Rumahku (Bukan) Surgaku?

Ilustrasi-Keluarga (eureka89.wordpress.com)

dakwatuna.com – KELUARGA. Individu individu yang berkumpul atas dasar ikatan darah, yang dalam dirinya dipenuhi dengan rasa ingin melindungi sekaligus mengayomi. Demikian adalah sebaris kalimat yang bisa dijadikan sebagai definisi sederhana sebuah keluarga. Namun sayang, kenyataan menunjukkan bahwa aplikasinya tidak sesederhana definisi yang diberikan.

Meningkatnya angka perceraian adalah sebagian kecil potret suram kehidupan keluarga di Indonesia. Perselisihan yang semestinya merupakan sesuatu yang wajar terjadi sebagai bagian dari bumbu pernikahan tak jarang berujung pada tindak kekerasan. Tidak hanya itu, arus feminisme dan gaya hidup hedonis yang kian gencar diopinikan berbuntut pada merangkaknya jumlah wanita yang bersikeras berkarir. Entah benar benar untuk mencukupi kebutuhan, atau sebagai eksistensi diri semata. Tidak salah memang. Namun perlu juga dicermati, bahwa pilihan tersebut tak ubahnya hanya akan menimbulkan permasalahan lain jika si perempuan enggan menyadari kodrat dan fungsi utamanya dalam sebuah keluarga. Padatnya aktivitas diluar tidak menutup kemungkinan bakal menyedot sebagian besar waktu dan juga energinya, hingga menganggap rumah sebagai satu satunya tempat yang pas untuk istirahat sebelum kembali berutinitas.

Tidak berbeda dengan kondisi orangtua, jam kehidupan anak di lingkungan keluarga atau rumah pun juga semakin terbatasi akibat penerapan sistem pendidikan yang tidak tepat. Kebijakan terbaru dengan menambah kuantitas jam belajar siswa di lingkungan sekolah nyatanya tidak berimbas pada meningkatnya kualitas mereka. Masih banyak kasus dengan pelaku yang masih berstatus pelajar, bahkan beberapa waktu lalu media digemparkan dengan berita anak Sekolah Dasar yang berpesta miras di dalam kelas.

Sayangnya keadaan di atas seringkali disikapi acuh oleh individu keluarga secara keseluruhan karena sudah dianggap lumrah, remeh dan wajar. Sebagian besar mereka tidak menyadari jika keacuhan inilah yang menjadi titik awal problematika yang lebih besar. Ditambah lagi beban yang diberikan negara dengan sistemnya yang amburadul, menjadikan konflik kian pelik. Sistem ekonomi misalnya, seringkali memaksa terjadinya disfungsi atau pergeseran fungsi dua tokoh utama keluarga (orangtua).

Yang demikian ini tentu bertolak belakang dengan definisi dan fungsi keluarga dalam perspektif Islam. Keluarga sebagai elemen terkecil masyarakat sangat berperan penting dalam pembentukan karakter dan penyokong utama lahirnya generasi berlandaskan iman. Di wilayah inilah semestinya individu bisa menikmati secara langsung slogan ‘baiti jannati’, rumahku surgaku. Tidak menuntut kemewahan, namun harus memenuhi standard kebutuhan keluarga yang sesuai syarat syar’i. Seperti terpisahnya kamar untuk anak dan orangtua sebagai bentuk penjagaan dan pencegahan penyimpangan seksual (incest). Rumah sebagai area privasi, juga harus mampu melindungi anggota keluarga dari terlihatnya aurat.

Apabila komponen keluarga tersebut memahami betul apa apa saja hak dan kewajiban yang harus terlaksana, maka dapat dipastikan bahwa delapan fungsi utama sebuah keluarga (fungsi reproduksi, edukasi, ekonomi, sosial, protektif/pemeliharaan, rekreatif, efektif dan religius) dengan sendirinya akan terpenuhi. Dan tentu, implementasinya akan sangat bertolak belakang sekali dengan cerminan keluarga di era kapitalis ini. Fungsi reproduksi misalnya, nyata nyata banyak dijumpai bahwa peran tersebut telah diambil alih oleh para PSK yang masih dibiarkan tumbuh subur. Fungsi edukasi dan religius pun sama. Pendidikan secara aqliyah serta nafsiyah dengan entengnya bisa diserahterimakan kepada instansi pendidikan begitu saja tanpa adanya kontrol.

Dari sini jelaslah, merupakan suatu keharusan bagi manusia untuk segera berbondong bondong melakukan suatu perubahan besar dengan kembali pada aturan Sang Pengatur. Yang secara kompleksitas mampu mengatasi dinamika problematika manusia. (dakwatuna.com/hdn)

Kedamean, Gresik.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...