Kemuliaan Seorang Pengajar Kebaikan (Selamat Hari Guru Nasional)

(ilustrasi.)

dakwatuna.com – Ada satu kisah sederhana di sebuah sekolah yang sedang menjalankan tes rekrutmen guru. Sekolah tersebut memanggil calon guru untuk mengikuti tes tertulis, wawancara, dan tes micro teaching. Salah seorang calon guru sudah mengikuti ketiga tes tersebut dan sekolah memutuskan untuk menerimanya sebagai guru. Setelah keputusan disampaikan, baik pihak sekolah dan sang guru menunggu tahun pelajaran baru saat dimulainya proses pembelajaran. Ketika datang waktunya, ternyata sang guru yang sudah diterima tidak kunjung datang ke sekolah. Pihak sekolah pun segera menghubungi si guru tersebut. Hal yang tidak diduga terjadi ketika pihak sekolah mengetahui bahwa si guru tersebut ternyata dilarang oleh orangtuanya menjadi guru. Bagi orangtuanya, profesi menjadi guru bukanlah profesi yang menjanjikan dan dapat dibanggakan.

Realitas di atas bagian dari potret persepsi yang ada di masyarakat tentang aktivitas menjadi seorang guru. Bagi sebagian orang atau sebagian komunitas, tidak mustahil jika peran menjadi seorang guru bukanlah peran yang istimewa. Bahkan riil terjadi sebagaimana cerita di atas ketika sebagian keluarga melarang anak-anaknya menjalankan fungsi sebagai guru. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya keliru dengan persepsi terbatas yang diketahui tentang aktivitas dan tugas seorang guru.

Hal yang sangat penting untuk diketahui tentang bagaimana Islam membingkai persepsi yang mulia dan istimewa terkait peran seorang guru. Dalam surat Ali Imran ayat 64, Allah menisbatkan diri-Nya sebagai seorang guru. Dalam ayat tersebut, Allah mengajarkan kepada para Nabi dari kalangan Bani Israil berupa al-Kitab, hikmah, Taurat dan Injil. Kata kerja yang digunakan adalah “yu’allim” yang berarti “mengajarkan” dan ism al-fa’il dari kata tersebut adalah “mu’allim” yang berarti; pengajar atau guru.  Menjadi penting bagi setiap kita untuk Guru dalam konsep Islam sangat umum sifatnya. Intinya adalah yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dari Abdullah ibn Amru, Nabi Muhammad SAW mendeklarasikan dirinya sebagai “Mu’allim” ketika beliau bersabda: انما بعثت معلما  (sesungguhnya aku diutus sebagai seorang pengajar atau guru”. Jika Allah dan Rasul-Nya sudah menyatakan sebagai seorang guru, maka seyogyanya hal tersebut menjadi kebanggaan bagi mereka yang tengah dan akan menjalankan aktivitasnya sebagari guru.

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Rasulllah bersabda:

إن اللّه وملائكته وأهل السموات وأهل الأرض حتى النملة في جحرها ليصلون على معلم الناس الخير

“Sesungguhnya Allah, para Malaikat, seluruh penduduk langit dan bumi,

bahkan hingga semut-semut di dalam lubangnya senantiasa bershalawat

kepada para pengajar kebaikan di tengah umat manusia”

Hadits di atas dapat menjadi bingkai keumuman peran menjadi seorang guru. Pada prinsipnya guru yang dimaksud adalah setiap pengajar kebaikan. Tentu saja hal ini dapat dijalankan oleh siapapun dengan berbagai latar belakang keilmuan dan pekerjaan. Setiap orang yang mengajarkan sesuatu yang positif, baik, bermanfaat kepada orang lain maka ia tergolong orang-orang yang mendapatkan keistimewaan sebagaimana dalam hadits Imam Tirmidzi di atas.

Mereka yang punya kelebihan ilmu al-Quran maka dapat menjadi guru dengan mengajarkan al-Quran. Mereka yang memiliki keahlian dalam bidang komputer maka dapat mengajarkan keahliannya kepada orang lain. Mereka yang ahli dalam ilmu eksak juga dapat berperan menjadi guru bidang ilmu tersebut. Mereka yang ahli memasak (koki) dapat mengajarkan ilmu memasaknya kepada orang lain, begitu pula dengan ahli pembuat roti dapat mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain. Jika hal-hal tersebut sudah dilakukan maka si pembuat roti, seorang koki, sama kedudukannya dengan guru al-Quran, guru ilmu eksak, dan lain sebagainya,. Selama mereka semua mengajarkan sesuatu yang baik maka termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapatkan shalawat dari Allah, malaikat, dan seluruh penduduk langit dan bumi.

mengajarkan computer, guru eksak mengajarkan ilmu eksak, tukang pembuat roti mengajarkan bagaimana membuat roti,  seorang koki mengajarkan ilmu memasak kepada orang lain, yang terpenting adalah kita memastikan bahwa yang kita ajarkan adalah sesuatu yang baik, sesuatu yang positif, sesuatu yang diridhoi Allah, sesuatu yang bermanfaat.

Prasyarat menjadi seorang guru bahwa ia harus mengajarkan kebaikan juga tersurat dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim. Sabda Nabi SAW:

من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أوزارهم شيئا

Barangsiapa yang mengajarkan kebaikan maka baginya pahala mengajarnya dan pahala orang-orang yang melakukan kebaikan karena ilmu yang diajarkannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang Allah berikan kepada orang yang melakukan kebaikan tersebut. Dan barangsiapa yang mengajarkan keburukan maka baginya dosa mengajarnya dan dosa orang-orang yang melakukan keburukan karena ilmu yang diajarkannya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa yang Allah timpakan kepada para pelaku keburukan tersebut.

Hadits Imam Muslim semakin menguatkan keniscayaan dan keharusan bahwa seorang guru perlu memastikan bahwa yang diajarkan adalah kebaikan. Pada saat yang sama hadits tersebut mengingatkan jangan sampai ada keburukan yang diajarkan oleh seorang guru. Profesi apapun yang dijalankan oleh setiap orang, selama ia mengajarkan kebaikan kepada orang lain maka sesungguhnya ia adalah seorang guru. Sebaliknya, sekalipun profesi seseorang adalah guru akan tetapi ia mengajarkan keburukan kepada orang lain maka sesungguhnya ia bukanlah seorang guru yang mendapatkan kemuliaan dalam Islam.

Jika prasyarakat kebaikan dipenuhi oleh seorang guru sebagai materi yang diajarkan, maka ganjaran kebaikan yang tak terputus akan menjadi sumber kebahagiaan saat berjumpa dengan Allah. Di sinilah peluang besar bagi seorang pengajar kebaikan agar usia amal sholehnya lebih panjang dari usia biologisnya. Tidak mustahil para pengajar kebaikan yang berusia 60 atau 70 memiliki usia amal shaleh hingga ratusan tahun bahkan ribuan tahun, melebihi usia biologis umat-umat terdahulu. Semoga Allah memberikan kemuliaan dan kebahagiaan bagi para guru dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. (dakwatuna.com/hdn)

Dosen STIU Al-Hikmah
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...