Topic
Home / Berita / Opini / Politik Peci Hitam

Politik Peci Hitam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

“Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia” (Soekarno)

dakwatuna.com – Peci merupakan sejenis penutup kepala berwarna hitam yang dijadikan simbol kebangsaan oleh Soekarno sejak usianya belia. Saat pertemuan Jong Java di Surabaya tahun 1921, Soekarno bergelut dengan pemikirannya. Saat dimana pemuda lainnya bangga tidak mengenakan penutup kepala dan me-westernisasi penampilannya, Soekarno tampil beda dengan Peci hitam dikepala.

Dalam sejarahnya, Peci hitam merupakan simbol buruh melayu di Asia. Sebagai etnis muslim asia, peci hitam tidak pernah lepas dari identitas muslim melayu. Fungsinya sebagai penutup kepala, sekaligus digunakan untuk aktivitas ubudiyah seperti shalat, mengaji maupun berhaji. Dengan melekatnya fungsi tersebut, maka peci hitam semakin dianggap sebagai penutup kepala pengganti sorban/turban. Sehingga wajar jika seluruh foto resmi pemimpin Indonesia menggunakan peci hitam sebagai representasi ke-Indonesiaan sekaligus simbol religiusitas muslim melayu.

Telah sejak lama, peci hitam sebagai identitas keislaman dipergunakan sebagai sarana pendekatan politik. Hampir seluruh kontestan dalam kontestasi perpolitikan Indonesia, baik jenjang Pilkada, Pileg maupun Pilpres, menggunakan peci hitam sebagai alat mencairkan komunikasi politik. Hal ini tentu mahfum mengingat peci hitam merupakan simbol islam tradisional yang digunakan oleh pesantren-pesantren di Indonesia. Bahkan kemudian identitas tersebut bergeser menjadi identitas bangsa yang dipakai oleh seluruh kalangan, baik yang tradisional maupun terhadap mereka yang merepresentasikan dirinya sebagai masyarakat moderen.

Mendekati pesta demokrasi tahun 2019, tensi politik semakin meninggi. Berbagai komunikasi politik digunakan oleh seluruh tokoh dan penggiat partai politik. Tujuannya tidak lain untuk meraih simpati konstituen. Kompetisi demokrasi kedepan akan semakin cair, sehingga seorang Ketua Parpol Perindo yang bukan beragama islam, tidak lagi risih memakai Peci di kepalanya, bahkan berkunjung ke pesantren-pesantren untuk menyampaikan pemikiran politiknya. Hal ini menyiratkan bahwa peci hitam telah dijadikan simbol kedekatan kultural oleh para politisi. Masyarakat pun ketika terdapat seorang tokoh yang memakai peci hitam, merasa lebih nyaman karena dianggap merepresentasikan keislaman, atau minimal memiliki kecenderungan untuk mendukung identitas keislaman.

Tidak hanya politisi, tokoh-tokoh pengusaha nasional pun menggunakan peci hitam dalam beberapa lawatannya ke beberapa ulama Indonesia. Peci yang selama ini dianggap sebagai representasi keislaman Indonesia, digunakan oleh umat beragama lain dalam menjembatani kesenjangan keyakinan sehingga komunikasi politik dapat berjalan lebih baik.

Penggunaan peci hitam oleh kalangan di luar islam, bukanlah suatu hal yang terlarang. Apalagi Soekarno telah mempopulerkan peci hitam sebagai identitas bangsa Indonesia, bukan sekadar identitas muslim melayu. Meskipun Soekarno menyadari bahwa peci hitam diangkat dari budaya muslim melayu yang berbeda dengan identitas muslim arab saat itu.

Telah sejak lama peci hitam menjadi trendsetter busana politisi maupun pengusaha dalam berkomunikasi dengan ulama dan santrinya. Namun, menjadi booming setelah hadirnya politisi-politisi non-muslim yang melakukan personal branding menggunakan peci hitam. Tentu hal tersebut bukanlah hal tabu. Justru kondisi ini menunjukkan dominasi suara muslim Indonesia dalam menentukan arah perpolitikan nasional. Seluruh politisi menyadari bahwa suara muslim sangat potensial dalam setiap pertarungan demokrasi, baik lokal maupun nasional. Sehingga, penggunaan peci hitam sebagai representasi budaya muslim yang dijadikan simbol nasional, menjadi sarana efektif dalam mencapai tujuan komunikasi politik yakni pencitraan dan pembentukan opini publik.

Untuk mencapai suatu citra politik, peci dapat menjadi alat untuk mencairkan komunikasi politik yang akan dilakukan seorang tokoh. Apalagi, tokoh tersebut memiliki keyakinan yang berbeda dengan pihak yang menjadi target komunikasi politik. Penggunaan peci hitam tentu menjadi pesan ’bisu’ pada target audiens bahwa posisi politik yang dimilikinya, sama dengan posisi politik audiensnya. Dengan posisi yang sama tersebut, maka komunikasi akan lebih mudah diterima.

Selain itu, penggunaan peci hitam bertujuan membentuk opini publik bahwa isu-isu keagamaan bukan lagi masalah pokok yang perlu diperdebatkan. Seluruh perbedaan agama, etnis dan lainnya, dapat disatukan dalam cita-cita politik bersama yang disepakati. Sehingga, peci dipaksa bergeser kembali pada makna awal yakni sebagai simbol kebangsaan dibandingkan simbol keagamaan.

Jika menelisik penggunaan simbol-simbol agama dalam menarik dukungan politik, hal tersebut sudah sangat lumrah. Bahkan sebagian tokoh yang menolak politisasi agama, saat berkampanye pun menggunakan simbol-simbol keagamaan. Hal ini tidak lain karena politik Indonesia masih kuat nilai-nilai religiusitasnya, khususnya buat kalangan muslim. Karena bagi seorang muslim, politik juga bagian tidak terpisahkan dari ibadah sosial. Namun, menggunakan simbol-simbol keagamaan tanpa diiringi komunikasi politik yang baik, sama seperti memotong kaca dengan batu. Tidak mungkin terpotong, yang terjadi pecah berkeping-keping.

Untuk mengimbangi simbol-simbol keagamaan seperti peci, kerudung atau sorban, maka seorang tokoh politik perlu memahami realitas sosial audiens yang akan diajak berkomunikasi. Realitas tersebut, harus tercermin dalam bahasa politik yang disampaikannya. Tentu akan terjadi kontradiksi ketika seorang tokoh menggunakan peci hitam namun berbicara melebihi nada tokoh lokal yang disegani. Pun begitu ketika tokoh politik yang menyambangi audiens disuatu daerah, tanpa ’kulo nuwun’ dengan ulama setempat yang menjadi rujukan masyarakatnya. Terpenting, penggunaan simbol-simbol religiusitas tertentu, perlu diikuti dengan memahami makna guna meminimalisir miss-interpretasi.

Penggunaan peci hitam yang sejak awal menjadi simbol kebangsaan, tidak mampu menggeser image peci sebagai pakaian spiritual umat islam. Dengan fakta seperti ini, maka wajarlah ketika tokoh-tokoh non-muslim, menggunakan peci sebagai sarana komunikasi politiknya kepada umat islam. Disempurnakan dengan komunikasi yang baik dengan ulama lokal setempat, maka program-program politik yang ditawarkan akan lebih mudah diterima muslim tradisional yang berprinsip ’ikut pak Kyai saja’

Politik peci hitam akan semakin menghiasi media-media nasional di Indonesia. Semakin mendekati pemilihan umum tahun 2019, komunikasi politik si peci hitam, akan semakin intensif dan memakan banyak insentif. Meskipun demikian, seiring derasnya arus informasi yang datang kepada seluruh lapisan masyarakat, politik peci hitam akan sulit digunakan pada masyarakat yang terpapar informasi secara simultan. Namun, untuk komunitas yang memiliki akses informasi yang terbatas, maka politik peci hitam akan menjadi andalan utama. Semoga tidak terjadi distorsi makna peci hitam. (dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pecinta Kampanye Sedekah Alumni FH Unila 2001 dan Magister Media dan komunikasi Unair 2015

Lihat Juga

Rusia: Turki Maju sejak Erdogan Memimpin

Figure
Organization