Benturan Peradaban Mendatang Disinyalir antara Barat dan Tiongkok

Presiden AS, Donadl Trump, bersama dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping. (aljazeera.net)

dakwatuna.com – Doha. Pada tahun 1993 silam, seorang pemikir sekaligus penasihat urusan luar negeri Amerika Serikat (AS), Samuel P. Huntington, memperkenalkan sebuah teori yang dikenal dengan “Benturan Peradaban” atau “Clash of Civilization”. Menurutnya, pasca Perang Dingin, akan terjadi benturan antara peradaban Islam dan peradaban Barat.

Lantas, apakah benturan itu akan berubah menjadi benturan antara peradaban Barat dan peradaban Tiongkok seiring berjalannya waktu?

Majalah Foreign Affairs, yang juga didirikan oleh Samuel Huntington pada 1970 itu, seakan menjawab pertanyaan tersebut di atas. Melalui sebuah artikel yang ditulis oleh profesor ilmu politik Universitas Harvard, Graham T. Allison, disebutkan bahwa AS mulai tersadar akan kebangkitan brainstorming Tiongkok.

Hal ini sama seperti yang sebelumnya dilakukan Jerman, Jepang dan negara lain yang mengalami transformasi komprehensif dan mendalam, serta praktik demokrasi liberal yang maju.

Berdasarkan pada hal tersebut, maka ‘Formula Ajaib’ itu merupakan konsep dari pemahaman globalisasi, kecenderungan, konsumerisme, dan integrasi pada sistem global yang terdiri dari aturan hukum.

Semua faktor yang ada akan menjadikan Tiongkok sebagai negara demokrasi di dalam negeri. Sedangkan di luar – sebagaimana kata mantan Menlu AS, Robert Zoellick – Tiongkok akan menjadi mitra yang bertanggung jawab.

Namun, pendapat ini ternyata tidak sejalan dengan teori Samuel Huntington. Dalam bukunya yang berjudul Clash of Civilization, ia menyebut bahwa perbedaan budaya-lah yang akan menjadi ciri khas dunia pasca Perang Dingin, bukan pencairan pada tatanan dunia liberal.

Saat ini, argumen Huntington layaknya ramalan masa depan. Karena itu menyoroti sisi kontras antara peradaban Islam dan Barat. Semuanya semakin tampak saat tejadi serangan 11 September 2001, atau yang dikenal Serangan 11/9 yang meluluhlantakkan situs WTC, New York.

Menurut Huntington, gap antara peradaban Barat di bawah AS dengan peradaban Tiongkok, sangat mendalam dan stabil. Sama halnya dengan gap antara peradaban Barat dan Islam.

Terkait itu, Graham Allison melalui artikelnya, menyebutkan bahwa berbagai fakta akhir-akhir ini memperkuat argumen Huntington itu. Ia juga menyinyalir bahwa hal itu akan semakin kuat pada beberapa dekade mendatang. Amerika Serikat seakan mewujudkan apa yang diungkapkan pemikir politiknya terkait peradaban Barat.

Dengan pemahaman ini, maka interaksi antara nilai-nilai, tradisi dan filsafat AS dan Tiongkok, akan memperburuk apa yang disebut Allison sebagai ‘tekanan struktural dasar’.

Selain itu, Allison juga menjelaskan terkait sisi kontradiksi dan ketidakcocokan. Ia mengatakan, bangsa Amerika melihat pemerintah sebagai sebuah kejahatan yang memang diharuskan. Mereka melihat kecenderungan negara terhadap tirani dan penyalahgunaan kekuasaan, harus dihindari.

Hal ini tentunya berbeda dengan pandangan bangsa Tiongkok. Menurut Allison, mereka memandang pemerintah sebagai suatu kebutuhan dan pilar penting untuk memastikan pemulihan ketertiban dan menghindari kekacauan.

Dari segi ekonomi, sistem kapitalis Amerika bergerak pada pasar bebas berdasarkan undang-undang pemerintah yang berlaku yang dipastikan betul penerapannya. Meskipun kepemilikan negara dan intervensi pemerintah dalam perekonomian adalah dua hal yang kadang-kadang mereka anggap sebagai pengecualian yang tidak diinginkan.

Sedangkan ekonomi pasar Tiongkok yang dikendalikan negara, memberikan ruang yang luas bagi pemerintah untuk melakukan berbagai manuver. Di antaranya peran pemerintah dalam menentukan target pertumbuhan, memilih dan mendukung sektor industri yang ingin dikembangkan, menangani langsung proyek ekonomi besar untuk mencapai kepentingan bangsa.

Selain itu, budaya Tiongkok tidak merayakan individualistis sebagaimana gaya Amerika. Disebutkan bahwa Amerika mengukur evolusi masyarakat berdasarkan pada sejauh mana perlindungan hak-hak dan kebebasan individu.

Istilah individu bagi Tiongkok adalah sejauh mana manusia lebih mengutamakan kepentingan orang lain di masyarakatnya. Bagi mereka, sebuah sistem merupakan nilai tertinggi. Kompatibilitas dan struktur harmoni anggota masyarakat adalah sebagaimana ajaran utama filsuf Tionghoa, Kong Hu Cu, yaitu “Kenalilah Negaramu”.

Konsep ini ternyata tidak hanya diterapkan masyarakat pada skala lokal saja. Melainkan juga diberlakukan pada skala internasional. Bangsa Tionghoa percaya bahwa tempat alami mereka ada pada puncak piramida. Sedangkan bangsa lain, hanya dipandang sebagai anak sungai bagi mereka.

Allison mengakhiri artikelnya dengan menyebutkan bahwa cara pandang Amerika agak berbeda dari apa yang selama ini menjadi pemahaman Tiongkok. (whc/dakwatuna)

Sumber: Aljazeera.net

Konten ini telah dimodifikasi pada 19/08/17 | 20:10 20:10

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...