Tiongkok Kerahkan Pasukan, untuk Siapa?

Parade militer Tiongkok. (aljazeera.net)

dakwatuna.com – Beijing. Tiongkok baru-baru ini menggelar parade militer skala besar dalam rangka memperingati hari jadi ke-90 Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Parade militer tersebut dihadiri langsung oleh Presiden Tiongkok, Xi Jinping.

Puluhan ribu tentara, lebih dari seratusan pesawat perang, 500 lebih aspek militer seperti tank, peluncur roket dan kendaraan yang mengangkut rudal dengan hulu ledak nuklir serta perlengkapan perang lainnya, tampak dipamerkan dalam parade militer tersebut.

Parade ini menjadi yang pertama kalinya digelar Tiongkok sejak berdirinya Republik pada tahun 1949 lalu. Selain itu juga yang pertama kalinya bagi Presiden Tiongkok meninjau langsung pasukan dengan pakaian militer.

Militer Tiongkok telah dinobatkan sebagai militer terbesar di dunia dari segi jumlah pasukan (2.300.000 pasukan). Tiongkok juga menjadi negara dengan program modernisasi senjata paling pesat di dunia. Pada beberapa dekade terakhir, Tiongkok telah melakukan reformasi besar-besaran pada sektor militer, di antaranya mengurangi jumlah dan menguatkan penggunaan teknologi militer.

Tidak sampai di situ saja, anggaran yang digelontorkan Tiongkok untuk pertumbuhan militernya juga dinobatkan menjadi terbesar kedua di dunia. Pada tahun 2017 ini saja, mereka mengalokasikan dana sebesar 151 milyar dolar AS untuk militernya.

Di tengah parade militer yang digelar Tiongkok, para pengamat saling mempertanyakan sejauh mana efektivitas militer Tiongkok dalam sebuah perang nyata. Mereka menyebutkan, Tiongkok tidak memiliki pengalaman tempur tingkat tinggi. Hal ini berbanding terbalik dengan rekan-rekan Tiongkok sesama anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Tiongkok belum pernah terlibat dalam perang nyata sejak terakhir kali mereka berperang di Vietnam tahun 1979.

Terkait hal itu, pengamat militer Tiongkok, Jiang Tiehying mengatakan, doktrin yang ditanamkan di Tiongkok adalah doktrin perdamaian. Sebuah negara yang tidak memutuskan perang untuk menyelesaikan sengketa menjadi indikator suatu kemajuan, bukan penyusutan pada pasukannya.

Jiang menambahkan, situasi dunia saat ini sangat berbeda dengan yang terjadi pada beberapa dekade lalu. Dimana saat itu setiap negara hanya mengandalkan kontak senjata untuk mengakhiri suatu sengketa.

Kepada Aljazeera.net, Jiang mengatakan, peran militer Tiongkok masih sangat terbatas jika berkaitan dengan dunia luar. Namun ia percaya, Beijing dan militernya akan mengalami penguatan di luar seiring dengan peluncuran insiatif Jalur oleh Presiden Xi.

Sementara itu, Shuang Li mengatakan, ada banyak tantangan baik keamanan maupun militer yang harus dihadapi Beijing. Di antaranya, tambah peneliti di Guang Dong, sengketa yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan, sengketa perbatasan dengan India, serta eskalasi di wilayah Xinjiang.

Li menambahkan, tantangan-tantangan itu memaksa Tiongkok untuk mengubah doktrin yang diadopsi sejak awal reformasi pada puluhan abad lalu.

Ia menegaskan, ada dilema yang dihadapi para pimpinan militer negara itu. Ia menyebut, tiga generasi pasukan Tiongkok belum pernah merasakan perang nyata. Hal itu tentu akan menurunkan kemampuan pasukan dalam menghadapi kemungkinan perang di masa mendatang. (whc/dakwatuna)

Sumber: Aljazeera.net

Konten ini telah dimodifikasi pada 04/08/17 | 11:12 11:12

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...