Hampir Kusesali yang Telah Kuberikan Itu

Ilustrasi.

dakwatuna.com – Kantong yang lagi pas-pasan bukan alasan untuk enggan berbagi, apalagi terhadap seseorang yang sedang berada dalam kondisi sangat memprihatinkan.

Ia terhitung masih tetangga, meski agak jauh. Aku mendengar bahwa ia tertimpa musibah, aku pun tergerak ingin membantu. Betapa tidak, sedikit-sedikit aku juga tahu kondisinya. Sudah beberapa kali anggota keluarganya ditimpa musibah, sedang mereka berada dalam kondisi kekurangan. Ia mengalami kecelakaan, biaya pengobatannya ditaksir mencapai puluhan juta rupiah. Teman-temannya telah berinisiatif mengumpulkan bantuan kepadanya, tentunya jauh dari cukup.

Aku juga bermaksud ikut memberikan bantuan, meski tak seberapa. Namun, saat akan kuserahkan, tiba-tiba ada rejeki yang tak terduga-duga. Langsung saja kutambahkan ke dalam amplop yang telah kusiapkan. Jadinya lumayan tebal amplop itu.

Begitu aku tiba di rumahnya, sekumpulan ibu-ibu sedang berada di sana, cukup ramai. Sepertinya ada sesuatu dengan kehadiranku, agak acuh dan ada respon kurang enak yang kuterima. Aku pun tahu diri, aku tak ingin mengganggu mereka. Hanya kubilang semoga segera pulih dan kuserahkan amplop yang tadi telah kusiapkan. Ternyata mereka sedang mempersiapkan keberangkatannya kontrol ke sebuah rumah sakit yang cukup ‘bonafid’. Sementara ibu-ibu tadi dengan sigap dan sangat ‘care’ memapahnya keluar, aku pun pamit.

Aku melangkah pulang. Aku seperti menyesali atas apa yang baru saja kuberikan. Aku merasa memang, rasa kemanusiaan itu melewati batas-batas iman, namun di antaranya tetap aku merasakan suatu ganjalan. Namun perlahan aku juga berpikir, sudah untuk kesekian kalinya ada saudaraku seiman yang ditimpa kesulitan, namun yang lebih sigap dan peduli justru datang dari agama lain. Aku berpikir, untuk apa kusesali, jika kelak ada yang bertanya, dimanakah umat Islam ketika ada seseorang berada dalam kesulitan, bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan nya di sisi Allah?

Agamaku, memang berada dalam kondisi kekurangan dan keterbatasan. Namun, kondisi itu diperparah oleh perilaku umatnya sendiri, tentang rasa dan kepedulian. Kebetulan, lebaran baru saja berlalu, betapa kebanyakan umat ini terjebak dalam rutinitas yang cenderung foya-foya, seperti menyalakan petasan dan kembang api secara berlebihan. Begitu banyak sumber daya umat ini yang digunakan untuk hal-hal yang bersifat hura-hura, konsumtif, bahkan mubazir, yang semestinya diminimalisir. Kita lebih banyak mencari kesenangan sesaat daripada kebahagiaan yang sesungguhnya. Sementara di antara kita ada orang yang kesusahan, orang sakit yang tak mampu berobat, atau anak yang tak punya biaya untuk sekolah, namun yang lebih peduli pada mereka justru datang dari agama lain. (dakwatuna.com/hdn)

Konten ini telah dimodifikasi pada 11/11/16 | 09:42 09:42

Seorang petani di kaki Gunung Ungaran. Mengikuti kegiatan di Muhammadiyah dan halaqah. Meski minim mendapatkan pendidikan formal, pelajaran hidup banyak didapat dari lorong-lorong rumah sakit.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...