Perempuan di Kereta

Ilustrasi – Perempuan berkerudung. (flickr.com / Zarfique Blindgraphique)

dakwatuna.com – Kabut pagi yang menyelimuti Bandung dengan harum aroma surabi di tepi jalan menemani awal perjalananku meninggalkan rumah kost ba’da shubuh tadi. Sekira pukul 5.45, aku tiba di stasiun Bandung, menapaki jalur check-in menuju ke kereta yang akan kutumpangi. Bis 1 dengan nomor kursi 17C, sambil memegang tiket aku menelusuri badan kereta dan menemukannya tepat di barisan paling pertama di belakang kereta kemudi. Di sana, di salah satu jejeran kursi sudah duduk seorang perempuan, melihatku, dia sedikit merapikan duduknya ke posisi sesuai jatahnya. Aku menyimpul senyum, “punten teh,” dijawabnya dengan sunggingan senyum kecil.

Aku merapikan ransel yang kubawa di kabin setelah sebelumnya mengeluarkan laptop dan termos berisi minuman hangat yang selalu kubawa ketika perjalanan jauh. Tepat pukul 6.30, sesuai jadwal yang tertera di tiket, roda kereta mulai berputar, kami beranjak meninggalkan stasiun Bandung. Aku mulai kembali bekerja dengan laptopku, membuka file pekerjaan kuliah yang terhenti semalam, sesekali dengan meneguk cokelat panas yang telah kutuang ke gelas dari termos tadi.

“Hiks…hiks…,” suara isak tangis dari perempuan di sebelahku. Aku mencoba tetap konsentrasi dengan laptopku, lagipula dia mengarah keluar jendela, memaku pandangannya pada arah yang sama, seolah mengatakan “biarkan aku.” Tapi suara itu terdengar lagi, kini ia seperti terbawa haru yang luar biasa, kedua tangannya segera diarahkan menutup wajahnya yang basah karena air mata.

Aku mulai berhenti dengan laptopku, “teteh, punten. Apa teteh baik-baik aja?” aku mencoba menanyainya. Lama, dia berusaha mengelap air mata dengan kedua tangannya. “Gue baik-baik aja,” dia menatapku dengan menarik garis bibir dan menjawabku. Kali ini dia terlihat lebih ramah daripada awal pertemuan kami tadi. “Alhamdulillah, semoga semuanya baik-baik aja,” kataku. Aku pun kembali berfokus pada laptopku.

“Mba, orang Bandung?” kaget tapi aku segera menyambut pertanyaannya, “bukan, saya dari Makassar, tapi lagi kuliah di Bandung. Kalau mba atau teteh?”

“gue cuman main aja ke Bandung, pengen nemuin seseorang, tapi gue udah salah buang-buang waktu ke sini,”

Aku bergeming, kemudian dia melanjutkan ceritanya. Dia asli Jakarta dan juga sedang kuliah S2 di salah universitas negeri di Jakarta, datang ke Bandung untuk menemui seseorang yang katanya penting baginya. Sebut saja nama perempuan ini Chelsy dan seseorang yang penting baginya itu bernama Angga. Chelsy dan Angga dulunya satu kampus dan satu kelas ketika masih kuliah S1 di Jakarta. Sejak semester dua, mereka berkomitmen untuk menjalin hubungan yang menurut mereka lebih serius dan hubungan itu berlanjut hingga kejadian yang terjadi beberapa jam lalu mengakhiri semua yang pernah mereka rajut.

Lima tahun kami bersama tapi semuanya jadi tanpa arti sejak hari ini. Gue bela-belain datang dari Jakarta cuman buat ngehadirin wisudanya hari kemarin. Dia menyambut gue dengan sangat baik, gue pun datang bukan karena enggak diajakin ama dia. Tapi orang tuanya yang enggak suka, malah ngebawain cewek lain dan dijodohin ama dia. Dan si Angga enggak bisa ngapa-ngapain di depan orang tuanya, dia enggak ngebela gua waktu gua dibilangin ama nyokapnya.

