Topic
Home / Pemuda / Essay / Paranoid

Paranoid

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Twitter)

dakwatuna.com – Mungkin gangguan paranoid merupakan sebuah gangguan yang tergolong ke dalam gangguan kepribadian di mana para penderitanya mengalami ketakutan yang amat kronis atau sensitif terhadap sebuah kejadian yang mereka anggap mengancam dirinya atau kritik yang dialamatkan padanya baik itu nyata ataupun tidak nyata.

Dalam DSM-IV-TR sedikitnya terdapat empat ataupun lebih ciri seperti kecurigaan yang sifatnya pervasive yang mana mereka meyakini bahwa mereka akan di celakai, dikhianati, atau dieksploitasi. Yang kedua adalah keraguan yang tidak berdasar pada kesetiaan rekaan atau enggan untuk mempercayai orang lain, mendendam atas beragam hal yang dianggapnya salah, reaksi berupa kemarahan dan lain sebagainya.

Dalam obrolan masyarakat mungkin kata paranoid tak mesti selalu di cirikan dengan sebuah gangguan psikologis berat, namun paranoid menjadi sebuah candaan yang mana hal tersebut biasanya di alamatkan pada mereka yang tiba-tiba “grasak-grusuk” menyikapi permasalahan dan lain hal.

Kehidupan saat ini memang penuh dengan candaan, dan mungkin saja ia hadir dikarenakan rasa resah akibat ketidakpastian biaya kehidupan. Boro-boro mikirin investasi saham untuk ke depan, lah wong mikirin “mahar” buat mas kawin saja apa kabar. Mohon bersabar ya kamu, iyaaa kamuuu eciyeee penulis jadi malu tiba-tiba.

Pernah suatu ketika saya mengalami hal serupa, tepatnya saat masih aktif menjadi seorang mahasiswa. Tugas begitu banyaknya, namun tak satu pun saya mengerti tugas yang di maksud hingga detik-detik akhir pengumpulan. Begadang semalaman pun rasanya mustahil untuk dapat terselesaikan. Mungkin saat itu jika ada yang menantang adu jaga lilin di malam hari, maka sayalah pemenangnya. Betapa tidak, di tengah malam tersebut silih berganti saya “ngerusuhi” teman-teman yang sekiranya dapat dijadikan sebagai malaikat penolong. dan saat itulah saya merasa nasib nilai saya akan hancur berkeping-keping bagai hati yang ditolak calon mertua. Aduhh syakitnyaaa… dan saya merasa, saya paranoid akibatnya.

Keparanoidan yang terjadi pada diri saya sebenarnya dapat kita telisik secara mendalam di berbagai kesempatan, yang mana kejadian tersebut sama persis, yaitu ketakutan secara berlebihan jika mendapatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan. Kita bisa melihat saat antre sembako murah, pembagian zakat, dan mungkin saja berebut tanda tangan artis Korea. Yaitu rasa takut dan merasa terancam jika tidak kebagian giliran. Sunggu sedih bin ironi bukan? Hingga buang hajat di toilet umum pun terkadang masih saja ada oknum yang berebut, yassalamm.

Refleksi dari keadaan paranoid ini juga tercermin dalam sekala kepemimpinan era Orba, di mana banyak sekali para aktivis yang dituduh hendak berbuat makar. Segala aktivitas yang berbau kritikan langsung trabas untuk di bungkam. Banyak pula penculikan para aktivis yang sampai sekarang pun tak diketahui rimba keberadaannya. Dan aksi paling mencolok yang terjadi adalah saat terjadinya peristiwa semanggi yang memakan korban.

Dan ketakutan yang cenderung paranoid itu pun saat ini terindikasi bangkit kembali. Ya keparanoidan dari sebuah rezim yang dahulu mencitrakan diri sebagai figur santun dan merakyat. Pokoke pro wong cilik lah. Sebuah figur yang dahulu sempat membuat simpati, terlebih saat janji mobil esemka menebar membuat asa bangsa untuk mandiri kian membumbung tinggi.

