Topic
Home / Pemuda / Pengetahuan / Keutamaan Merantau Dalam Menuntut Ilmu

Keutamaan Merantau Dalam Menuntut Ilmu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Yahya bin Ma’in berkata bahwa salah satu golongan yang tidak akan mendapat kecerdasan adalah golongan yang hanya menulis ilmu di daerahnya sendiri tanpa berpetualang, hijrah, ataupun merantau ke daerah lain untuk mencari Hadits (ilmu).

Seringkali kita merasa cukup dengan sumber ilmu dan guru-guru yang ada di daerah sendiri. Padahal rasa kecukupan itu bisa menjadi bumerang dan hal buruk jika tidak diantisipasi. Hal buruk yang dimaksud adalah minimnya pengalaman dan pengetahuan. Dengan merantau kita akan mendapatkan ilmu dari berbagai sudut pandang, lebih menghargai ilmu, dan lebih toleran dengan perbedaan furu’iyyah.

Lihatlah bagaimana orang-orang yang hanya menuntut ilmu di daerahnya sendiri, lebih kaku dan sulit menerima perbedaan. Lebih fundamental dan kuat dalam memegang prinsip yang mendarah daging di daerahnya. Padahal boleh jadi prinsip-prinsip itu tidak semuanya baik dan tidak semua pandangan baru dari luar daerah itu buruk.

Dalam ilmu, kita haram merasa cukup. Islam, lewat lisan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan kita untuk tidak berpuas diri dalam ilmu dan kita wajib terus menerus mencari ilmu, sebagaimana Hadits,

“tuntutlah ilmu sejak dari kandungan hingga ke liang lahat”

Artinya, mencari ilmu adalah pekerjaan sepanjang usia. Renungkanlah kisah Jabir bin Abdullah yang melakukan perjalanan ke Syam dengan jarak satu bulan perjalanan hanya untuk satu Hadits dari Abdullah bin Unais. Lihatlah, betapa kedudukan Abdullah bin Jubair tidak membuatnya merasa sombong dengan ilmunya. Perhatikan bagaimana ilmu mengangkat derajat pemiliknya. Jabir bin Abdullah merupakan salah satu sahabat yang utama dalam Hadits, namun begitu tawadhunya hingga bersusah payah dalam perjalanan menuju Syam menemui Abdullah bin Unais untuk satu buah Hadits.

Merantau untuk ilmu adalah hal yang sangat utama. Hal ini dicontohkan oleh para Nabi, Sahabat, dan generasi setelahnya. Tidak ada manusia yang meragukan kedudukan mulia Nabi Musa as, hingga diberi gelar Kalamullah. Jika dibandingkan kedudukan Nabi Musa as, Nabi Khidir as bukanlah apa-apa. Namun untuk ilmu, Nabi Musa as dengan tawadhunya melakukan perjalanan jauh hanya untuk ilmu. Jika manusia sehebat, semulia, dan setingkat Nabi Musa as saja merantau untuk ilmu, kenapa kita merasa cukup dengan ilmu di daerah kita? Astaghfirullah.. Alangkah takaburnya kita dalam ilmu.

Imam Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai orang yang ingin mencari ilmu, apakah dengan mengikuti orang berilmu atau dengan merantau. Imam Ahmad menjawab bahwa yang utama adalah merantau atau melakukan perjalanan guna mencari ilmu sehingga ia bisa mengetahui ilmu orang-orang (dari daerah lain) dan belajar darinya.

Abu Ishaq Al-Ghazi mengatakan bahwa orang yang hanya menuntut ilmu di daerahnya sendiri semisal orang buta yang tidak butuh pelita. Karena ketidaktahuannya bahwa ilmu itu luas maka ia merasa tidak butuh dengan ilmu dari luar daerahnya. Ilmu adalah pelita, jangan batasi ilmu dengan berdiam diri. Merantaulah, mengasingkan diri, rihlah, bepergian ke tempat yang jauh, carilah ilmu seluas-luasnya.

Siapkan tekad, berbekallah untuk perjalananmu. Jangan ragu dengan ilmu. Abu Dzar Al-Ghifari hanya meminum air zam-zam selama 30 hari hanya untuk mendengarkan satu kalimat dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani tidak memakan apa pun selama berhari-hari untuk ilmu. Kesusahan-kesusahan yang dialami para ulama mengangkat derajat mereka. Begitulah, sebaik-baik bekal adalah takwa. Dengan takwa para ulama mencari ilmu, dengan ilmu mereka menjadi mulia dan kisahnya diceritakan sampai sekarang.

Jika kita mencermati sejarah para ulama, maka kita akan mengetahui bahwa ilmu dicari dalam perjalanan jauh, bukan hanya berdiam diri di daerah sendiri. Imam Syafi’i hijrah dari Gaza ke Madinah untuk menemui Imam Malik bin Anas. Imam Bukhari, imam Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal, dll merantau meski hanya untuk satu huruf. Apakah perjalanan mereka sia-sia? Tentu tidak. mereka sadar bahwa ilmu itu didatangi, bukan sebaliknya.

Kita adalah air, jika berdiam diri maka kotoran tidak akan terbersihkan, dengan merantau kita menghilangkan kotoran syubhat dalam ilmu kita. Merantau dicontohkan oleh seluruh ulama, tidak ada keburukan dalam merantau untuk ilmu. Merantaulah, karena merantau adalah kesempurnaan belajar.[1] (dakwatuna.com/hdn)

[1] Diambil dan diedit dari buku Kisah Para Ulama dalam Menuntut Ilmu, karya Syaikh Abdul Fatah Abu Ghuddah (terjemahan, judul asli shafahat min shabr al-ulama ala syada’id al-ilmu wa at-tahshil)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Sedang menempuh pendidikan sarjana di UIN Jakarta jurusan Perbandingan Mazhab Fiqh, mengisi waktunya sebagai penulis muda di Forum Lingkar Pena cabang Ciputat serta sebagai mudabbir di Ma’had Al-Jami’ah.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization