Geliat Cinta Pejuang

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Bumi bergejolak lebih kencang. Angin tak lagi menyapa dengan damai. Air enggan mengalir, tak lagi memberi kehidupan anak cucu Adam yang kehausan. Tanah kering, tandus. Mematikan tumbuhan dan hewan piaraan. Jutaan manusia kelaparan. Meregang nyawa, mempersilakan tuan Izroil menuntunnya ke neraka yang menambah derita atau surga dengan kenikmatan tiada tara.

Di tengah reruntuhan bangunan dan kepulan asap hitam, Yasin, bocah kecil bumi para anbiya, terseok-seok menyeret kakinya yang tak lagi sempurna. Satu kakinya buntung terkena hempasan meriam nyasar tentara Zionis durjana. Bocah kecil tersebut berupaya mencari sosok kakak perempuan satu-satunya yang mungkin telah menjadi mayat, sama seperti abi dan ummi.

“Asmaa, Asmaa, Asmaa, di mana kau? Masihkah kau hidup? Atau kau berhasil menyusul abi dan ummi ke surga?” teriak Yasin memanggil nama kakaknya sambil sesunggukan.

“Asmaa, Asmaa, jawab aku! Jangan kau tinggalkan aku sendiri! Bukankah kau berjanji akan mengajariku seni bela diri yang kau kuasai dari abi? Di mana kau, Asma?”

“Asmaa, Asmaaa, Asmaaa! Meski aku sebatang kara, aku tak kan tinggal diam. Aku akan tetap bertahan. Aku akan kuat dan masuk ke dalam barisan jihad negeri kita!”

Yasin terus menyeret kakinya dengan tertatih. Berharap keajaiban datang padanya siang itu; bertemu kakaknya dalam kondisi hidup atau menyaksikan tubuh kaku kakaknya yang telah menjadi mayat. Ia tidak peduli keajaiban mana yang dihadirkan Tuhan untuknya. Yang ia inginkan adalah memastikan keadaan satu-satunya anggota keluarga yang tersisa; Asma.

****

Kepulan asap hitam, serta puing-puing reruntuhan bangunan yang berserakan di jalan semakin membuat gerak langkah kaki pincang Yasin terseok-seok. Seretan demi seretan kakinya ia paksa susuri lorong-lorong kota Gaza yang pecah akibat serangan mendadak tentara zionis. Di jalanan kota yang tak pernah mati itu Yasin tidak sendiri. Ia dikelilingi anak-anak yatim seusianya. Mereka papa, namun tak ada yang merengek manja. Seakan-akan duka telah menjadi keseharian dalam hidup mereka.

“Yasin, mau ke mana kau?” Teriak Ahmad, bocah yang berpapasan dengan Yasin di jalan. Nasibnya tak jauh beda dari Yasin, yatim piatu. Namun, Ahmad lebih beruntung karena masih memiliki kaki lengkap, sempurna.

“Aku ingin mencari Asma.” Jawabnya singkat.

“Tak lelahkah kau berlalu˗lalang mencari yang tak pasti? Ikutlah denganku. Kau akan bergabung dengan keluarga baru seperti pintamu dalam sujud˗sujud malammu.”

“Ke mana, Saudaraku?” Yasin tak ingin berbasa˗basi.

“Ayo!” Ahmad meraih tangan Yasin. Mengajaknya ke suatu tempat.

****

Dua pemuda tersebut tiba di suatu tempat bawah tanah. Sebuah bangunan yang terlihat seperti sisa˗sisa reruntuhan ledakan bom maha dahsyat ulah tentara keturunan kera. Untuk sampai ke dalam, keduanya harus menyusuri lorong sepanjang 15 KM dengan berjalan kaki. Langkah mereka harus perlahan, berjinjit hati˗hati agar tidak terkena paku atau serpihan benda tajam lainnya, serta mengatur napas karena sirkulasi udara yang tidak baik.

“Kita mau ke mana, Ahmad?” Tanya Yasin pada kawannya yang sedari memasuki lorong tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Bersabarlah! Dan perhatikan langkahmu!” pinta Ahmad padanya.

Setelah letih menempuh perjalanan hampir tiga jam dengan berjalan kaki, mereka tiba di depan sebuah pintu kayu dengan tulisan La tadhulu qabla salaam. Yasin pun berinisiatif mengucapkan salam terlebih dahulu.

Assalamu’alaykum.

Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masuklah duhai Saudaraku. Kami menunggumu di dalam.” Jawab seseorang dari dalam.

“Menunggu? Mereka menunggu kita? Siapa mereka ya, Ahmad?” Yasin merasa penasaran dengan rencana temannya yang satu ini. Namun, rasa penasarannya hanya dijawab dengan seulas senyuman oleh Ahmad seraya memberi isyarat kepada Yasin untuk masuk ke dalam.

Alhamdulillah, akhirnya kalian tiba dengan selamat.” Sapa orang tertua di antara mereka. Wajahnya teduh. Menyiratkan ketenangan dan ketawaduan.

“Kau Yasin? Sahabat karib Ahmad?” Seseorang di sebelah lelaki tertua membuka suara dengan bertanya.

“Ya, aku Yasin. Sedangkan Anda?” Yasin memberanikan diri bertanya. Ia sudah bosan menahan rasa penasaran dalam dada.

