Pejuang Seberang

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com –“Istighfar san,” tegur seorang temanku ketika tanpa sengaja jemari ini sudah menuntunku untuk menahan layar smartphone pada sebuah postingan yang dikirim oleh seorang ‘pejuang seberang’. Beberapa orang akhwat tampak berjajar rapih usai melaksanakan sebuah kegiatan di kampus, mereka semua tersenyum bersama seorang pembicara di tengah. Foto itu memiliki resolusi yang rendah, mungkin memang sengaja agar wajah mereka yang jauh dari kamera itu dengan sendirinya menjadi buram. Hanya senyum yang dapat dipastikan terlukis pada wajah mereka.

“Hafalanmu hilang semua nanti,” timpal temanku yang lain lagi.

“Aku gak sengaja kok,” belaku. “Lagian juga aku kan melihat wajah, bukan aurat.”

“Tapi lihatnya pakai nafsu,” Adam, seorang temanku seperjuangan di kelas ataupun di LDK kampus ini yang sudah bersamaku sejak semester satu paling gigih agar saudaranya ini tidak melakukan maksiat. Ia masih terus mencoba, agar segera kulepaskan smartphone ini.

Aku diam tak bisa mengelak. Tombol home kutekan sekali, layar smartphone keluar dari semua aplikasi dan terhenti di wallpaper. Sekarang sebuah printscreen dari note berisi sepuluh muwasafat tarbiyah terpampang di depanku.

“Naaah begitu lebih baik!” seru Adam saat itu juga. Disebelahnya Juki tertawa melihat ekspresi Adam dan ekspresi kakuku di depan catatan sendiri.

Bukannya kurenungi sepuluh muwasafat itu, malah kumatikan layar smartphone hingga gelap tak terlihat apapun.

“Masih kesetanan sepertinya kau Hasan,” Adam belum menyerah. “Wudhu gih.”

Kusandarkan punggung ini pada dinding sekretariat dan dengan santai aku masih membela diri.

“Emangnya salah kalau punya pujaan hati?” tanyaku memulai.

“Nggak ada yang salah,” jawab Adam langsung. “Tapi bukan begitu caranya. Kalau kau begitu, malah kau semakin menjauhkan diri dari kemungkinan bersamanya. Ingat, ketaatan kita yang menentukan jodoh kita itu seperti apa. Jika kau inginkan dia, kau harus setingkat dengannya,” Adam langsung memberikan kuliah panjang. Sudah jadi dosen dia sepertinya.

Diam sejenak, ternyata Adam langsung mulai lagi, “Jangan-jangan kau simpan beberapa fotonya di smartphone-mu itu ya?”

“Su’udzhon,” jawabku cepat. Aku tidak mau digurui dan sekarang malah dituduh yang bukan-bukan. “Foto dirinya sendiri tidak bisa kutemukan dimanapun.”

“Waah udah dicari!” tembak Juki. Aku membelalak, bukan marah ke Juki, tapi karena terkejut tanpa sadar aku sudah memberitahukan aibku sendiri.

Adam hanya geleng-geleng. Ia memang seorang yang paling unggul diantara kami, dalam dua hal. Tapi dua hal itu, bagiku segalanya. Pertama ia adalah seorang yang istiqomah dalam ketaatan. Sederhana saja, kebiasaannya sehari-hari adalah sholat lima waktu berjama’ah tepat pada waktunya, membaca al Qur’an di setiap sela waktu yang dia miliki, menghafal al Qur’an, shaum sunnah, mengerjakan sholat sunnah dhuha dan rawatib, dan berjuang dijalan dakwah ini. Hanya itu ibadahnya yang kutahu. Dimalam hari, itu rahasianya dengan Allah. Dalam setiap detiknya ia berdzikir atau tidak, itu juga rahasianya dengan Allah. Kubiarkan tanpa pernah kutanya amalan-amalan yang tak kuketahui itu, agar tetap menjadi amal yang bersih dari pengetahuan siapapun kecuali Allah SWT. Kedua ia tawadhu’. Ia tak pernah lupa meminta dinasihati oleh teman-temannya, ramah, lebih sering mendengarkan, tak pernah membicarakan apapun yang sudah ia gapai dalam hidup, bercanda, dan sering menjadikan dirinya sebagai obyek pelajaran. Kata-katanya yang sering diucap, “Jangan kaya saya nih…”.

Berbanding terbalik denganku. Padahal sudah dari semester satu kami selalu bersama dan ia sudah terbang tinggi. Tampaknya aku juga ikut naik ke atas berkat kibasan sayapnya yang kencang. Kebersamaan yang tak terbayar dengan apapun.

“Nggak akan ada habisnya ngomongin soal ‘pejuang seberang’,” Juki sekarang membuka percakapan. Tanpa sadar sebuah halaqoh kecil sudah tercipta diantara kami bertiga. “Udah kodrat. Rasulullah sendiri yang sudah bersabda begitu. Wanita dan klenik. Tapi emang seru banget bahas gituan, apalagi tentang ‘pejuang seberang’.”

