Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Terlahir Kembali

Terlahir Kembali

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Mencoba hidup tanpa cinta? Apakah bisa? Para pria tua, botak, dan berjanggut putih seketika saling berdebat melemparkan argumentasi satu sama lain. Ada yang bilang bisa ada yang bilang tidak bisa. Ruangan luas itu penuh oleh gemuruh pendapat yang seketika sudah tidak bisa lagi di dengar kata-katanya. Adu argumentasi satu sama lain secara kacau itu pada akhirnya tak bisa menemukan jawabnya, tentang sesuatu yang hanya bisa dibuktikan oleh rasa. Yunita terbangun dari tidurnya. Ia menghembuskan nafas panjang menghadapi mimpi konyolnya itu.

Yunita masih di tempat tidur, terus memikirkan mimpinya. Apakah itu efek dari buku filsafat yang ia baca semalam dengan terus memaksakan diri? Akhirnya ia jadi memimpikan para filsuf yang saling berdebat mencoba memecahkan masalah pribadinya. Tapi para filsuf mimpi tetap tak bisa memberikan solusi apapun. Tak satu suarapun yang bermakna, semuanya hanya seperti dengung lebah yang terpantul dari dinding ruangan luas itu.

Dari arah jendela matahari sudah memancarkan sinar putih yang menyerbu masuk ke kamar Yunita. Meski tak langsung terarah ke tempat tidur, Yunita sudah tahu bahwa hari ini ia bangun kesiangan lagi.

Selimut itu ia singkapkan begitu saja, terpental dan mendarat di lantai. Ia langsung bergegas ke kamar mandi. Sudah seminggu hidupnya tak biasa. Ini adalah pertama kalinya ia harus berkonfrontasi langsung melawan dirinya sendiri yang seketika tidak bisa diajak kerja sama.

Semuanya sudah jelas, ia tahu itu, bahwa ada pengaruh yang mendalam dari yang dilakukan oleh kekasihnya kepada dirinya. Efek itu jelas tidak langsung dan bahkan ia bisa mengendalikan, tapi setiap kali muncul dan terbayang, ia tahu bahwa perlahan tapi pasti pertahanan dirinya terkikis. Dan setelah seminggu, dinding pertahanan itu sudah semakin tipis. Walaupun secara kasat mata, ia mampu mencoba terlihat biasa saja.

Seminggu yang lalu, ketika kekasihnya memutuskan untuk pergi darinya—dengan makna pergi yang menyakitkan—ia tampak terlihat tegar. Perpisahan itu berlangsung singkat, masing-masing seperti biasa saja meninggalkan satu sama lain. Beberapa detik, beberapa menit, dan beberapa jam setelah peristiwa itu hatinya masih datar. Tak ada lonjakan apapun. Sangat tenang dan biasa saja. Tapi ia sama sekali tidak tahu, bahwa hal itu terjadi karena pukulan telak yang dilakukan oleh kata-kata sang kekasih, yang meski penuh dengan nada bersalah, terlalu mendadak dan telak menghantam hatinya. Pukulan telak yang terlalu keras untuk segera disadari dampaknya.

Esok harinya, bayang-bayang keindahan selama mereka berhubungan terbayang jelas dan menyakitkan. Apapun itu yang sebelum ini ia anggap sebagai pengalaman indah, seketika disaputi kabut, kehilangan matahari, dan warna. Semuanya menjadi terasa pahit, dengan rasa pahit yang hanya bisa dirasakan oleh hati. Itu jauh lebih mengerikan dibanding pahitnya obat apapun. Dan semakin pahit karena memang tidak bisa diobati oleh obat apapun.

Dari luar ia memang tampak tidak terganggu. Langkahnya, senyumnya, kata-kata, dan candanya, seluruh temannya tidak akan ada yang mengira. Tapi ketika kesendirian tiba atau ada kesempatan melamun sekian detik, hanya satu bayang yang muncul. Kekasihnya. Bibirnya bergetar, begitu juga dengan jemarinya, semua menjadi terasa dingin. Tapi fikirannya selalu berhasil menguatkan, hingga ia bisa kembali melibatkan dirinya dalam kesibukan yang sedikit mengalihkan ingatannya.

Ketika malam tiba, semuanya menjadi semakin parah. Ketika segala aktivitas yang harus ia lakukan sudah berakhir dan kantuk belum datang menyerang, tanpa sadar ia duduk disisi tempat tidurnya dan termenung. Segala ingatan pahit itu kembali menyerang. Jemarinya meremas selimut yang terbentang rapi menutupi tempat tidur. Memaksa tidur dan memejamkan mata sama saja menyiksa diri sendiri. Oleh karena itulah ia meraih buku-buku kusam yang sempat menginspirasinya dahulu kala.

Hampir tengah malam ia membaca tanpa kunjung merasa kantuk. Terus mencoba fokus hingga ia kehilangan kesadaran. Lalu terbangun keesokan harinya tanpa pernah merasa lebih baik.

Akibat dari malam-malam yang penuh dengan serangan kenangan, kian hari ia semakin rapuh. Yunita tahu Konstantinopel pun akhirnya hancur setelah puluhan kali menahan serangan musuh. Begitu juga hatinya. Karena itu Yunita begitu gelisah, entah dimalam keberapa al Fatih yang akan menaklukannya itu tiba. Lalu apa yang akan terjadi setelah itu? Yunita tidak tahu, ia tidak mau tahu. Ia tidak bisa membayangkannya, karena baginya, itu kematiannya.

