Topic
Home / Berita / Analisa / Referendum 16 April Kesempatan Bagi Turki*

Referendum 16 April Kesempatan Bagi Turki*

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (turkpress.co)

dakwatuna.com – Ankara. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki pada akhir pekan ini secara resmi meluncurkan kampanye “Ya” untuk perubahan konstitusi menjadi sistem pemerintahan presidensial.

Referendum yang akan digelar pada 16 April mendatang, merupakan puncak dari krisis konstitusi yang melanda Turki sejak tahun 2007 lalu. Pada saat itu, militer dan birokrasi elit menentang keras pencalonan pimpinan AKP sebagai presiden. Penentangan itu tampak dengan adanya syarat kehadiran 2/3 kuorum di parlemen, yang artinya, seorang kandidat harus memperoleh 376 suara.

Keinginan militer dan birokrasi elit Turki saat itu sangat jelas. Yaitu, seorang kandidat yang mempunyai istri berhijab, tidak boleh menduduki jabatan sebagai presiden. Oleh karena itu, Partai AKP dihadapkan dengan rakyat dalam pemilihan dini, yang kemudian malah keluar sebagai pemenang, dan mencalonkan Abdullah Gul sebagai presiden.

Untuk mengatasi krisis konstitusi tersebut, maka diputuskan bahwa presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan langsung. Keputusan ini dimulai pada akhir masa jabatan Abdullah Gul sebagai presiden yang telah berjalan selama tujuh tahun. Sungguh ironis bahwa krisis konstitusi yang diciptakan oleh militer dan birokrasi elit, justru melahirkan presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Pada sistem sebelum tahun 2007, kantor presiden merupakan bagian dari institusi pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri, yang memiliki peran sesungguhnya dalam pemerintahan. Tapi, setelah ditetapkan bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka tidak mungkin negara tetap berpegang pada pedoman tersebut.

Dengan aturan baru tersebut, para calon presiden akan melakukan kampanye, menggelar berbagai agenda politik, dan memberikan janji-janji politik kepada rakyat. Sedangkan pada aturan sebelumnya, presiden hanya diberikan wewenang untuk memantau dan memastikan pemerintahan terpilih memberikan keuntungan kepada militer dan birokrasi elit. Dengan kata lain, hal itu dimaksudkan untuk menghambat kekuasaan eksekutif kantor presiden, terutama saat bertentangan dengan kepentingan, dan ideologi birokrasi elit terancam.

Dengan perubahan yang terjadi, maka presiden memiliki peran eksekutif yang nyata. Presiden juga mewakili kepentingan rakyat, dan bukan hanya untuk kepentingan birokrasi elit berkuasa sebagaimana yang dimaksudkan dalam konstitusi 1980.

Sejak presiden Recep Tayyip Erdogan terpilih dalam pilpres 2014 lalu, di Turki terdapat dua pemimpin (presiden dan perdana menteri), yang dapat saling mengintervensi kebijakan. Inilah permasalahan yang memberikan tekanan terhadap sistem politik di Turki. Tekanan ini tidak dapat dihindari meskipun kedua pemimpin berasal dari partai yang sama sekalipun. Oleh karena itu, mengubah konstitusi menjadi suatu keharusan untuk menyelesaikan masalah pembagian kekuasaan antara presiden dan perdana menteri.

Referendum 16 April merupakan jawaban atas krisis yang berkepanjangan ini. Terutama sejak berbagai upaya untuk menyusun konstitusi baru melalui parlemen tidak menunjukkan keberhasilan. Upaya yang sebelumnya dilakukan dalam menyusun konstitusi baru dari awal, telah menjadikan tahapan-tahapan konstitusional ini menjadi penting. Selain itu, upaya kudeta yang terjadi pada bulan Juli 2016 lalu, telah semakin jelas menunjukkan bahwa kedaulatan sipil terhadap birokrasi lama, belum sempurna. Dapat dikatakan bahwa Referendum 16 April juga akan menghapuskan dampak yang ditimbulkan oleh konstitusi kudeta 1980, yang dijadikan pelindung bagi status quo dan para elit tua. Yang tak kalah penting lagi, Referendum 16 April juga akan menghapus berbagai peranan yang anti-demokrasi.

Bukan suatu kebetulan jika banyak pemimpin politik di Turki yang telah disebutkan di masa lalu, saling menyerukan untuk beralih ke sistem presidensial. Tapi itu tentu bukan menjadi jaminan mereka akan mendukung politisi AKP. Para pemimpin politik ini tahu bahwa pemerintah yang dipilih rakyat sedang dikucilkan kaitannya dengan isu-isu utama dalam negeri, terutama dalam bidang keamanan nasional dan kebijakan luar negeri.

Referendum 16 April akan menjadi ajang pergelutan antara institusi dan kehendak rakyat. Jika presiden telah dipilih langsung oleh rakyat, maka saat itu juga presiden harus diberikan wewenang untuk menjalankan dan menetapkan kebijakan, serta bertanggungjawab di hadapan rakyat dalam pemilu. Karena tidak akan ada gunanya seorang presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, namun pada praktiknya hanya menjadi benteng perlindungan bagi intitusi pemerintahan.

Agenda perubahan konstitusi ini muncul karena para pemilih Turki sadar bahwa konstitusi yang dihasilkan melalui kudeta 1980 tidak dirancang untuk menjamin terwujudnya kehendak rakyat oleh pemerintah. Dengan demikian, maka Referendum 16 April merupakan kesempatan lain untuk mereformasi sistem pemerintahan, dan menjadikan pemerintah lebih bertanggungjawab kepada rakyat. Jajak pendapat terakhir menyebutkan bahwa pilihan “Ya” unggul, meskipun kampanyenya baru saja dimulai. Jika para pemilih menyetujui perubahan konstitusi yang diusulkan, maka ini merupakan perubahan terbesar dalam sejarah sistem pemerintahan Turki sejak tahun 1980.

Sistem perwalian yang disusun oleh militer dan birokrasi elit Turki, pada kenyataannya telah banyak memberikan hambatan yang signifikan melalui kudeta militer, yang terbaru adalah yang terjadi pada bulan Juli 2016 lalu. Selain itu, juga telah menyebabkan krisis konstitusi seperti yang harus dihadapi negara pada tahun 2007 lalu.

Oleh karena itu, perubahan yang diusulkan dalam Referendum 16 April akan membantu dalam instalasi kedaulatan sipil atas sistem politik, mencegah krisis konstitusional, serta mengatasi kebingungan yang timbul akibat adanya dua pemimpin terpilih untuk kepala negara. Referendum juga akan memberikan Turki kesempatan untuk mereformasi lembaga-lembaga politik, dan menyingkirkan hierarki pemerintahan yang merupakan peninggalan sistem perwalian lama. (whc/turkpress/dakwatuna)

*Ditulis oleh Kadir Austin – SITA Center of Political and Economic Studies

Redaktur: William

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Rusia: Turki Maju sejak Erdogan Memimpin

Figure
Organization