Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Ramadhan yang Berkesan Bersama Suami

Ramadhan yang Berkesan Bersama Suami

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (al-habib.info)

dakwatuna.com – Alhamdulillâh, wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ Rasûlillâh. Ramadhan selalu menjadi bulan yang indah, namun Ramadhan tahun ini terasa lebih mengesankan bagi saya. Tahun ini adalah Ramadhan kedelapan yang saya jalani bersama suami. Saya merasa, saya dan suami semakin mengingat Allâh. Ibadah yang kami lakukan semakin meningkat. Hubungan kami pun kian bertambah elok.

Sebelum Ramadhan datang, saya dan suami menimba ulang ilmu yang berkaitan dengan bulan Ramadhan. Kami mendengarkan bersama beberapa kajian. Kami membaca beberapa buku, salah satunya Ramadhan: Agar Puasa Tak Sekedar Lapar dan Dahaga yang ditulis oleh Dr. ‘Aidh al Qarni. Kami juga membaca At Tibyân, Adab Para Penghafal Al-Qur’an karya Imam an Nawawi. Selanjutnya, kami memutuskan untuk fokus pada tujuan yang akan kami perjuangkan bersama saat Ramadhan.

Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya, saya memilih shalat Shubuh di rumah, suami saya pun berangkat ke masjid sendiri seperti biasanya. Tidak demikian dengan Ramadhan tahun ini. Selain berangkat bersama ke masjid untuk shalat ‘Isya’ dan tarawih, kami juga berangkat bersama ke masjid untuk shalat Shubuh. Saat hari libur kerja, kami sepakat untuk berdiam di masjid usai shalat Shubuh berjamaah. Kami berdzikir, membaca Alquran (Al-Qur’an), kemudian mendirikan shalat Isyraq dua rakaat setelah matahari terbit. Kami sangat ingin meraih pahala ibadah haji dan umrah pada bulan Ramadhan yang mulia ini.

Saya senang ketika suami menawarkan kepada saya, “Ingin ke masjid mana?” Saya pun menyampaikan jawaban, “Masjid Syekh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin.” Masjid itu terletak di sebelah timur tempat tinggal kami. Saya dan suami lebih sering ke sana.

Ada beberapa alasan sampai saya menjatuhkan pilihan pada masjid itu. Pertama, dekat dan tidak perlu menyeberang jalan raya yang begitu ramai. Kedua, disendirikannya ruangan bagi jamaah wanita. Bahkan, ruangan itu bersih, terang, serta dilengkapi beberapa kipas angin dan pengharum ruangan yang menambah kenyamanan saya dalam beribadah. Ketiga, ada ceramah usai shalat berjamaah. Keempat, tersedianya area wudhu wanita serta kamar mandi yang memadai.

Tangan kanan saya sering memegang lengan kiri suami saya saat berangkat ke masjid. Sebenarnya, saya melakukannya hampir setiap kami jalan bersama sejak awal kami menikah. Namun, suasana berangkat ke masjid terasa syahdu sehingga menorehkan kesan yang istimewa. Tubuh yang masih basah oleh air wudhu. Langit yang gelap. Alunan adzan silih berganti. Angin bertiup dengan lembut sepanjang jalan. Itu begitu menenteramkan. Itu membuat saya tersenyum sendiri.

Tidak hanya saat berangkat bersama ke masjid, saya mendapat anugerah waktu sahur yang indah bersama suami saya. Sebuah kebahagiaan bagi saya dapat menyiapkan menu sahur untuknya. Saya bersyukur karena suami saya justru menganjurkan kepada saya agar tidak menghabiskan banyak waktu untuk menyiapkan menu sahur. “Yang ringan dan mudah saja,” begitu ujarnya.

Oleh karena itu, menu sahur yang saya sajikan di hadapan suami saya cenderung sederhana: air, kurma, roti maryam isi keju-lembar, dan susu cokelat hangat. Susu cokelat hangat itu saya racik dari susu bubuk, cokelat bubuk, gula, dan air hangat. Rasanya lezat dengan harapan semakin kuat berpuasa serta menjalankan berbagai ketaatan kepada Allâh pada siang hari. Sekali-sekali, saya menambah sajian buah pepaya atau semangka, mi-dadak goreng, dan telur-ayam goreng mentega. Biasanya, saya masih bisa bertahajud usai menyiapkan menu sahur.

Setelah adzan berkumandang, menu favorit ifthâr bagi saya dan suami adalah kurma dan air. It’s sunnah! Saya juga menyajikan teh panas dan kudapan. Teh yang saya sajikan untuk suami saya adalah teh kepyur atau tubruk; sering kali yang hitam, sesekali yang hijau. Wanginya sedap dan rasanya mantap. Namun, saya tidak menyajikan yang terlalu kental dan manis. Kami bersantai menikmatinya sepulang suami saya shalat Maghrib di masjid.

Pukul 18.35 biasanya kami sudah bersiap berangkat ke masjid untuk shalat ‘Isya’ dan tarawih. Saat perjalanan atau sesampai di masjid, saya bertemu para ibu-tetangga. Sekadar senyum, salam, dan berjabat tangan dapat meningkatkan rasa ukhuwah, in-syâ Allâh. Saya merasa tenteram mengingat saya jarang bersosialisasi dengan masyarakat. Berbeda dengan suami saya yang lebih sering bersosialisasi dengan masyarakat karena tugasnya sebagai Bendahara RT dan Sekretaris RW.

Saya dan suami tidak mengikuti tadarus di masjid usai shalat tarawih. Kami memilih kembali ke rumah dan menyimak Program Tadarus Al-Qur’an Sehari 1 Juz dari sebuah radio. Kami seperti menimba ulang pelajaran tahsin. Setelah itu, kami pasti lapar dan bersegera menikmati makan malam. Menu favorit makan malam kami adalah nasi goreng pedas-sedang dan es susu-segar tawar, atau martabak manis rasa pisang-keju dan kopi panas.

Demikianlah, Ramadhan tahun ini benar-benar bermakna bagi pernikahan saya dan suami. Semoga kami diridhai Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ sehingga benar-benar pantas dalam golongan orang bertakwa. Dengan itu, keindahan Ramadhan tahun ini akan terus ada sepanjang pernikahan kami. Saya berharap, kelak ada Ramadhan-Ramadhan yang jauh lebih mengesankan dengan kehadiran buah hati yang shalih/shalihah dalam pernikahan kami yang semakin sakînah, mawaddah, wa rahmah. Âmiîn yâ rabbal ‘âlamîn. (dhaniar/dakwatuna.com)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 4.00 out of 5)
Loading...
Seorang guru yang gemar menulis.

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization