ini mengherankan, karena justru Inalum yang ditunjuk sebagai induk holding di sektor tambang, padahal Inalum bergerak di smelter, sedangkan BUMN lainnya, PT. Antam Tbk, PT. Bukit Asam Tbk ataupun PT. Timah Tbk yang bergerak di sektor tambang. Dengan kebijakan ini, ketiga persero di sektor tambang tersebut menjadi anak perusahaan dari PT. Inalum.

Di sisi lain, ada PP No.72/2016 tentang Perubahan Atas PP No.44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas, yang menyebutkan bahwa anak perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.

Melalui PP No.72/2016 ini, berarti anak perusahaan BUMN (PT. Antam, PT. Timah dan PT. Bukit Asam) tidak lagi berstatus BUMN, karena sebagian besar sahamnya tidak lagi dimiliki Negara. Akibatnya, Pemerintah melalui Menteri BUMN tidak memiliki kewenangan terhadap anak perusahaan BUMN. Sebagaimana Permeneg BUMN No.3/2012 pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan dilakukan oleh RUPS Anak Perusahaan yang bersangkutan melalui proses pencalonan berdasarkan pedoman yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.”

Artinya, Menteri Negara BUMN hanya memiliki kewenangan terhadap BUMN saja, sedangkan anak perusahaan BUMN bersifat mandiri terhadap pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris.

Kedudukan anak Perusahaan BUMN merupakan perseroan swasta yang dikendalikan secara korporasi oleh BUMN sebagai induk perusahaan. Dengan demikian, anak perusahaan BUMN tidak memiliki kewajiban pertanggungjawaban kepada Negara, melainkan ke induk perusahaan yaitu BUMN.

UU No.19/2003 tentang BUMN pasal 1 angka 1 menyebutkan definisi BUMN, yaitu Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Dengan merujuk pada pasal itu, berarti yang masuk kategori sebagai BUMN hanyalah perusahaan induk saja atau holding.

Berkurangnya fungsi kontrol pemerintah terhadap BUMN yang beralih menjadi anak perusahaan BUMN (seperti 3 Perusahaan Tambang tadi, PT. Antam, PT. Bukit Asam dan PT. Timah) diperparah lagi dengan lepasnya fungsi kontrol DPR atas peralihan kepemilikan saham Negara di anak-anak perusahaan BUMN tersebut. Saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan ke siapa pun tanpa diketahui oleh DPR.

Ini tertuang dalam PP No.72/2016 tersebut pada pasal 2A yakni, (1) Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN.

Maksudnya, ketika ada perpindahan kepemilikan saham yang dimiliki negara dalam hal ini BUMN ke perusahaan lain ataupun pengalihan saham melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) maka tidak melalui mekanisme APBN. Jadi pengalihan saham melalui PMN bisa dilakukan pemerintah kapan saja tanpa ada fungsi kontrol.

Dengan perubahan struktur BUMN seperti ini, maka peluang untuk melepas dan mengalihkan saham-saham perusahaan yang bukan lagi masuk definisi BUMN menjadi terbuka. Apalagi disisi lain, pemerintah sedang membutuhkan dana segar Rp.500 Triliun untuk membiayai proyek infrastruktur yang sudah “kadung” dibangun, membayar utang jatuh tempo serta untuk divestasi saham Freeport senilai Rp.50-100 Triliun. Dengan kebutuhan dana sebesar itu, berbagai cara sudah dilakukan, menaikkan harga dari layanan publik (menaikkan tarif listrik, tarif tol, harga BBM), mencekik rakyat dengan menambah pajak dan menaikkan bunga, lalu melakukan securitisasi asset PT. Jasa Marga, dan lain sebagainya.

Cara-cara tersebut ternyata masih kurang banyak untuk menutupi pembiayaan infrastruktur dan membeli saham Freeport, maka ditempuhlah Kebijakan Holding sebagai tameng atas rencana penjualan BUMN-BUMN di sektor tambang. Sangat dimungkinkan, satu persatu saham-saham dan kekayaan negara akan beralih ke swasta dan asing tanpa sepengetahuan pemerintah dan DPR. BUMN terjual dengan skema yang seakan-akan formal dan legal. (azfar/dakwatuna.com)

Konten ini telah dimodifikasi pada 24/11/17 | 13:28 13:28

Aktifitas saat ini sebagai Direktur Center of Development Studies (CDS) dan Tenaga Ahli DPR-RI. Sarjana Teknik Gas dan Petrokimia, Universitas Indonesia. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...