Chelsy berhenti sejenak, tetes-tetes air mata kembali berurai di pipinya. Aku tetap menyimak. Nyokapnya minta gua ngelupain Angga karena dia udah dijodohin ama cewek yang masih ada hubungan keluarga dengan mereka dan nyokapnya ngenalin cewek itu ke gue. Lo tau enggak, dia nunjukin cewek itu seolah-olah udah pasti dia lebih baik daripada gue. Anaknya lebih kalem, anggun dan deket banget sama nyokapnya.

Lo tau enggak, apa yang paling bikin gue sakit banget, ternyata mereka udah mau nikah. Undangannya udah dicetak, tapi gue enggak pernah tahu itu. Gue berusaha minta penjelasan ama Angga, dan cemennya dia karena dia cuman bisa bilang kalau dia sayang gue tapi enggak bisa berbuat apa-apa. Cukup deh ini yang terakhir kalinya gue percaya ama laki-laki.

“Mba sayang, pernah dengar tentang pepatah yang mengatakan begini gak, jodoh tidak akan tertukar?”

“sepertinya pernah, tapi gue enggak ngeh,”

“Jodoh itu udah ada yang atur. Sekuat apapun kita memperjuangkan seseorang agar berjodoh dengan kita namun jika tidak ditakdirkan buat kita, tetap aja dia gak akan buat kita. Siapa yang menjadi jodoh kita, itu sudah Allah tuliskan, kelak Mba akan bertemu dengannya di waktu yang belum kita ketahui saat ini, hanya Dia yang tahu,”

“Apa gue masih akan bisa jatuh cinta lagi? Gue udah sayang banget ama Angga dan gue khawatir enggak bisa ngelupain dia.”

Kereta masih melesat, di luar jendela, deretan persawahan menghijaukan pandangan kami. Kami berdua menatap ke luar, mungkin ada jawaban kegundahan di luar sana.

“Lo punya pacar?”

“enggak,”

“maaf ya, mungkin gue salah dengan pertanyaan itu, atau jangan-jangan elo belum pernah pacaran? Kalau belum pernah, lo harus bersyukur karena pacaran itu hanya buang-buang waktu, pikiran bahkan materi. Cukup dah gue yang nyesel gini,”

“Mba chelsy, enggak ada kok orang yang Allah ciptakan sempurna kecuali manusia-manusia pilihanNya terdahulu yang memang dijaga dan menjaga jiwanya. Kita ini, enggak ada yang luput dari salah. Bisa jadi kita punya masa lalu yang kelam, tetapi apa yang kita jalani saat ini dan di masa depan itu yang jauh lebih penting,”

“Lalu apakah Allah akan maafin gue, dosa-dosa besar gue?”

“Allah itu maha pengampun, maha pemaaf dan maha menerima taubat, yang penting kita mau bersungguh-sungguh, yang artinya tidak hanya dalam ucapan tapi juga dengan perbuatan,”

Isaknya kembali terdengar, tanpa air mata, mungkin sudah kering. “Iya semoga Allah maafin gue,”

Hijau yang terbingkai dalam bingkai jendela, mulai terganti dengan bangunan-bangunan tak beraturan di seberang rel kereta. Tidak jauh di depan sudah terlihat tulisan stasiun Gambir. Kami bersiap-siap turun. Di depan stasiun kami berpisah, “semoga Allah berikan petunjukNya buat mba,” dia lalu memelukku, “semoga kelak kita bertemu kembali dalam keadaan yang sama-sama jauh labih baik daripada ini,” bisiknya sebelum berlalu dengan panjangnya menyeberang jalan. (dakwatuna.com/hdn)

Perempuan berdarah bugis yang memiliki nama asli Jayanti ini memiliki impian untuk membangun sekolah Islam tak berbayar bagi anak-anak kurang mampu di daerah asalnya, kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Alumnus Unismuh Makassar serta Sekolah Guru Indonesia ini sedang menjalankan tugas sebagai pengelola School of Master Teacher Makassar, salah satu program pendidikan keguruan yang diinisiasi oleh Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa serta mengelola Kolong Ilmu, salah satu program dari Klinik Pendidikan Nusantara, sebuah Komunitas Volunteer yang berupa rumah baca, rumah belajar dan rumah kreatifitas bagi anak-anak pelosok Nusantara yang saat ini tersebar di tujuh titik di Indonesia.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...