Tetap Menolak!

(Foto: Farhan Abdul Majiid)

dakwatuna.com – Hari Sabtu lalu  (4/3/2017), di Jakarta, diadakan sebuah aksi berjudul “Women’s March”. Salah satu hal yang disuarakannya ialah menuntut hak-hak bagi kaum LGBT. Bahkan mereka dengan berani membawa poster bertuliskan “Khadijah (istri pertama Rasulullah) adalah seorang feminis” dan menghadirkan beberapa perempuan berhijab. Indikasinya, menjadikan hak untuk berjilbab dan berprilaku homoseks disetarakan. Tentu, hal ini semakin menyesakkan dada kita. Mereka masih terus menerus mengampanyekan kehadirannya sembari menuntut pengakuan. Maka, kita pun harus terus menegaskan sikap, yakni tetap menolak.

Perilaku homoseks ataupun transgender merupakan hal yang tidak dapat diterima. Seluruh agama samawi menolak perilaku yang menjijikan semacam itu. Akal sehat pun menolak dari perilaku yang tak patut itu. Orang-orang yang berusaha menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan dan melumrahkan sesuatu yang ganjil pastilah orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit.

Beragam argumentasi diutarakan mereka yang menuntut pengakuan. Mulai dari yang ilmiah melalui jurnal dan menerbitkan buku, sampai yang memainkan perasaan kasihan. Yang paling parah ialah mereka yang memainkan dalil agama untuk kepentingan mereka. Jika kita tidak memiliki posisi yang jelas dan akidah yang kuat, apa yang mereka sampaikan itu dapat kita terima, cepat ataupun lambat.

Pertama, kita harus memperhatikan argumentasi yang mempermainkan perasaan. Mereka selalu menyatakan kelompoknya sebagai golongan yang teralienasi, tersisihkan dari pergaulan. Dianggapnya pengucilan masyarakat terhadap mereka adalah sebuah kepedihan. Lantas didramatisir seolah-olah merekalah orang yang paling mengenaskan nasibnya. Semua ini dilontarkan demi meraih simpati dan rasa iba. Sehingga, orang-orang pun mau menerima mereka. Inilah tahap awal dari penyesatan yang dilakukan.

Sudah menjadi sebuah sunnatullah, hukum alam, bahwa seseorang akan berkelompok dengan orang yang sejalan dengannya. Kalangan ulama akan nyaman bergaul dengan sesama ulama. Kalangan politisi akan nyaman berkawan dengan sesama politisi yang satu partai atau golongan. Seorang anak pun akan membentuk geng kepada yang berhobi sama. Maka, seorang homoseks pun akan mencari teman yang sama dengannya, atau mencari perlindungan kepada orang yang membelanya.

Dari sinilah, karena mereka berbagi penderitaan yang sama, mereka memandang diri mereka sebagai korban. Korban dari keganasan orang yang tak senang pada mereka. Padahal, itu hanyalah apa yang mereka konstruksikan dalam pikirannya saja. Pada kenyataannya, masyarakat tidak menyukainya karena perilaku merekalah yang tidak patut.

Seseorang tak akan bisa bertaubat tanpa introspeksi diri. Menggiring opini bahwa mereka hanyalah korban kejahatan orang lain yang tak mau menerima mereka apa adanya hanya akan membuat mereka tidak mampu melihat kesalahan yang ada pada mereka. Berbagai teori pun diutarakan bukan untuk menyampaikan kebenaran, namun hanya mencari pembenaran. Fakta pun diutak-atik hanya untuk mencitrakan mereka sebagai golongan yang perlu dikasihani. Padahal, perilaku mereka sendiri yang membuat mereka menderita.

Kita harus waspada dengan upaya barisan paling depan ini. Mereka mencari simpati adalah permulaan, agar orang lain mau menerima mereka. Dalam setiap kampanye, mereka selalu menggunakan jargon-jargon yang manis, semacam “love wins” atau “be proud yourself”. Tentu, ini hanyalah sebuah teknik marketing untuk menarik simpati, seolah-olah perilaku mereka adalah perilaku terhormat.

