Jika Qatar Tolak Penuhi Tuntutan, Apa yang Akan Terjadi?

Bendera negara-negara Teluk. (almokhtsar.com)

dakwatuna.com – Doha. Masa yang diberikan Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir kepada Qatar untuk memenuhi semua tuntutan, mendekati paripurna. Melihat sikap Qatar yang menolak dan menilai 13 tuntutan yang diajukan itu sebagai tudingan tanpa dasar, tidak realistis dan mustahil diterapkan, maka besar kemungkinan negara-negara pemboikot akan menjalankan skenario lain untuk saudara Teluk-nya itu.

Setidaknya ada tiga (3) skenario yang mungkin akan dijalankan jika Qatar benar-benar menolak untuk memenuhi tuntutan itu.

Skenario Petama, Yaitu pengetatan boikot terhadap Qatar, dengan pemberlakuan sanksi baru

Skenario ini tidak hanya yang paling mungkin terjadi, bahkan semua yang mengikuti jalannya konflik, mengambil kesimpulan bahwa negara-negara pemboikot Qatar tengah bertindak ke arah ini.

Meskipun dunia berharap daftar tuntutan yang diajukan empat negara itu menjadi jalan untuk penyelesaian konflik, tapi ternyata pengumuman daftar tuntutan membawa konflik ke dalam fase yang lebih kompleks. Banyak hal yang menyebabkan itu terjadi, yang paling utama adalah penilaian para pengamat yang menyebut tuntutan itu sebagai sebuah pelumpuhan dan mengancam kedaulatan sebuah negara merdeka.

Tampaknya, keempat negara itu hendak melempar bola panas ke arah Doha, dengan tujuan agar Doha memikul tanggung jawab kelanjutan konflik jika menolak untuk memenuhi tuntutan. Namun, hal itu yang telah dipahami Doha sejak awal mula. Ini dapat dibaca dari pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Qatar, Syeikh Muhammad bin Abdulrahman Al Tsani dalam sebuah wawancara langsung di sebuah stasiun televisi. “13 tuntutan negara pemboikot diajukan untuk ditolak,” begitu tegas sang Menlu.

Dari sini, penolakan Menlu Qatar itu – meskipun penolakan juga datang secara resmi dan meluas di kalangan rakyat – bukan suatu yang tiba-tiba. Pihak Kemenlu Qatar juga telah mengumumkan bahwa mereka akan mempelajari dokumen tuntutan itu guna menyiapkan respon yang nantinya akan disampaikan kepada Kuwait.

Namun, dalam perjalanannya ada pihak yang memutus setiap upaya untuk menemukan pendekatan terkait penyelesaian konflik dengan menegosiasikan tuntutan yang diajukan. 5 hari setelah pengajuan tuntutan, Menlu Arab Saudi, Adil al-Jubeir mengumumkan, “Tidak ada negosiasi dengan Qatar terkait tuntutan, dan tuntutan harus dipenuhi seluruhnya.”

Pernyataan Menlu Saudi itu lalu diikuti serangkaian pernyataan dari Menlu Qatar. Menlu Qatar bahkan menyebut tuntutan negara pemboikot hanyalah sekumpulan tudingan tanpa dasar yang jelas. “Jika ada tudingan, maka harus dikuatkan dengan bukti. Baru kemudian didatangkan tuntutan,” lanjut sang Menlu.

Tidak cukup di situ, sang Menlu bahkan menegaskan, “Tuntutan harus jelas dan realistis untuk diterapkan. Jika selain itu, maka akan ditolak.” Tuntutan yang tidak dapat dinegosiasikan, tambahnya, tidak menghormati konvensi internasional.

Semua yang terjadi semakin menguatkan dugaan akan adanya pemberlakuan sanksi baru terhadap Qatar. Pada perkembangan selanjutnya, muncul spekulasi tentang pembekuan keanggotaan Qatar di Dewan Kerjasama Teluk serta penambahan sanksi ekonomi.

Spekulasi itu didukung oleh pernyataan Duta Besar UEA di Rusia, Omar Ghobash dalam sebuah wawancara dengan The Guardian. “Ada beberapa sanksi ekonomi yang mungkin kami terapkan. Sekarang sedang dipelajari,” begitu kata sang Dubes.

Ghobash menambahkan, “Salah satu yang dimungkinkan adalah pemberlakuan syarat bagi mitra dagang kami, dan disampaikan kepada mereka jika hendak bekerja bersama kami, maka mereka harus menentukan pilihan komersial.”

Terkait pembekuan keanggotaan Qatar di Dewan Kerjasama Teluk, Ghobash menegaskan, “Itu bukan satu-satunya sanksi yang tersedia.”

Sedangkan surat kabar Mesir, Ahram Arabi, melalui portal beritanya menyebutkan laporan dari sumber terpercaya Arab terkait sanksi lanjutan bagi Qatar. Menurutnya, ada tiga sanksi yang menunggu Qatar jika menolak tuntutan, yaitu penguatan boikot ekonomi, pembekuan keanggotaan di Dewan Kerjasama Teluk dan pembekuan deposito Qatar di negara-negara pemboikot.

Skenario Kedua, yaitu eskalasi militer

Meskipun skenario kedua ini sangat jauh karena memerlukan lampu hijau dari Amerika, namun momok dari skenario ini senantiasi menaungi Kawasan tersebut. Negara-negara pemboikot menggunakan skenario ini sebagai tekanan psikologis. Baik disampaikan secara terang-terangan, seperti cuitan Menlu Bahrain, Khalid bin Ahmed Al Khalifa di twitter yang menyebutkan bahwa Doha telah membawa konsekuensi eskalasi militer ke Kawasan tersebut. Atau juga dengan pembocoran informasi terkait skenario ini melalui jejaring media dengan tanpa penolakan atau pembenaran.

Terkait hal ini, majalah Ahram Arabi melaporkan bahwa negara-negara pemboikot sedang merencanakan pembentukan pangkalan militer di Bahrain. Pangkalan militer itu akan dibentuk dalam waktu 72 jam setelah penolakan Qatar.

Jika benar, tambah Ahram Arabi, ini merupakan yang pertama bagi militer Mesir untuk memiliki pangkalan yang kokoh di Kawasan.

Namun, keempat negara itu belum memberikan klarifikasi terhadap laporan yang diungkap majalah plat merah Mesir itu.

Tampaknya, skenario ini sangat jauh terwujud tanpa adanya ‘restu’ dari Amerika. Di pihak lain, Menlu Qatar mengklaim telah mencapai kesepakatan dengan Washington tentang pentingnya penyelesaian damai untuk konflik ini. “Telah tercapai kesepakatan dengan Washington tentang perlunya menyelesaikan konflik Teluk dengan jalan damai,” ungkapnya.

Skenario Ketiga, yaitu tercapainya kesepakatan penyelesaian konflik

Skenario ini tampak mustahil terjadi dalam waktu dekat – jika tidak ada manuver mengejutkan dari salah satu pihak terkait – terutama dengan ekstrapolasi saat ini yang menegaskan bahwa masing-masing pihak tetap menjalankan posisi sebelumnya dengan kuat.

Langkah Doha dalam Menghadapi Skenario-skenario di Atas

Dalam menghadapi konflik dan skenario-skenarionya, Doha dalam berbagai kesempatan terus berpegang pada satu prinsip tetap yang senantiasa didengungkannya. Yaitu perundingan merupakan pilihan strategis untuk menyelesaikan konflik, serta bersedia memenuhi tuntutan yang tidak melanggar kedaulatannya.

Berdasarkan pada prinsip ini, ada beberapa jalur yang ditempuh oleh Doha:

  • Diplomasi, tampak dari langkah dan tur yang ditempuh oleh Menlu Qatar dalam rangka menjelaskan sikap negaranya terkait konflik yang terjadi kepada dunia.
  • HAM, tampak ketika Komnas HAM Qatar menggelar konferensi yang membeberkan bahwa pemboikotan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bahkan mereka bertekad untuk menuntut negara-negara pemboikot Qatar dan mengupayakan kompensasi bagi pihak-pihak yang dirugikan.
  • Ekonomi, Qatar telah aktif mengamankan kebutuhan pangan warganya sejak awal. Juga memperjuangkan berbagai alternatif lainnya, hingga pencarian pasar baru.
  • Media, Al-Jazeera Network, pihak yang paling terpengaruh dari konflik ini sejak awal telah aktif menjelaskan sikap resmi Qatar yang mendukung mereka. Media-media lain di Qatar juga menjalankan peran yang sama dengan tujuan yang sama.
  • Rakyat, tampak jelas dukungan rakyat Qatar kepada negara dan pemimpin mereka. Dukungan itu diekspresikan melalui banyak cara, termasuk melalui jejaring media sosial.

Itulah yang telah dilakukan Doha dalam menghadapi sanksi dan pemboikotan pada tahap awal. Seperti itu pula yang akan mereka lakukan dalam menghadapi tahap kedua dari konflik ini.

Apapun itu, eskalasi konflik jelas tidak mendatangkan keuntungan bagi pihak manapun. Penyelesaian yang diharapkan adalah dengan perundingan langsung. Mendorong seluruh pihak ke arah skenario ketiga sangat penting dilakukan, mengingat akan banyak yang dirugikan jika konflik ini berlanjut. (whc/dakwatuna)

Sumber: Anadolu Ajansı

Konten ini telah dimodifikasi pada 01/07/17 | 10:03 10:03

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...