Setelah 94 Tahun Berjaya, Dapatkah Sekularisme Turki Bertahan?

Ilustrasi (flickr.com / Jeremy Vandel)

dakwatuna.com – Turki. Republik Turki, sebuah negara yang didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk pada tahun 1923 itu kini usianya telah mencapai 94 tahun. Setiap tahun, tepatnya tanggal 29 Oktober, negara itu senantiasa merayakan hari jadinya. Meskipun perdebatan sengit terus bergulir antara Elite Sekular dengan Gerakan Islam, yang saat ini lebih mendominasi kancah perpolitikan Turki sejak 2002 lalu.

Sejarah paham sekularisme di Turki erat kaitannya dengan keruntuhan Turki Utsmani pada bulan November 1922. Selain itu, paham sekularisme semakin dalam menancapkan kukunya dengan amandemen undang-undang dasar negara Turki pada 5 Februari 1937. Dalam amandemen tersebut ada penambahan kata “Sekular” pada bagian definisi negara. Keberadaan kata Sekular tersebut, masih bertahan dalam konstitusi Turki hingga saat ini. Itulah yang tengah diupayakan untuk diubah melalui Referendum 16 April mendatang, oleh partai penguasa saat ini, AKP.

Sekularisme dan Agama

Setelah berjalan lebih dari 9 dekade sejak revolusi yang dilakukan Kemal Ataturk, warisannya bahkan sangat dominan mempengaruhi ideologi negara Islam yang sangat dekat dengan dunia barat itu. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh kelompok yang saat ini berkuasa, sepeti mengurangi pengaruh militer.

Sejak AKP pada 2002 lalu berhasil mendominasi pemerintahan, serta memperoleh dukungan yang besar oleh rakyat, Turki seakan terus mengintai kekuatan Islam macam AKP. Bahkan kelompok sekularis senantiasa berkeyakinan bahwa militansi mereka di pemerintahan, merupakan kerugian bagi proses demokrasi di negeri tersebut.

Militer, yang disebut sebagai “pelindung sistem sekular Turki”, merasa khawatir. Mereka selalu berupaya menghalau segala bentuk ancaman terhadap sistem sekular di negeri itu. Begitu pula dengan Elite Sekular Turki. Sejak tahun 70-an, mereka terus mengeluarkan berbagai daya dan kekuatan yang mereka miliki. Baik itu melalui politik, hukum, maupun militer sekalipun. Misi mereka hanya satu, yaitu mencegah kelahiran politik Islam. Tidak mengherankan bila upaya kudeta yang dilancarkan pada pertengahan tahun lalu, disebut sebagai bagian dari kerja keras mereka.

Paham Sekularisme Turki diadopsi dari paham Kemalisme, yang memiliki beberapa pemahaman dasar. Seperti: konsep negara republik sebagai pengganti Khilafah Islamiyah, nasionalisme sebagai pengganti ikatan dan ideologi keagamaan, serta kudeta militer dilancarkan bagi setiap pemerintahan yang menentang paham kemalisme tersebut.

Erdogan Tidak Dipercaya Kaum Sekular

Sejak Erdogan dan AKP memperoleh kemenangan pada pemilu 3 November 2002, pertempuran antara kalangan Islam dan Sekular berpusat pada satu topik sensitif. Yaitu tentang Erdogan sebagai sosok Islamis. Rupanya, berbagai klarifikasi Erdogan tentang tuduhan tersebut, tidak berdampak signifikan. Bahkan kalangan sekularis senantiasa mengamati Erdogan dengan seksama, dan menunggu kesempatan yang tepat untuk menggulingkan pemerintahannya yang dianggap meresahkan bagi Elite Sekular Turki.

Interaksi Antara AKP dan Sekularisme

Keberhasilan yang diperoleh AKP dalam menempati posisi puncak pemerintahan, sungguh tidak terprediksikan sebelumnya. Lebih dari itu, keberhasilan AKP tersebut juga diiringi dengan keberhasilan mereka dalam mempertahankan Politik Islam, serta mampu meredam efek guncangan yang biasa dilakukan oleh Elite Sekular. Sehingga pelan tapi pasti, mereka dapat mengembalikan eksistensi agama, warisan budaya, dan identitas asli Turki.

Yang tak kalah mencengangkan dari itu semua adalah, Erdogan sebagai mantan ketua AKP sekaligus Presiden Turki saat ini, mampu menghindarkan diri dan partainya dari nasib buruk yang diterima oleh para pendahulunya.