Kedua, tantangan pun datang dari kaum ilmuan yang mencoba menganggap perilaku mereka adalah sebuah kenormalan. Mereka menganggap bahwa anggapan ketidaknormalan homoseksual hanyalah akibat dari dogma saja. Bila perilaku mereka dahulu dikategorikan sebagai sebuah penyakit kejiwaan, ahli psikologi dari Amerika saat ini telah mengeluarkan homoseksual dari penyakit kejiwaan.

Inilah apa yang kita katakan sebagai ilmuan yang mengedepankan akal dibanding nurani. Memang, wajar saja mereka tidak menggunakan nuraninya saat mengeluarkan pernyataan semacam itu sebab mereka pun hanya memandang manusia dari sisi fisik dan akal saja. Tetapi, mereka menghilangkan aspek jiwa yang muthmainnah, menghilangkan pula qalbu yang sehat. Maka, menjadi aneh bila kita yang berupaya menuju nafsul muthmainnah dan qalbun saliim mengikuti perilaku mereka yang sedemikian itu.

Berbagai teori yang diungkapkan untuk melegalkan perilaku homoseksual sebenarnya hanyalah upaya mencari pembenaran atas perilaku buruk yang mereka lakukan. Mereka yang tak dapat menghindari buruknya perilaku itu maupun sudah menaruh hati kepada para pelaku homoseks tidak tega bila dikatakan homoseksual adalah perilaku yang menyimpang. Dibuatlah berbagai pembenaran, salah satunya melalui jalur para ilmuan.

Pembenaran yang dibuat para ilmuan ini akhirnya menjadi sebuah senjata bagi mereka. Sering dikemukakan, “ahli psikologi Amerika saja menganggap homoseksual sebagai suatu yang normal, kenapa masih tidak percaya dengan mereka yang profesor doktor dan justru percaya kepada agamawan?”. Inilah upaya penyesatan, bahwa mereka menganggap apa yang dibawa oleh kaum agamawan hanyalah sebatas dogma yang tidak rasional. Firman Tuhan diabaikan dan justru pemikiran ilmuan yang nyeleneh itu diikuti.

(Foto: Farhan Abdul Majiid)

Lebih jauh lagi, mereka pun berupaya membedakan makna seks dan gender. Seks, dalam pandangan sosiologi, adalah keadaan kelamin secara biologis. Sedangkan gender, adalah keadaan kelamin secara psikologis. Maka, meskipun di dalam tubuhnya terdapat rahim dan vagina, bila ia merasa jiwanya adalah laki-laki, dalam kacamata gender, mereka adalah laki-laki. Inilah pembiasan makna yang mereka upayakan. Mereka menolak konstruksi sosial atas hegemoni patriarkis yang mendorong laki-laki di atas perempuan. Mereka pun menuntut agar apapun kelaminnya, yang harus diakui adalah apa yang ia rasakan. Maka tak heran, di beberapa tempat, sudah mulai diakui kelamin ketiga yang bukan laki-laki ataupun perempuan.

Ketiga, hal yang paling parah terjadi justru oleh orang yang berupaya menggerogoti moral dan akhlak dari dalam, yakni mereka mengupayakan mengkonstruksikan ulang dari dalam agama. Dalam buku Seputar Kesetaraan Gender: Kerancuan, Kekeliruan, dan Dampaknya, Dr. Adian Husaini menjabarkan bahwa terjadi upaya penerimaan atas perilaku homoseksual dengan usaha menafsirkan kembali ayat Al Quran yang berkaitan dengan keharaman homoseksual. Dikatakan, salah satu upaya mereka ialah meragukan bahwa azab yang diterima oleh Kaum Sodom hanyalah sebuah bencana alam biasa, bukan karena perilaku homoseksual. Ada pula yang mengatakan, Nabi Luth kecewa karena tidak bisa menikahkan putrinya sehingga menganggap laki-laki yang menolak itu sebagai perilaku homoseks. Bahkan mereka menggambarkan sosok Nabi Luth sebagai orang yang emosional karena membenci kaumnya. Ini adalah upaya penafsiran yang konyol.