Pejuang seberang adalah istilah kami untuk para akhwat. Disebut begitu karena letak sekretariat mereka berada di seberang sekretariat kami. Sudah desain dari kampus, tak bisa diubah lagi. Adam sering sekali menyayangkan soal itu. Sementara aku malah seperti diuntungkan dengan posisi demikian.

“Kita baca bismillah dulu aja. Jangan sampai perbincangan ini dimulai tanpa menyebut nama Allah. Bisa brabe di akhirat!” sela Adam sebelum obrolan semakin melanjut.

Kami pun mengucapkan bismillah bersama-sama.

“Nah.. daripada bahas mengenai wanita dan klenik yang gak bakalan berakhir sampe tua. Mending kita saling setor, kira-kira apa yang sekarang sedang booming di Indonesia,” ajak Adam.

“Boleh,” balasku semangat. Juki ikut mengangguk setuju.

“Darimu San,” tunjuk Adam.

“Apa ya…” aku berfikir sejenak. “Tentang pemilihan gubernur kayaknya.”

“Oh ya itu!” sahut Juki mantap. “Sama kopi Jessica!” orang yang satu ini memang tak pernah berhenti bercanda.

“Mau kau ngopi bareng dia Juk?” tanyaku menantang.

“Belum muhrim, ya gak boleh lah!”

“Berarti kau mau menikah dulu dengannya Juk?” tanya Adam sambil menahan tawa.

“Oalah… siapapun yang mau mungkin gak akan sempet. Sidangnya gak selesai-selesai!”

Kami bertiga pun tertawa.

“Udah ah! Bukan urusan kita. Tapi yang jadi urusan kita dan umat se Jakarta ini, gimana tuh pak Gubernur?” stop Adam dari tawa masing-masing.

“Kalau aku sih gak pengen ngomongin orangnya. Tapi pergerakan di belakangnya yang massive Sampai bisa sejauh ini,” ujarku. Adam tampak mengangguk-angguk setuju.

“Memang bukan kita doang yang sekarang ini sedang berjuang. Itu tuh, yang layak disebut sebagai pejuang seberang yang sebenarnya. Dan kita saling dorong dengan mereka.”

Kata-kata Adam itu tiba-tiba melambungkan fikiranku.

***

“Hai!” sapa seorang gadis tak berhijab di hadapanku, ketika aku sedang memperhatikan taman kampus dari lantai tiga yang menghadap ke arahnya. Saat itu jam pelajaran hampir di mulai. Aku sudah diam di depan kelas menunggu kelas sebelumnya berakhir.

Gadis itu juga sekelas denganku untuk pelajaran yang satu ini. Sudah sejak beberapa minggu yang lalu ia memperhatikan aku. Aku tak tahu apa maksudnya, dan sekarang ia tampak mendekatiku. Dan aku, yang memang tak pernah memiliki pengalaman dan tak mau memiliki pengalaman bersama seorang wanita disebelah, mulai gugup.

“Hai juga,” jawabku gugup dan sedikit tak acuh agar dia segera menghentikan kelakuannya. Tapi tampaknya dia menegur memang dengan maksud. Dia tidak menyerah. Malah dia memulai.

“Kamu anggota LDK kan ya?” tanyanya berbasa-basi.

Aku mengangguk cuek.

“Mau tanya dong,” pintanya segera. Seolah-olah itu adalah sebuah pertanyaan khusus yang memang harus dimulai dengan kata-kata demikian. “Boleh kan?”

Aku mengangguk lagi, sekarang dengan ekspresi curiga dan penasaran sekaligus. Dan tanpa sadar curiga dan penasaran itu membuat leherku sudah memutar wajahku menghadapi wajahnya. Baru terpandang olehku wanita itu dengan cukup detail.

Ia tak berhijab. Rambutnya pendek selehernya, wajahnya kekanakkan dengan senyum kebocahan, beberapa jerawat tampak menghias di pipi, ia menggunakan kaus berwarna hitam. Di atas kaus hitam itulah tampak mudah terlihat olehku, sebuah kalung berwarna silver tergantung di lehernya, sampai ke dada. Salib.

“Kenapa kalian dilarang memilih pemimpin dari agama kami?” tanya gadis itu tiba-tiba, yang rasanya lebih seperti menendang mukaku. Itu pertanyaan yang sensitif. Kenapa pula ia tanyakan itu kepadaku. Sementara aku tak memiliki bahan-bahan yang kurasa cukup untuk menjawab pertanyaannya. Sedangkan di saat seperti ini, si Adam malah tak tampak batang hidungnya.

Aku menoleh ke sekitarku mencoba mencari Adam yang tak kunjung menampakkan diri itu. Tapi sia-sia, Adam tak bisa kutemui.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” balasku bertanya, sengaja mengelak.

