Pribadi Bangsaku

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Gelap menyembunyikan debu jalanan yang dibawa angin untuk hinggap di wajah-wajah yang memiliki satu ekspresi. Satu ekspresi yang dihasilkan bukan oleh satu rasa, tapi hasil dari komplikasi kesengsaraan, mulai dari lelah, bosan, kesal, tak sabar, ngantuk, dan entah apa lagi yang ingin turut serta. Itulah sekelumit keadaan yang ada pada jam kepulangan kerja, antara jam lima hingga mungkin jam sembilan malam. Tapi itu baru satu sisi dari pihak yang berkutat di lingkungan itu. Masih ada sisi lain yang jauh lebih pedih—mungkin—sisi yang sekalipun merasakan hal yang sama, masih dilarang menghendaki pulang.

Mereka adalah para pedagang, supir angkot, supir bus, dan lainnya. Urat marah antar masing-masing orang sudah tegang tertarik-tarik sejak membeludaknya manusia menuju pulang. Seperti se-atom kedahsyatan mahsyar jika memang direnungi. Waktu terasa begitu lama, udara terasa panas, asap kendaraan menyesakkan, kaki sudah letih terus berdiri, kemacetan sudah melampaui batas kesabaran, dan manusia dikasta-kasta dengan keadaannya masing-masing. Ada yang di dalam mobil pribadi dengan AC, ada yang di angkutan umum penuh sesak, ada yang di atas motor, ada yang kebingungan, ada yang cuek, ada yang tenang, apa lagi yang mau ditambah? Masih banyak dan tak perlulah disebutkan satu persatu. Karena yang paling penting adalah kenyataan yang menambah pahit semuanya, yakni, segala hal itu masih harus ditemui besok, lusa, esok-lusa, dan entah sampai kapan. Padang mahsyar sudah membuka pelatihannya sejak sekarang. Dan perlulah diambil hati. Agar tak terulang yang semacam itu suatu saat di akhirat.

Namun, bukan itu yang sebenarnya sedang kurenungi dari balik kaca bus ini. Memandang keluar aku sedang berusaha menyaksikan sesuatu yang lain. Menyaksikan tentang kami secara keseluruhan, bukan sebagai pribadi tunggal yang memiliki kepentingan berbeda-beda, bukan pula sebagai dua golongan antara yang ingin pulang dan baru mulai mencari uang, bukan. Tapi tentang sebuah bangsa yang mau tak mau mempertahankan budaya ini.

Siti, kau betul jika memang kau berkata bahwa bangsa lain toh menghadapi keadaan serupa setiap jam pulang kerja. Sekali lagi kau betul Siti, jika hanya sebatas ini pula yang kau bahas. Ah, aku jadi teringat dialog-dialog denganmu di pantai dulu. Berdua kita menatap laut dan dari bibir masing-masing keluar suara-suara dari kehampaan hati. Sekarang pembicaraan-pembicaraan itu menemukan jalannya untuk teringat dan berarti. Sayang beribu sayang, kita tak pernah bertemu lagi.

Dan untuk pertanyaanmu kala itu, maaf aku tak sanggup menjawab. Bagaimana mungkin kau menanyakan kepadaku tentang bangsa ini, sementara diri sendiri dan kau saja aku tidak mengenal. Aku bahkan tidak mampu menjelaskan diriku padamu, sebagaimana aku tak mampu memberikan penilaianku tentangmu ketika kau menuntut evaluasi. Ya ampun, sebenarnya siapa kau Siti? Hanya pengunjung pantai sepertiku. Lalu kita saling berpisah, tak pernah bertemu lagi, tak seperti ombak yang kita perhatikan. Ia tak pernah jemu mendekati pantai dan pecah padanya. Kita? Hanya percakapan ini Siti. Semalaman suntuk kita saling berbicara.

Ah, kenapa pula aku jadi berlarut-larut mengenang kesia-siaan itu. Lebih baik aku mencoba menjawab. Benar, bahwa seseorang tak mampu mengenal dirinya sendiri jika tidak melihat kesekitarnya. Sebab sekitarnya itu laksana cermin yang memantulkan gambaran diri. Kan kita tidak mungkin melihat wajah sendiri langsung dengan mata? Toh jika tak ada cermin, minimal ada mata orang lain yang mampu melihat wajah ini lalu menjelaskan tentangnya. Sekarang ini, dalam usahaku mengenal diri sendiri pada akhirnya juga aku disuguhi belantara yang harus kukenal, sebab dari belantara itu—katanya—aku bisa melihat penampakanku sendiri.

Dan sebagai seorang yang bodoh, pemula dalam hidup, aku percaya saja. Hahaha, seolah tampak lucu kata-kata itu: Pemula dalam hidup. Memang, di umur dua puluh tidak bisa menyebut diri bukan pemula. Toh hidupku selama dua puluh tahun ini, hampir lima puluh persennya habis untuk tidur. Betul! Aku yakin itu! Hampir sepuluh tahun hidupku kugunakan untuk tidur. Sisanya, ya entah untuk apa. Membacapun aku takkan sampai lima tahun. Lalu terngiang lagi kata-katamu Siti, “Bagaimana dengan ibadah?”

Ampun ya Allah… bahkan sekarang ini kugunakan waktuku untuk mengenal diriku, melalui bangsaku. Apakah Engkau tidak ridha usaha mengenal diri ini ya Allah? Betulkah bisa, dengan mengenal diri kecil ini aku bisa mengenalMu yang maha besar? Sampai pada derajat makrifat itu?

Suara batin itu pada akhirnya pun terhenti. Dari balik kaca bus ini aku melihat wajah yang tak berbeda dengan penampakannya seratus tahun yang lalu.

Bangsa ini masih muda, fikirku. Baru seratus tahun kebangkitan nasional, mungkin bukan waktu yang cukup untuk mendeskripsikan sebuah pribadi macam apa yang harus dimiliki. Pribadi yang tepat, bukan hanya tentang sebuah pribadi bagus yang dicita-citakan, tapi sebuah pribadi yang sudah didefinisikan baiknya seperti apa dan buruknya seperti apa. Juga bukan semuanya berisi harapan, melainkan juga berisi kenyataan.

Seperti suku-sukumu Indonesia! Ternyata batinku berseru. Memiliki karakter, memiliki adat, memiliki ciri khas manusianya. Tapi apa adat Indonesia? Ya, aku bertanya tentang adat Indonesia. Bukan adat Sunda, Jawa, Padang, Batak, Betawi, atau lainnya. Aku bertanya ke diriku sendiri, karena aku tak mau bertanya kepada rekan-rekan pemuda. Mereka punya adat-adat lucu tentang Indonesia yang biasa mereka sebutkan entah di dinding media sosial atau dinding jalanan.

Dan malam itu berlalu, tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.

***

Siti, aku tahu kau hanya sebatas nama. Itupun satu kata. Tapi sudah kuulang-ulang ingatan tentang kita. Kapan baiknya aku menulis selain sekarang ini, ketika kata-katamu meluncur bagaikan ilham. Dan akupun menulis:

Kalau memang kau pertanyakan seputar pribadi bangsa Indonesia, kau tidak akan menemukannya di kampung-kampung, melainkan di kota-kota besar. Kota-kota yang disana sudah kehilangan budaya kesukuan. Ingatlah bahwa bangsa Indonesia ini masih seperti anak kemarin sore jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya. Aku bilang bangsa Indonesia, bukan sukunya seperti Jawa ataupun Sunda yang sudah sangat tua. Oleh karena itu, kita harus tahu bahwa bangsa ini memang kenyataannya dilahirkan di zaman modern maka sudah tak bisa dielak bahwa budayanya pun akan modern.

Tapi, modern yang seperti apa? Jangan gegabah mengatakan bahwa modern itu kebarat-baratan. Sekalipun dalam beberapa unsur memang tak bisa diingkari kebarat-baratan itu memang ada. Lihatlah, sejak awal politikus bangsa Indonesia itu sudah mengenakan jas sekalipun masih berkopiah, masyarakatnya sudah banyak yang berkemeja. Itu bukan hanya buah penjajahan, tapi memang di zaman itu globalisasi sudah ada sekalipun kecil dan sekarang makin menjadi-jadi. Toh akhirnya tak bisa dihindari juga bahwa tampaknya dunia ini pada akhirnya akan memiliki satu budaya. Dimana-mana orang sudah berkemeja, berkaus, bercelana bahan, bercelana jins, dan lainnya. Makanya budaya tradisional biasanya menjadi pengganti untuk menyebut budaya lokal yang ada.

Bercermin dari situlah seharusnya kita juga insaf, bahwa sekarang ini bukan hanya Indonesia tapi dunia sedang bahu membahu menentukan pribadinya sendiri. Tapi kan sekarang kita sedang bahas tentang Indonesia, maka dari itu, marilah tak meluas dulu. Kita bicarakan Indonesia.

Sedari tadi, telah kukatakan tentang Indonesia seolah-olah memisahkan antara Indonesia dengan suku-suku yang ada. Kau pasti bisa merasakan hal itu. Memang tiada lain maksud ini selain untuk menyatakan bahwa setiap sesuatu yang baru hadir di muka bumi ini, selama ia memiliki nama yang disandangkan padanya, ia pasti akan memiliki karakter sendiri. Kan antara bak dan ember pun sekalipun fungsinya sama-sama untuk menampung air, karena bentuknya berbeda akhirnya namanya menjadi berbeda; dari situ akhirnya definisi ember dan bak pun berbeda. Dan itu semua bisa ditandai oleh nama. Sebuah nama, kawanku, mampu membentuk sebuah karakter, budaya, adat, kebiasaan, tujuan, harapan. Maka dari itu, ketika hadir ke muka bumi ini sesuatu yang bernama Indonesia pun memiliki pengertian tersendiri yang berbeda dengan suku-sukunya. Bukan maksudku memisahkan. Jadi jika Indonesia punya budaya sendiri, tak usah heran.