Tak pernah ada satupun ulama mahsyur yang menghalalkan perilaku homoseksual apalagi berpikir macam-macam atas kenabian Luth ‘Alaihissalaam. Kerancuan berpikir orang yang berusaha untuk menggempur dari dalam agama Islam untuk menghalalkan perilaku haram dan laknat itu hanyalah upaya yang absurd. Tidak didukung dengan metodologi tafsir yang jelas, tidak pula memiliki dalil yang kuat. Hanya berdasarkan keraguan dan nafsu ingin mengkritik paham agama yang telah dibangun.

Upaya semacam ini tentu sebuah kesesatan yang bila dibiarkan dapat merusak pemahaman akidah generasi muda muslim, apalagi di Indonesia. Padahal, bila kita merujuk pada ideologi Pancasila, kemanusiaan kita bukanlah yang menuhankan manusia sampai-sampai menyandarkan kebenaran hanya pada pendapat segelintir manusia. Dr. Henri Salahuddin dalam tulisannya di Jurnal Islamia menyebutkan, “Kemanusiaan yang dimaksudkan dalam Pancasila dan seharusnya disemaikan ke dalam jiwa bangsa Indonesia bukanlah humanity yang sekular, atau kemanusiaan yang netral agama, atau bersandar pada HAM yang bebas nilai. Tetapi kemanusiaan yang dimaksud adalah ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’”. Dapat kita lihat, bahwa kita memaksudkan kemanusiaan yang diperlihatkan oleh bangsa kita adalah kemanusiaan yang beradab, bukan yang biadab.

Patut diwaspadai, bahwa dari upaya kritik terhadap penafsiran Al Quran ini akan dibawa kepada usaha meredefinisi makna perkawinan dalam undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Dalam undang-undang yang berlaku, perkawinan yang diterima hanyalah antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, dianggap tidak sah oleh negara apalagi agama. Maka, jika dalam beberapa pemberitaan ditemukan adanya orang yang kawin sejenis di Indonesia, dapat dipastikan perkawinan mereka tidak sah.

Inilah akibat dari memandang agama Islam dari kacamata Barat. Tidak ada salahnya bila kita belajar mengenai pemikiran Barat, tapi akan menjadi aneh bila menggunakan pemikiran mereka yang bebas nilai dan menganggap agama hanya sebatas dogma itu untuk menelisik Islam. Sebab, Islam tidak seperti yang mereka bayangkan  dan tidak sama juga dengan tradisi. Islam bukan dibangun dari tradisi suatu suku tertentu, tetapi Islam justru menghadirkan tradisi keilmuan dan sosial yang baru dan berlandaskan pada Al Quran dan Sunnah.

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam membidas argumentasi mereka. Pertama, kita tidak membenci orang yang berprilaku homoseks ataupun transgender, melainkan kita tidak akan pernah bisa menerima perbuatan itu. Sebab, perilaku homoseks dan transgender merupakan dua hal yang hukumnya haram. Sampai kapan pun, tidak perlu dan tidak akan diubah. Namun, kita bisa mengubah perilaku semacam itu melalui taubat. Taubat nasuha yang penuh kesungguhan, meninggalkan nafsu kebinatangan, dan mengedepankan keinginan meraih Ridha Allah Ta’ala. Dari sinilah kita harus mengedepankan ajakan dengan baik. Bukan memusuhi apalagi membuat mereka tidak senang dengan Al Quran dan Hadits. Sampaikan secara bijak dan penuh kelembutan akhlak.

