Menjemput Baiknya Kematian

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Bicara soal kematian, sedikit banyak memang membuat bulu kuduk bergidik ngeri. Tapi mau tidak mau, yang namanya kematian setiap insan pasti akan merasakannya. Mungkin yang selama ini membuat sebagian dari kita merasa takut adalah karena waktunya yang tak pernah seorangpun tahu kapan akan datang. Seandainya setiap dari kita tahu kapan nyawa kita akan diambil, bisa jadi kita akan menjadi lebih siap. Tapi itulah kematian. Seperti apa yang pernah dikatakan Imam Al-Ghazali, bahwasannya hal yang paling dekat dengan kita tidak lain dan tidak bukan adalah kematian.

Kematian yang husnul khotimah, tentulah menjadi idaman bagi setiap insan. Mati dalam keadaan baik, menjadi salah satu permintaan wajib dalam setiap doa-doa yang diucapkan. Karena kematian sekali-kali bukanlah hal yang remeh. Kematian yang seringkali dianggap orang sebagai akhir dari segalanya, sebetulnya justru merupakan awal dari kehidupan abadi yang sebenarnya. Lalu yang menjadi pertanyaan setiap kali membicarakan perihal kematian adalah, bagaimana menjemput kematian yang indah? Bagaimana kita bisa menutup mata meninggalkan dunia ini dengan perasaan yang lapang dan ringan? Tentu hal ini tidak mudah. Karena bahkan Rasulullah saw yang merupakan seorang insan terbaik di duniapun ketika dicabut nyawanya, sempat merasakan rasa sakit.

Menjemput baiknya kematian. Harus diyakini, orang-orang yang memiliki akhir hidup yang baik, semasa hidupnya pasti sarat akan kebaikan. Tidak bisa dipungkiri, iman memang terkadang naik turun. Namun akan sangat disayangkan sekali bila saat iman kita turun, kita justru membiarkan hal tersebut berlarut-larut. Membiarkan semua rasa kurang baik yang hadir di saat-saat turunnya iman itu menguasai hati dan pikiran, sehingga muncul tindakan meyakin-yakinkan diri sendiri bahwa menjadi kurang baik pada saat iman sedang turun adalah suatu kewajaran. Lantas, bagaimana jika Allah justru memerintahkan Malaikat Izrail untuk mencabut nyawa kita di saat – saat seperti itu? Di saat iman kita sedang turun, di saat hati dan pikiran kita sedang dalam kondisi yang tidak baik dan jauh dari Allah. Na’udzubillahi min dzalik. Karenanya, menjadi baik setiap saat itu harus. Memang tidak ada yang bisa menjamin manusia akan terus menjadi baik tanpa melakukan khilaf dan kesalahan. Namun, ketika kemudian kita sadar bahwa iman kita sedang turun, atau kondisi hati dan pikiran kita sedang tidak baik-baik saja, maka sesegera mungkin kita harus beristighfar dan bangkit untuk memperbaiki diri. Nasehatkan dan ingatkan pada diri sendiri, bahwa kematian tidak pernah mengenal waktu. Alangkah ruginya kita bila ternyata kematian itu datang saat kita sedang dalam kondisi keimanan yang kurang baik.

Semoga dimanapun kita berada, Allah senantiasa menunjukkan hati-hati kita pada jalan kebenaran dan selalu membimbing langkah-langkah kita pada perbuatan-perbuatan yang baik dan bermanfaat. Karena sungguh kematian tidak pernah mengenal waktu, ia datang di saat ia harus datang tanpa dapat ditunda atau dipercepat barang sepersekian detikpun. Kita memang tidak bisa memilih kapan waktunya, tapi kita bisa menentukan akan mati dalam kondisi seperti apa. Kita diberi kesempatan oleh Allah, untuk bisa menjemput baiknya kematian. Wallahu a’lam, semoga kita bisa senantiasa berada dalam lindungan dan kasih sayang-Nya. (dakwatuna.com/hdn)

Mahasiswa Sastra Indonesia UGM angkatan 2015. Peserta Beasiswa Rumah Kepemimpinan Yogyakarta angkatan 8. Peserta Forum Lingkar Pena Yogyakarta angkatan 17.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...