Rentetan kejadian 411, 212, hingga terakhir yang digerakkan oleh adik-adik mahasiswa semakin mengindikasikan, bahwa bangsa ini tengah di landa ketidakstabilan psikologis, atau lebih tepatnya paranoid situasi.

Pola paranoid itu tercermin dalam kritik yang saat ini selalu dikaitkan dengan isu makar oleh pemerintah, penggulingan kekuasaan, pembangkangan, dan yang terbaru pembungkaman suara-suara yang di anggap mengancam. Pembredelan situs-situs kritis menyuarakan keresahan dianggap sebagai situs “sarang hoax” dan lain sebagainya.

Gerakan-gerakan mahasiswa pun dibungkam dengan melakukan skenario pengondisian. Pengondisian tersebut dilakukan dengan bermacam-macam cara, mulai dari yang halus hingga yang agak menakutkan. Hari ini saya mendapat kabar, bahwa sebelum aksi berlangsung adik-adik yang notabenenya adalah ketua lembaga, tak sedikit yang di “ciduk” sementara atau di interogasi yang mana harapannya dapat melemahkan dan membungkam suara-suara kritis dari para agen perubahan.

Tak kalah mencengangkan, manakala di depan mata saya sendiri akhirnya penyuaraan aspirasi yang sejatinya berjalan damai, tiba-tiba di hadiahi tembakan gas air mata. Miris sekali rasanya melihat itu semua, saat aparatur negara yang semestinya melindungi rakyat, justru menjadi simbol garda terdepan pagar-pagar penguasa. Dengan alasan yang sama dan isu yang sama, bahwa aksi adik-adik mahasiswa merupakan aksi yang di tunggangi para elit politis dan berpotensi makar.

Kondisi ini tentu tidak sehat bagi keutuhan negeri yang menjunjung tinggi sistem demokrasi dengan pedomannya Pancasila. Mungkin saya tak memiliki kapasitas jika berbicara hukum dan undang-undang karena memang toh background saya bukan hukum, melainkan psikologi. Namun silakan ditelisik sendiri undang-undangnya, apakah menyuarakan pendapat itu dilarang dalam undang-undang? Apakah ekonomi saat ini sudah pro rakyat? Apakah sudah terimplementasi pengelolaan sumber daya alam yang sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat? Silakan untuk bersama mengkajinya lagi.. atau biar lebih sedap sambil berdiskusi dan membaca artikel ini di selipi dengan membeli cabai, dan mengurus STNK, di jamin maknyuss.

Mungkin kita lelah dengan semua ini, kita pun jengah dengan dinamika yang bergejolak tak berkesudahan saat ini. Selalu saja di bingungkan dengan kondisi, di mana di media “sebelah mainstream” kebaikan dicitrakan berlebihan, namun realitas tak sesuai dengan harapan. Mohon bersabar ini ujian.

Jika saja virus paranoid para elit mampu disembuhkan, tentu gejolak negeri ini tak lagi nikmat di santap oleh segelintir orang yang menginginkan bangsa ini koyak. Begitu pula dengan rakyatnya. Ini semua sebenarnya dapat disembuhkan dengan menumbuhkan rasa saling percaya. Dan ini tentunya tidak dapat hadir secara “ujug-ujug” di tengah kita. Perlu proses dan keikhlasan di antara keduanya. Rela mendengar keluhan adalah kunci kesuksesan, yang tak semua pemimpin sabar dalam mengaplikasikan. Jaya Indonesiaku, merdeka bangsaku. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mungkin tulisan hanya kan menjadi pajangan, namun dengan tulisan kita mampu mengekspresikan keresahan dan harapan. melalui tulisan pun kita mampu menciptakan perubahan yang akan terekam dalam keabadian. Seorang biasa yang berusaha untuk terus belajar dan melengkapi kekurangan

Lihat Juga

Saya Paranoid Jika Dengar Kata Pernikahan, Apa yang Harus Saya Lakukan Agar Paranoid Tersebut Hilang?

Figure
Organization