Konflik Teluk, Bagaimana Iran Mengambil Keuntungan?

Ilustrasi. (moheet.com)

dakwatuna.com – Doha. Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran, Muhammad Javad Zarif menegaskan, negaranya dan Prancis telah sepakat dalam menyikapi konflik Teluk. Selain itu, Iran juga melihat pentingnya penyelesaian konflik dengan perundingan dan langkah-langkah damai, tambahnya.

Pernyataan Menlu Iran itu disampaikan saat berkunjung ke Paris dalam rangka kunjungan ke beberapa negara Eropa. Konflik yang terjadi di Teluk, menjadi pembahasan utama selama tur Eropanya itu.

Berkaitan dengan itu, episode Jumat (30/06/2017) pada acara “Behind the News” yang disiarkan Al-Jazeera TV, membahas tentang bagaimana cara Iran dalam mengambil keuntungan dari konflik di antara negara-negara Teluk dan potensi dampat kelanjutannya.

Guru besar Etika Politik dan Sejarah Agama-agama di Hamad bin Khalifa University Doha, Muhammad Mukhtar Shanqeeti mengatakan, “Semua yang dikatakan dalam KTT Riyadh dan perlawanan terhadap Iran, menguap hanya dengan sekejap mata. Alih-alih berbicara tentang perlawanan terhadap Iran, saat ini saja kita memiliki dua kubu. Iran berada di garis terdepan dalam salah satu di antaranya, atau yang memiliki peran signifikan di salah satu di antaranya, bersama Turki.”

“Benar bahwa Turki adalah pilihan pertama warga Qatar. Tapi aspek geografis menguntungkan Iran, termasuk pada sisi ekonomi. Jalur pasokan dari Iran lebih dekat dengan Doha daripada Turki. Sebagaimana aspek geografis juga telah menjadikan Iran dan Qatar sebagai mitra di bidang gas alam terbesar dunia. Semua itu mengharuskan kedua negara untuk saling menjadi tetangga yang baik, meskipun banyak perbedaan terkait urusan regional,” jelasnya.

Menurut Shanqeeti, ada tren kesepekatan Iran dari krisis Teluk. Tapi, sejak awal meletusnya konflik, Iran mengambil subjek yang sangat serius. Cukuplah bukti dengan kunjungan Menlu Zharif ke Istanbul untuk membahas penyelesaian konflik. Padahal, di saat yang sama, terjadi ledakan di beberapa wilayah di Iran.

Shanqeeti menegaskan, Iran merupakan negara yang cerdik, yang dapat memanfaatkan kelemahan lawan Teluk-nya untuk berbagai permasalahan seperti Suriah dan Yaman. Pada akhirnya, mereka menemukan celah di suatu kamp dan memanfaatkannya, padahal harusnya itu untuk menyerang mereka.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik di Kuwait University, Faisal Abu Shalib menegaskan, pemerintahan regional sedang tidak stabil dan tidak bersatu sejak tahun 1991. Maka, muncullah para pesaing pada pemerintahan regional.  Tidak mungkin bagi negara manapun untuk dapat mengawasi negara lain dan memaksakan kontrol, tanpa adanya intervensi. Kemudian, ketika Arab Saudi dilihat mulai meningkatkan pengaruhnya di Kawasan – terutama setelah kunjungan Trump – timbullah intervensi Iran.

Abu Shalib menjelaskan, Iran senantiasa mengambil berbagai kesempatan untuk kepentingan strategisnya. Yang seperti ini, tambahnya, telah terjadi setelah agresi Irak atas Kuwait, meskipun hubungan Kuwait dengan Iran tidak begitu baik selama perang Irak-Iran. Iran juga mengambil kesempatan dari invasi AS ke Irak untuk meningkatkan pengaruh mereka di sana.

Sedangkan mantan pejabat Kemenlu AS, Nabil Khoury menyebut, konflik ini akan sedikit mendekatkan Iran dengan Turki, setidaknya untuk urusan Teluk. Tapi kedekatan ini memiliki batas, terutama karena adanya perbedaan besar antara kedua negara terkait krisis Suriah, tambahnya.

Nabil juga menyampaikan, ada suara yang berbeda di internal pemerintahan Amerika Serikat dalam menyikapi soal Iran. Satu pihak menyerukan untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan Iran, dan mengambil kesempatan ini (konflik Teluk, red) untuk bekerjasama secara diplomatik dengan mereka. Tapi, pihak lain yang mayoritas, tidak mendukung adanya kerjasama itu. (whc/dakwatuna)

Sumber: Aljazeera.net

Konten ini telah dimodifikasi pada 01/07/17 | 19:05 19:05

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...