Mengenal Kalender Hijriah

Ilustrasi (tdjamaluddin.wordpress.com)

dakwatuna.com – Kalender hijriah adalah kalender yang dalam penggunaannya didasarkan pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari kota mulia Mekah ke kota bersinar Madinah. Peristiwa ini dijadikan basis perhitungan penanggalan bulan dalam Islam. Penetapan itu sendiri ditetapkan pada zaman Khalifah Umar bin Khatab tahun 17 H. Seperti dimaklumi kalender hijriah adalah kalender berdasarkan peredaran bulan mengelilingi Bumi, sedangkan patokannya adalah hilal. Hilal sendiri adalah fenomena langit yang sangat populer dan akrab dikalangan masyarakat sejak zaman dahulu. Oleh karena kepopulerannya itulah Islam mengakomodasi fenomena ini dalam sistem penjadwalan waktunya, baik terkait aktifitas sehari-hari, dan terutama terkait ibadah.

Perubahan penampakan wajah bulan (hilal) setiap harinya, seperti yang terlihat dari bumi adalah sebagai akibat posisi relatif bulan terhadap bumi dan matahari. Wajah bulan nampak berbeda dari waktu ke waktu yang disebut fase-fase Bulam. Fase-fase tersebut adalah: [1.] Crescent (hilal) [2.] First Quarter (at tarbi’ al awwal) [3.] First Gibbous (al ahdab al awwal) [4.] Full Moon (al badar) [5.] Second Gibbous (al ahdab as tsany) [6.] Second Quarter (at tarbi’ as tsany) [7.] Second Crescent (al hilal as tsany) [8.] Wane (al mahaq) atau disebut juga fase konjungsi atau ijtimak.

Al-hilâl (crescent) adalah posisi pertama bulan (sejak hari pertama sampai hari keenam. Pada hari pertama masa muncul dan terlihatnya antara 10 menit sampai 40 menit. At-tarbî’ al-awwal (first quarter) adalah saat bulan telah memasuki hari ke 7. Al-ahdab al-awwal (first gibbous), yaitu bulan yang telah memasuki hari ke 11 dengan lengkung sabitnya menghadap arah timur. Al-badar (full moon), yaitu bulan yang telah mencapai usia pertengahan dimana posisinya tepat berhadapan dengan matahari (oposisi, istiqbâl). Al-ahdab ats-tsânî (second gibbous), yaitu hampir seukuran al-ahdab al-awwal dengan arah lengkung sabit yang berlawanan (menghadap ke arah barat). At-tarbî’ ats-tsânî (second quarter), yaitu ketika bulan dalam peredarannya telah sampai 22 hari. Pada periode ini bulan mirip at-tarbî’ al-awwal namun dengan arah lengkung sabit yang berkebalikan. Al-hilâl ats-tsânî (second crescent). Al-mahâq (wane), yaitu ketika bulan telah sampai pada peredaran sempurna, dimana bumi dan matahari dalam posisi sejajar yang disebut dengan konjungsi (ijtimak, al-iqtirân).

Secara astronomis, ijtimak (konjungsi, al-iqtirân, fase al-mahâq) merupakan syarat terjadinya awal bulan kamariah, yaitu pada saat bulan berada diantara matahari-bumi (fase wane, al-mah

âq), dimana wajah bulan tidak tampak dari bumi. Ijtimak merupakan suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat. Para ulama astronomi sepakat bahwa peristiwa ijtimak merupakan batas penentuan secara astronomis antara bulan kamariah yang sedang berlangsung dengan bulan kamariah berikutnya. Oleh karena itu para ahli astronomi menyebut ijtimak atau konjungsi merupakan titik awal perhitungan bulan baru.

Konjungsi atau ijtimak merupakan syarat awal masuknya bulan baru qamariyah secara astronomis, yaitu saat bulan berada diantara matahari dan bumi, dimana wajah bulan tidak nampak dari bumi. Ijtimak atau konjungsi adalah pertemuan atau berimpitnya dua benda yang berjalan secara aktif yang terletak pada posisi garis bujur yang sama bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat. Para saintis dan sebagian ulama sepakat bahwa ijtimak atau konjungsi merupakan syarat utama masuknya awal bulan qamariyah.

Selanjutnya, hilal yang merupakan acuan utama terhadap masuknya awal bulan memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

  1. Bulan terbenam lebih dahulu dari matahari (hilal masih/sudah berada dibawah ufuk, alias hilal negatif). Dalam keadaan ini, hilal dipastikan tidak terlihat, dan setiap kesaksian akan tertolak.
  2. Matahari terbenam lebih dulu dari bulan. Dalam keadaan ini, ada kemungkinan hilal terlihat, namun bergantung ketinggiannya diatas ufuk.
  3. Hilal terlihat setelah terbenamnya matahari sebelum terjadi konjungsi. Hal ini belum terhitung sebagai hilal awal bulan dan masih terhitung sebagai hilal akhir bulan. (fenomena ini terhitung ganjil dan jarang terjadi).
  4. Terjadinya konjungsi ketika terbenamnya Matahari dalam keadaan tertutup (kasyifah) alias terjadi gerhana matahari, maka dipastikan hilal tidak akan terlihat karena kekontrasan cahaya Matahari.
  5. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari, sementara itu diwilayah lain sebaliknya (dalam satu wilayah kesatuan/negara). Maka dalam hal ini, setiap wilayah berlaku penetapan masing-masing berlandaskan pada hadits Kuraib.

Aneka problematika penentuan awal bulan yang tak kunjung usai hingga hari ini sejatinya adalah tantangan bagi para pengkaji dan peneliti di bidang ini. Bahwa betapapun hal ini merupakan ranah ijtihad yang membuka ruang perbedaan pendapat, namun dalam tataran konteks idealis dan logisnya seyogianya perbedaan itu harus tiada. Oleh karena Islam adalah agama yang sangat menekankan arti penting persatuan, wallahu a’lam. (dakwatuna.com/hdn)

 

Alumni Institute of Arab Research and Studies (Ma‘had al-Buhūts wa ad-Dirāsāt al-‘Arabiyyah) Cairo. Aktifitas saat ini dosen Fakultas Agama Islam UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...