Aku tak Pantas

Siluet Wanita (www.gopixpic.com)

dakwatuna.com – Buliran air terjatuh begitu derasnya, angin berderu menghantam sang tetesan air. Suara berisik hujan menjatuhkan tubuhnya di atap rumah bagai not irama yang tak tentu arah, namun tetap saja, irama ini menyejukkan hati. Masih seputar hujan yang datang bertubi seolah mereka memamerkan keindahan yang Allah ciptakan, hujan bangga dengan apa yang Allah beri kepadanya, hujan tak pernah menyesali meskipun terkadang ada saja orang yang mengumpatnya. Yang hujan tau, ia hanya bisa bersyukur atas apa yang Allah beri.

Hujan, lagi-lagi membuatku teringat masa itu, masa yang mungkin tak pernah kulupakan dalam hidupku, untuk saat ini. Saat hujan turun tak begitu deras, ia datang ke rumahku bersama kakak laki-lakinya. Sudah tak perlu di tolak lagi, jika seorang lelaki serius padamu, dan mendatangimu beserta walinya. Prinsip yang sering digunakan oleh para wanita. Namun kala itu aku menolaknya. Aku menolaknya ketika dia mengatakan tujuannya datang ingin menjadikan ku bidadari dunia dan syurganya, bukan karena ia tak baik untukku, bukan pula banyak kekurangan yang ia miliki, namun aku yang tak pantas untuk lelaki sesempurna dia. Lelaki yang baik, akan bersama wanita yang baik pula bukan? Dan semoga ia mendapatkan yang lebih baik dariku dan yang sepantasnya untuknya. Ini bukan alasan klasik untuk menolak seorang lelaki yang serius, ini memanglah alasan yang memang harus kusampaikan kepada lelaki sebaik dia.

Siapa lah aku dibanding dengan wanita diluar sana yang berusaha untuk berdakwah, menghabiskan waktunya untuk berdakwah, ada untuk siapapun yang membutuhkannya. Setiap ada agenda apapun selalu hadir, pagi, siang dan malam selalu ada untuk ummat. Terkenal karena seringnya mendatangi pengajian dimana-mana. Sedang aku, hanya seorang wanita yang berjuang untuk kehidupan keluarga ini. Yang selalu bekerja agar adik-adik tak kelaparan, agar adik-adik bisa menikmati masa-masa pendidikannya. Yang selalu berusaha untuk membahagiakan sisa dari keluarga ini dengan menghabiskan waktu untuk bekerja. Memang, hidup ini tak melulu soal uang, namun jika tak berusaha keras mendapatkannya, bagaimana dengan ketiga adikku yang masih belia dan butuh pendidikan sekolahnya.

Aku juga pernah merasakan seperti mereka yang selalu ada untuk orang lain, selalu menghadiri kajian ilmu di majelis-majelis, dibina bahkan membina. Ingin rasanya berkumpul lagi dengan mereka. Tapi itu dulu, ketika aku belum menanggung beban sebagai anak pertama, yang telah ditinggal pergi oleh Ayah dan Ibu untuk selamanya. Di mulai dari berhenti membina, hingga berhenti pula untuk dibina karena jadwal senggang yang kumiliki tak sesuai dengan jadwal mereka. Akhirnya aku terjauhkan, terasingkan. Aku rindu.

Bekerja di dua tempat yang berbeda dengan waktu yang berbeda sering kali membuatku kelimpungan dengan semua ini. Adik yang masih berstatus pelajar SMA sering kali dilibatkan ikut serta untuk membantu ku bekerja, Adik yang masih berstatus pelajar SD kelas 5 tak pernah mengeluh jika ia harus menjaga adiknya yang masih kelas 2 SD. Allah, terimakasih Engkau telah mengirimkan adik yang baik untukku.

“Gunakan Ijazahmu untuk mendaftar sebagai guru disalah satu sekolah!” ujar Mbak Sarah seorang kakak yang pernah membina ku dulu.

“Tapi mbak, gajih guru honorer tak cukup untuk kebutuhan kami, 700ribu/bulan untuk biaya hidupku dan ketiga adikku sungguh tak cukup”

“Kamu pinter masak dek, sambil nyambi jualan di sekolah kan bisa. Mbak akan modalin kamu!” aku tak mampu berbkata apa-apa. Mbak Sarah, meskipun aku tak pernah lagi datang ke kajian rutin pekanan, namun ia sering kali mengunjungiku, memberi nasehat bahkan tak segan-segan untuk membantuku. Allah masih sayang padaku. Saran dari Mbak Sarah ku jalani saja, dan alhamdulillah dalam waktu 3 hari aku langsung diterima sebagai guru bimbingan konseling di salah satu Sekolah Menengah Atas ternama di kota ini, setelah melalui beberapa seleksi.