Kedua, menanamkan pemahaman akidah yang lurus, bahwa manusia harus mengupayakan diri menuju pribadi yang mulia. Maka, mencontohlah kehidupan Nabi Muhammad Saw. sebagai manusia yang paling mulia. Bukan justru mencari pembenaran dari orang-orang yang tak menyandarkan kebenaran pada Al Quran dan Hadits. Akidah yang lurus adalah modal utama dalam meraih hidup yang selamat. Baik dunia maupun akhirat. Sebab, yang dicari bukan hanya dunia. Bagi seorang muslim, dunia hanyalah alat menuju kebahagiaan akhirat yang abadi.

Ketiga, bila mereka beralasan bahwa tidak ada ayat yang menjelaskan secara spesifik keharaman homoseks dan transgender, ingatlah pada sebuah hadits masyhur riwayat Bukhari. Beliau melarang seorang muslim laki-laki berprilaku layaknya perempuan dan sebaliknya, karena itu akan mendatangkan kemurkaan dari Allah. Menyerupai saja dilarang, apalagi mengubah takdir? Di dalam Al Quran pun dilarang untuk mengikuti perilaku laknat kaum Sodom yang melegalkan persetubuhan laki-laki dengan laki-laki, apalagi kita justru ikut melegalkannya?

Keempat, ada pula yang beralasan bahwa orang yang homoseks dan transgender tidak diazab sampai detik ini, bahkan terus bertambah. Ini adalah sebuah kerancuan berpikir yang parah, yang menantang turunnya azab. Jangan sekali-kali kita menantang adanya azab. Sebab, bukan hanya mereka dan pendukungnya saja yang akan ditimpa, tetapi seluruhnya. Ini justru kesempatan dakwah yang Allah berikan bagi kita. Dakwahi mereka yang menjauh, beri pemahaman bagi mereka yang tak tahu.

Kelima, kedepankan akidah daripada perasaan. Bukan kita tidak boleh kasihan terhadap orang yang termarjinalkan akibat dari perilaku mereka itu. Tetapi, jangan sampai kita justru menghalalkan yang haram dan merancukan yang halal. Berprinsiplah, bahwa kebenaran tidak akan pernah menjadi kesalahan hanya karena semua orang menolaknya. Begitu pula kesalahan tidak akan pernah bisa menjadi kebenaran, sekalipun semua orang melakukannya. Kebenaran itu berdasarkan apa yang dikatakan Allah dan Rasul, bukan orang kebanyakan.

Keenam, ketika mereka berkampanye sambil mengatakan Khadijah adalah seorang feminis, itu hanyalah upaya agar diterima kalangan muslim saja. Khadijah, istri pertama Rasulullah, bukanlah seorang feminis. Beliau adalah seorang muslimah taat yang mengikuti Nabi Muhammad. Memang ada perbuatannya yang menjadikan seorang wanita menjadi mulia. Tetapi bukan karena dia seorang feminis. Beliau mencontohkan kepribadian dan ajaran Islam yang mulia.

Ketujuh, yang paling penting bagi kita ialah konsistensi dalam menolak kemungkaran. Sekecil apapun, kita harus mewaspadai kemungkaran dan orang yang mempromosikannya. Bukan menanam kebencian, tetapi kita menjalankan perintah amar makruf nahi munkar. Mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mungkin konsistensi kita menolak kemungkaran ini membuat kita tidak disukai. Tapi yakinlah, bahwa bukan penilaian orang yang kita cari. Keridhoan Allah, itulah yang kita upayakan. Apa yang Allah ridhai, di situlah tempat kita berpijak.

Wa maa taufiqi illa billah, wallahu a’lam.

 

 

Bacaan lebih lanjut:

Dr. Adian Husaini, Seputar Paham Kesetaraan Gender: Kerancuan, Kekeliruan, dan Dampaknya

Syamsuddin Arif, Menyikapi Feminisme dan Isu Gender

Jurnal Pemikiran Islam Islamia, Republika, 18 Februari 2016

(dakwatuna.com/hdn)

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, Alumni SMA Pesantren Unggul Al Bayan.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...