“Ya penasaran. Sampai sebegitunya kalian menghadang perjuangan kami,” jawab gadis yang belum sempat kuketahui namanya itu.

Aku mengangguk terlebih dahulu sebelum menjawab. Seperti mengiyakan jawaban yang sudah kususun sendiri.

“Karena memang sudah dilarang dalam al Qur’an. Sementara tidak mungkin sesuatu yang berasal dari al Qur’an itu bersifat merugikan kami. Lagi pula, kamu sendiri sudah bilang, ‘perjuangan kami’. Maka sudah seyogyanya pula, kami hanya memilih apa yang kami perjuangkan bukan yang kamu perjuangkan,” jawabku.

“Tapi dia kan hebat. Banyak kok, muslim yang mengakui kehebatannya dalam memimpin,” balasnya.

“Jika kamu berbicara tentang hebat, maka pasti kita berbeda pendapat tentang hebat yang dimaksud. Seperti apa hebat yang kamu maksudkan itu, yang tampak pada pilihanmu?”

Gadis itupun tampak berfikir, mencari-cari. Melihat itu aku justru segera menambahi.

“Sebutkanlah sifat dan sikapnya yang tidak ada pada orang lain yang menunjukkan bahwa dia itu seorang pemimpin, seorang yang hebat. Jangan tentang proyek dan program-program, semua proyek dan program-program itu bisa berhasil bisa juga gagal. Tak tentu. Tapi sifat, sikap, pribadi, kelakuan, itu sudah pasti.”

Dia langsung menjawab, “Tegas, keras, transparan, gak jaim!”

“Tegas dan keras? Jelas sekali kami orang muslim sudah merasakannya, terutama yang rakyat kecil. Transparan? Aku tak melihat itu di sebagian media yang menutup-nutupi. Jaim? Apakah dalam agama kalian tidak ada tuntutan untuk berakhlak dan berbudi mulia?” balasku. “Coba katakan menurut pendapat agamamu sendiri, akhlak macam apa yang ia miliki?”

Ia diam. Lalu berbicara lagi, “Tapi kenapa kalian halang-halangi kami?”

“Kalian salah paham. Kami sama sekali tidak menghalangi kalian. Kalian berhak memilih dan mengajukan pemimpin yang kalian inginkan. Kalian bahkan berhak berjuang. Sama sekali tak kami halangi. Kami hanya melakukan tugas kami, memperingatkan kaum muslim yang lain agar tidak terjerumus hingga melakukan apa yang Allah larang.”

“Tapi kalian menggunakan hukum dari agama kalian masuk ke dalam kancah politik. Itukan harusnya dipisahkan!” keluhnya masih juga tidak puas.

“Itulah bedanya agama kita. Agamaku mengatur segala hal yang berkaitan dengan hidup manusia mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Kamu tahu, dalam agama kami, kami pun diajarkan bagaimana caranya cebok, hehe. Jadi bagaimana mungkin tidak ada aturannya untuk suatu hal yang penting seperti ini. Jika muslim sampai salah dalam hal ini, ini akan menjadi kesalahan kolektif, dosa kolektif. Kami semua bisa kecipratan dosa bila tidak turun memperingatkan.”

“Aku tetap tidak bisa terima,” protesnya.

“Tuh kan… ya begitu. Kalian sampai kapanpun memang tidak akan bisa menerima kami. Allah pun sudah mengatakan itu dalam al Qur’an. Kalian tidak akan pernah ridha kepada kami, kecuali sampai kami mengikuti agama kalian[1]. Coba bayangkan jika kalian sampai memimpin kami? Apakah kami bisa terima? Apa yang bisa kami terima?”

Ia diam.

“Lagipula, sudah cukup penjajahan Belanda atas kami yang sangat lama itu. Belanda itu berbeda keyakinan dengan kami. Maka dari itu, tidak akan kami biarkan yang semacam itu terjadi lagi!”

***

Diriku hadir lagi ke halaqoh kecil ini, usai mengembara beberapa saat dalam ingatan beberapa hari yang lalu itu. Sekarang ini, hasil dari bertanya-tanya ke beberapa orang teman, aku tahu gadis itu. Nama belakangnya Kristanti, ke gereja empat kali seminggu setiap malam, aktif di gerejanya sebagaimana aku aktif di LDK.

Kau gadis pejuang seberang, jika hidayah datang, orang sepertimu itu bisa sangat berguna di seberangmu yang sekarang. Sejak pertemuan itu, kudo’akan kau agar berubah, menjadi pejuang seberang juga. Tapi pejuang seberang di depan sekretariat ini. Berhijab lebar, anggun, aduh! Astaghfirullah… (dakwatuna.com/hdn)

[1] Surat al Baqoroh ayat 120

Seorang yang takkan pernah berhenti mencari dan mengenali jati dirinya. Karena yang mengenal dirinya, yang mengenal Tuhannya.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...