Lagi pula, ini hanya pendapatku. Kau bisa punya pendapat sendiri. Namamu Ahmad kan. Sudah pasti sekalipun sedikit, kita pasti berbeda. Dari nama saja sudah berbeda, apalagi pedalamannya. Hehe, itulah kenapa orang kembar namanya dimiripkan.

Tapi ada orang yang namanya persis sama, seluruh dirinya berbeda. Balasku saat itu. Lalu kau terbahak. Dan kau bicara lagi:

Jangan sepolos itu, Ahmad. Mana ada manusia yang selalu bisa menciptakan nama unik untuk setiap manusia yang lahir. Nama pada akhirnya pasti berulang sebab ia hanya perlambang. Sekalipun pada akhirnya tetap ada yang sama, nama tetap membantu manusia untuk membedakan pribadi masing-masing. Makanya coba tengok ke komunitas yang kecil, seperti keluarga misalnya. Adakah dua anak yang dinamakan oleh orangtuanya dengan nama sama persis? Tidak mungkin kan. Tapi karena kau melihat di negara ini, ya wajar kalau banyak yang sama persis.

Jadi bagaimana Indonesia? Bagaimana pribadinya? Tanyaku tak sabar dan kantuk semakin hilang. Kau menjawab:

Belum ada jawaban tentang pertanyaan itu. Bagiku, Indonesia belum menemukan pribadinya. Ia masih tumbuh. Bahkan dunia ini pun, masih tumbuh. Tapi kau harus tahu, bahwa pribadi sebuah bangsa itu bukan untuk dinantikan dan diketahui, tapi justru diciptakan, dibentuk, dan diajarkan. Kan kau bersama teman-temanmu yang sekarang sedang ada acara di pantai ini juga, mereka yang wanita sepertiku juga mengenakan pakaian semacam ini, jilbabnya lebar, roknya lebar, bajunya lebar. Kau tahu? Bahkan aku ini tidak tahu apa nama pakaian yang sedang kukenakan ini. Dan makin tidak tahu pula aku ini, jika kau tanya tentang sejarahnya. Sejak kapan mode pakaian ini dimulai? Siapa yang memulai? Setahuku, di tahun 80an belum ada yang bermode seperti ini. Setahuku pula, baru di 90an akhir ada mode ini. Jika aku tidak salah tentu. Ini bukan bidangku. Lepas dari itu, ketahuilah, inilah budaya itu. Inilah pribadi itu. Pribadi seorang ikhwan, pribadi seorang akhwat. Keduanya harus bersatu hingga menjadi pribadi Indonesia. Bahkan jika perlu, pribadi dunia.

Bagaimana caranya? Dakwah jawabannya!

Aku terhenyak. Siti, catatan ini hanya sebagian kecil dari yang kita bicarakan malam itu.

***

Saat itu dingin malam membuatku tersingkir ke sebuah warung makan di pinggir pantai. Dan sambil memakan ikan bakar seporsi aku duduk sambil memikir-mikir tentang acara selanjutnya untuk studi wisata Islam terpadu yang kami adakan ini. Peserta baru benar-benar tiba, sehingga membutuhkan waktu beristirahat. Kegiatan sendiri baru benar-benar dilaksanakan dini hari nanti, qiyamul lail. Sementara panitia yang memang sudah stand by sekarang tidak memiliki kegiatan apapun. Karena itulah aku menyingkir sendiri seperti ini.

Tak kusangka disebelah mejaku ini ada seorang wanita yang juga tampak menyepi di warung makan ini. Seorang yang kemudian kutahu bernama Siti dan sedang berlibur bersama keluarga. Akhirnya tanpa terasa, suasana warung makan yang memang ramai mulai melibatkan kami berdua dalam obrolan. Obrolan yang semakin larut semakin tak menemu akhir. Suasana warung makan yang tak kunjung sepi juga tidak mengizinkan kami berhenti. Hingga akhirnya, alarm yang menghentikan segalanya adalah ketika pukul tiga beberapa orang rekan menjemputku karena sudah akan memulai kegiatan kami.

Saat itulah, tak bisa lagi berbasa-basi dengannya. Rekan-rekan itu terlalu terburu-buru. Aku tak sempat menanyakan dirinya lebih lanjut, seperti kuliah dimana atau semacamnya. Yang kutahu adalah setelah itu, ia sendiri beranjak pergi kepada keluarganya di penginapan. Dan itulah akhir yang tak berawal lagi. (dakwatuna.com/hdn)

Konten ini telah dimodifikasi pada 07/11/16 | 12:54 12:54

Seorang yang takkan pernah berhenti mencari dan mengenali jati dirinya. Karena yang mengenal dirinya, yang mengenal Tuhannya.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...