Hari-hari dilalui dengan selalu bersyukur dan bersabar. Melalui kehidupan baru sebagai guru konseling dan menitipkan beberapa makanan ke kantin sekolah, bahkan Alila adik yang masih SMA ikut juga berjualan disekolahnya. Penghasilan yang kami dapatkan tak jauh beda dengan dulunya, namun kali ini aku bisa pergi lagi ke kajian pekanan tiap minggu subuh. Aku berkumpul lagi dengan mereka.

“Ina?” Sapa seorang dengan seengah berteriak. Aku mencari asal suara itu, dan jantung ini tiba-tiba berdegup kencang ketika melihatnya. Nampan yang kupegang, yang diatasnya ada segelas teh hangat, ikut bergetar.

“Ina jadi guru disini?” tanyanya, aku menunduk tak berani menatapnya

“Iya, sudah beberapa minggu” tukasku sambil tersenyum yang sengaja kupaksakan

“Ina bisa tunjukin ruang BK nya?” aku menunjukkan kepadanya. Ia berjalan mengimbangiku, namun ia berada sedikit lebih jauh ke depan dariku.

“Baiklah, tujuan kita sama!” tukasku

“Kalau tujuan kita sama kenapa nggak dari dulu aja bersama!” aku terdiam berhenti melangkah, ia seidikit mempercepat langkahnya, hingga aku sedikit tertinggal. Ia lebih dulu masuk ke ruang BK. ia duduk di kursi tunggu, sedang aku tanpa melihat wajahnya dan pergi masuk keruangan.

Lelaki itu bernama Himawan Widaya, seorang lelaki yang dulu pernah memberanikan dirinya untuk mempersuntingku. Namun aku menolaknya, karena merasa aku tak cukup baik untuknya. Banyak yang mengenal Himawan, ia begitu di senangi oleh teman-temannya, masyarakat yang sering mendapat taujih rabbaninya, ia juga seorang tahfidz Al-qur’an. Sangat tak sebanding jika bersamaku.

“Ina, besok jam 9 pagi ndak sibuk kan? Mbak mau mempertemukan Ina dengan calon yang pernah Mbak ceritakan” pesan singkat dari Mbak Sarah.

“Silahkan Mbak!” jawabku. Usia 28 tahun tak muda lagi bagiku, dan mbak Sarah juga selalu mendesakku agar aku menikah.

Entah kenapa aku begitu tenangnya, ketika Mbak Sarah akan mempertemukan aku dengan calon pilihan Mbak Sarah. Mungkin ketenangan ini terjadi karena sebelumnya Himawan sudah 3 kali datang melamarku dan tetap saja aku menolaknya. Sudah menjadi hal yang biasa bukan. Mbak Sarah akan datang bersama suaminya untuk mendampingiku, menjadi waliku. Mbak Sarah harap, kali ini aku menerima tanpa menolak.

MasyaAllah, tak seperti yang kubayangkan sebelumnya mbak Sarah dan suaminya datang bersama seorang lelaki yang tetap kukuh pendiriannya. Ia datang bersama Himawan untuk ke 4 kalinya. Ada pikiran lucu, aneh dan heran, kenapa laki-laki ini begitu kukuhnya untuk menjadikanku istrinya. Mas Ilham, suami mbak Sarah menjelaskan serinci-rincinya perihal kedatangannya kemari, mbak Sarah mendukung Himawan.

“Ini sudah ke empat kalinya aku datang. Jika Ina menolak, insyaaAllah Mawan ikhlas, dan berusaha untuk melepaskan” tukas Himawan di akhir penjelasan yang telah mas Ilham sampaikan.

InsyaAllah, Ina menerima lamaran Himawan” aku tersenyum sambil menunduk

“Alhamdulillah,!” seru mbak Sarah, Mas Ilham dan Himawan bersamaan.

Pernikahan ini berlangsung sederhana mungkin. Hanya berselang 3 hari dari lamaran terakhir Himawan. Bahagia, haru, dan semuanya tak terasakan.

“Ina mungkin berpikiran bahwa Himawan adalah lelaki yang sempurna, perjalanan dakwahnya yang begitu lancar tanpa kendala, berhak mendapatkan wanita yang sama dengan Himawan. Namun Ina tak menyadari, sifat lembut, bertanggung jawab terhadap keluarga, penyayang terhadap makhluk Allah, kesabaran Ina menghadapi masalah, menjadi ketertarikan sendiri bagi Himawan. Bukankah Ina bilang bahwa Himawan pantas mendapatkan yang terbaik, dan yang terbaik bagi Himawan adalah Ina!” teringat kata Mas Ilham menjelaskan.

“Jangan panggil aku ‘Himawan’, panggil aja Mas Mawan! susah banget sih!” teringat pula Himawan ngambek karena ku sering memangilnya ‘Himawan’ , yang jelas ia lebih muda dariku dua tahun, bagaimana aku harus memanggil ‘Mas’ kepadanya.

Allah, terimakasih atas apa yang Kau berikan kepadaku. (dakwatuna.com/hdn)

 

Mahasiswi di Universitas Palangka Raya senang dengan dunia kepenulisan selalu ingin belajar menyampaikan kebaikan dengan tulisan
Disqus Comments Loading...