“Sungguh, Dia˗lah pembuat skenario dan pemberi takdir terbaik. Ia hadirkan dua pemuda sholeh lagi kuat kepada bumi Palestina. Dua pemuda pewaris semangat pejuang kemerdekaan Palestina, Syeikh Ahmad Yassin.” Sang tetua kembali membuka dialog. Tutur katanya begitu tertata. Lembut menenangkan.

“Apa maksudmu ya, Syeikh?” Yasin masih belum mengetahui ke mana arah pembicaraan laki˗laki gagah di depannya.

“Bukankah kau mencintai negerimu duhai anak muda? Bukankah kau generasi kesekian dari bangsa yang subur akan pejuang˗pejuang robbani?” Tanya Syeikh dengan penuh kelembutan dan senyum yang mengembang di wajah teduhnya.

“Apa yang harus kulakukan untuk negeriku ya, Syeikh? Aku rindu Abi dan Ummi, juga ka Asma.” Entah mengapa, Yasin merasa begitu dekat dengan sang syeikh. Ia merasa menemukan sosok Abi.

“Bersabarlah, Yasin. Sebentar lagi, mereka akan membawa kita pada misi yang mulia. Dan kau bisa bertemu orang tuamu di surga.” Ahmad menepuk˗nepuk pundak Yasin dengan penuh kehangatan.

“Sholeh, antar dua pemuda ini ke markas. Ajarkan mereka tentang kalam Ilahi dan seni bela diri. Kita harus bergegas.” Pinta sang tetua kepada seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah terbungkus penutup kepala.

“Siap!” pemuda yang dipanggil Sholeh merespon dengan sigap.

****

Satu tahun lima bulan masa karantina di bawah asuhan Sholeh, sosok Yasin tumbuh semakin matang. Bersama Ahmad, kawan seperjuangannya, ia hibahkan diri di jalan Illahi. Usianya memang masih terhitung belia, 15 tahun, tapi semangat juang yang dilengkapi dengan pemahaman dan pengaplikasian dien yang baik membuat Yasin semakin bersinar.

Yasin ditempatkan di Tepi Barat, sebuah wilayah yang kental dengan polemic budaya hedon akibat campur tangan Zionis dan antek˗anteknya. Ia ditugaskan mengajar anak˗anak usia pratama. Dengan lihai, cekatan, ketegasan, dan penuh cinta, Yasin berbagi ilmu yang ia punya. Ia bertekad menjadikan Tepi Barat kembali bersinar dengan nilai˗nilai Islam. Sama seperti Kota Gaza yang subur dengan generasi tunas bangsa yang dekat dengan Rabb˗Nya. Meski cacat satu kakinya, tak pernah pantang ia menyerah. Semakin susah ujian hidupnya, semakin dalam dan panjang sujudnya. Satu citanya; bertemu keluarga tercinta dalam kenikmatan surga.

“Yasin!” Sholeh memanggil pemuda yang tengah komat˗kamit mengulang hafalan Qurannya.

“Ya, Ustadz. Ada apa?”

“Bagaimana kabarmu? Sepertinya kau semakin kerasan di sini, Nak.”

“Ya, Ustadz. Saya merasa nyaman di sini. Melihat anak˗anak semakin rajin mengaji, semangat berbagi, dan peningkatan positif lainnya, saya yakin Tepi Barat akan kembali ke pangkuan Islam. Sungguh, janji Allah pasti!”

“Kau benar. Cepat atau lambat seluruh wilayah Palestina akan kembali menjadi milik kita.”

“Ya, Ustadz. Tugas kita adalah berusaha sekuat tenaga dan langitkan doa. Sungguh, Rabb kita takkan diam.”

****

Hari demi hari dijalani oleh Yasin dengan semangat jihad yang kian membara. Kakinya yang tak sempurna tak pernah menyurutkan langkahnya. Ia bina satu demi satu kelompok halaqah. Ia tebarkan benih˗benih cinta kepada generasi bumi anbiyya. Ia yakin penduduk Tepi Barat adalah manusia berhati nurani. Mereka tidak akan menyerahkan tanah kelahiran para nabi jatuh digagahi tentara kera. Karena aku percaya tiada yang mustahil bagi˗Nya. Sekeras apapun hati seseorang, sebiadab apapun tingkah lakunya, sekasar apapun perangainya, dan selalai apapun hidupnya. Selama ia bernama manusia yang pernah menjadi baik lagi arif, nan dikelilingi orang˗orang baik yang mencintainya dengan tulus, yang tak kan pernah selesai mendoakan keselamatannya, ia akan menjelma menjadi bijak pula. Sebagaimana doa˗doa yang dipanjatkan untuknya. Karena sejatinya fitrah seseorang adalah baik. Pun begitu denganmu, duhai kalian yang kucinta karena˗Nya. Itulah kekata yang biasa ia lontarkan setiap selesai mengajar anak didiknya. Yasin muda ingin menjadi pejuang bagi diri, bangsa, dan agama yang ia cintai karena Rabb˗nya. Pejuang yang berjuang melalui tinta emas pendidikan. (dakwatuna.com/hdn)

 

Just an ordinary people in the world yang lagi berproses untuk lebih baik, lagi, dan lagi. Yang sukanya baca cerita, wabil khusus genre sastra, entah fiksi ataupun fakta (yang penting enak dibaca en ada unsur dulce et utile, hehe). Penggila olahraga tepok bulu angsa yang masih punya cita-cita ngibarin sang saka merah putih di pentas dunia. Pribadi yang saat ini sedang mencoba untuk bermanfaat bagi sesama dengan berbagi lewat pendidikan.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...