Erdogan berjalan dengan langkah dan strategi yang pasti, dalam mendapatkan kepercayaan para pemilih Muslim Turki. Kemudian ia juga pandai mengembalikan spirit keislaman dalam jiwa seluruh rakyatnya. Sosok Erdogan ini bahkan mampu keluar dari berbagai tuduhan yang dibuat untuk menghantam dirinya. Erdogan menunjukkan sikap defensif yang cenderung tenang dalam menghadapi semua itu. Bahkan secara perlahan, Erdogan mampu menghilangkan berbagai kekhawatiran yang timbul dari penerapan nilai-nilai Islam dalam pemerintahan. Ini jelas menguntungkan bagi Erdogan. Karena ritme permainan dan pendekatan seperti inilah yang menjadi kekuatan AKP sehingga mampu mengantarkan mereka ke gedung parlemen. Parahnya, pendekatan seperti ini ternyata luput dari kejelian para Elite Sekular.

Keberadaan AKP di pemerintahan ternyata memunculkan pemahaman khusus tentang sekularisme di Turki, yang bahkan belum disingkirkan dari konstitusi. Setelah AKP memberikan pemahaman khusus itulah, secara perlahan substansi sekularisme hilang. Kemudian AKP berupaya untuk meyakinkan penerapan konsep dan nilai-nilai agama dalam berbangsa dan bernegara.

Sejak tahun 2011, kebijakan-kebijakan partai penguasa, AKP, mulai terasa konservatif. AKP mulai menghembuskan atmosfer Islam ke ruang publik Turki, melalui perubahan sosial yang mendalam dengan berbagai hukum dan undang-undang yang mereka produksi. Sebagai contoh adalah penyerapan dan implementasi aspirasi rakyat. Ini berbeda dengan konsep “Ataturkisme” yang mengharuskan golongan sekular di atas segalanya.

Bahkan yang terbaru, tepatnya pada April 2016 lalu, ketua parlemen Turki, Ismail Kahraman, menyebutkan bahwa konstitusi Turki yang baru harus bernafaskan “Agama”. Kahraman juga menegaskan bahwa paham sekularisme, tidak boleh menjadi bagian dalam konstitusi baru tersebut.

“Kita sebagai negara Islam, kenapa harus menghindarkan konstitusi dari agama? Kita ini negara Islam, maka wajib bagi kita untuk menyusun konstitusi yang bernafaskan agama. Dan yang terpenting adalah, paham sekularisme tidak boleh mewarnai konstitusi baru tersebut,” ungkap Kahraman.

Menurut para pengamat politik, perdebatan yang terjadi antara kalangan Islam dengan kelompok sekular, tidak akan berhenti begitu saja. Perdebatan itu akan selalu menyeruak di saat tidak ada kesepahaman antara kedua belah pihak dalam sebuah permasalahan. Namun yang sangat jelas terlihat adalah pergeseran yang dialami Turki di bawah AKP, akan menyulitkan negara. Bahkan sangat mungkin apa yang terjadi pada tahun 90-an akan kembali terulang.

Geliat Gerakan Islam

Berbagai kegagalan elite sekular sangat jelas terasa setelah periode 80-an, tepatnya ketika sosok Turgut Ozal  muncul di pucuk pemerintahan. Selama masa pemerintahannya, kalangan Islamis sepertinya dapat bernafas lega. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki, sebuah hal yang dinggap tabu terjadi. Yaitu ketika Hasan Marci, selaku deputi Refah Partisi, menyampaikan kritikannya dan meminta tradisi mengunjungi makam Ataturk di Ankara untuk dihentikan.

Begitu pula dengan masa pemerintahan partai AKP saat ini. Kaum Sekularis gagal membendung gelombang invasi keagamaan di Turki yang pada mulanya sangat kecil, namun secara pasti semakin membesar. Kegagalan sekularis ini dapat tercermin dengan muncul dan perkembangan pesat kalangan akademisi Islam dari kampus-kampus.

Singkatnya, kemenangan AKP pada 2002, bukan hanya karena kecerdikan para penggerak dan pembesarnya saja. Tapi kemenangan tersebut datang dari geliat pergerakan Islam yang telah terjadi sebelumnya. Juga adanya kesalahan politik yang dilakukan kaum sekularis secara beruntun, serta kegagalan para elitnya dalam menghadirkan kesetaraan dan stabilitas di tengah-tengah rakyat.

Masa Depan Sekularisme Turki

Tidak diragukan lagi bahwa paham sekularisme dan para elite sekular Turki, telah mengalami pukulan yang sangat telak pada beberapa tahun belakangan. Terutama sejak partai AKP berkuasa tentunya. Yang pasti terjadi saat ini adalah, sekularisme Turki sedang berdiri di persimpangan yang membingungkan dalam menentukan arah tujuan mereka. Kemanakah arah mereka?

Kami melihat, memang benar bahwa Turki secara politik, hukum, pemerintahan, dan militernya dikuasai oleh paham sekularisme selama bertahun-tahun lamanya. Namun begitu, tenyata rakyat Turki tetap bertahan dengan identitas asli mereka sebagai seorang muslim. Begitupun dengan seruan Islam, yang akan senantiasa disambut oleh mereka ketika ada kalangan yang menyerukannya. (whc/turkpress/dakwatuna)

(Ditulis oleh Thaha Audah, Pengamat dan Jurnalis Arab)

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...