Beberapa malam berikutnya, al Fatih yang akan menaklukannya itu ternyata tak kunjung tiba, tapi batinnya semakin sakit. Hanya wawasannya yang cukup luas yang telah membantunya bertahan sejauh ini. Berkat wawasan itu ia bisa membandingkan dirinya dengan banyak hal, memetik banyak pelajaran, tapi tetap hatinya tak terkendalikan. Ternyata ada perbedaan antara memiliki banyak pelajaran dengan secara langsung mengendalikan hati. Jelas ia belum mengetahui caranya mengendalikan hatinya sendiri hingga seluruh pelajaran yang bisa ia petik tetap tak bisa diimplementasi. Tapi sedikitnya ia tahu bahwa apa yang ia rasakan sekarang ini semata-mata hanyalah kecemburuan nasib kepada mantan kekasihnya. Seandainya saja ia juga memiliki kekasih baru untuk dibanggakan, ia mungkin tidak seperti ini.

Tapi waktu tetap berjalan tak bisa dihentikan. Terseok-seok Yunita berusaha mengimbangi larinya waktu yang kian cepat. Kini, sudah sebulan berlalu. Yunita berfikir, apakah dulu juga seperti ini perasaan rakyat Konstantinopel? Hidup dalam negara kecil mereka yang sudah dikelilingi oleh wilayah Turki Utsmani. Dinding tinggi, kokoh, berlapis yang mereka miliki menjadi satu-satunya cara bertahan. Dan kepada satu-satunya pelabuhan mereka berharap untuk bisa makan. Puluhan serbuan mereka bisa tahan dan menangi, tapi semuanya berakhir ketika al Fatih datang. Anak muda itu menyuruh prajuritnya melakukan hal gila dengan menarik perahu melintasi perbukitan hingga bisa memasuki teluk yang mereka jaga dan tiba di sisi terlemah dinding mereka, Golden Horn.

Saat itu juga, Yunita rupanya menyadari sesuatu. Jangan-jangan, al Fatih itu sudah tiba dan sedang menyerang dirinya. Mungkin saat ini al Fatih itu sedang mencari cara untuk mencapai Golden Horn. Sialnya, tidak seperti Konstantinopel yang tahu Golden Horn itu ada dimana, ia sama sekali tidak tahu. Sekalipun ia bisa menyadari bahwa dinding itu ada dan selama ini selalu melindunginya. Sebuah ide pun melintas di kepala Yunita, jika dirinya bisa dianalogikan dengan Konstantinopel, pasti ia bisa mencari jalan keluar dengan membaca kisah itu. Mungkin saja ia bisa memenangkan pertempuran itu. Ya ampun maaf… bukan bermaksud tidak hormat ke Sultan Muhammad al Fatih. Tapi ini analogi doang kok. Batin Yunita dalam hati.

Yunita pun menggeratak rak bukunya dan mencari buku itu. Tak lama kemudian, tangannya menarik keluar sebuah buku berdebu. Sampul buku itu merah seperti bendara Turki, kovernya berupa gambar penyerbuan Turki ke Konstantinopel. Pertempuran yang dahsyat. Terakhir ia membaca buku ini saat ia masih duduk di bangku SMP. Mungkin saatnya mengenang lagi. Dan seru juga menjadikan dirinya sendiri sebagai sesuatu.

Ia kini bersimpuh di atas sofa di ruang tamu, lalu lama ia memperhatikan kover buku itu. Ia perhatikan pertempuran dahsyat itu hingga lama-lama matanya tak lagi memperhatikan pertempuran dan fikirannya berhenti membayangkan medan perang, melainkan matanya memandang warna merah dan untuk berapa ratus kalinya, ia malah terbayang lagi.

Ia tak pernah berminat untuk pacaran. Tapi perasaan itu tidak bisa ia atasi. Ia tak mampu membendung rasa yang membuncah itu. Hingga ketika pria yang ia kasihi memberikan setangkai mawar, hubungan itupun terjadi. Bukan pacaran dan sama sekali tidak melakukan apapun selain mengobrol atau ke toko buku. Mereka menjalani semua itu tampak hanya seperti berteman tapi hatinya tak sekedar teman. Hanya hati dengan perasaannya yang membedakan segalanya, membuat semuanya menjadi begitu manis. Untuk saat itu.

Setiap perbincangan, pertemuan, dan obrolan yang mereka lakukan melalui handphone, semuanya terbayang. Ia bersyukur tidak pernah melakukan apapun yang berlebihan, Allah masih menjaganya. Hingga ketika kekasihnya memutuskan untuk meninggalkannya dan pergi bersama pasangan baru yang sah; semua rasa manis yang begitu manis dan merah akhirnya menjadi pahit dan hitam. Sepahit arang dan bahkan lebih pahit lagi.

Yunita tersadar, ia segera cepat membuka buku itu dan membaca. Ia kesal dengan dirinya sendiri yang telah lalai. Lalai yang sudah terjadi sejak ia menjalin hubungan tanpa status itu, hingga baru saja ia lalai hingga kenangan itu datang melulu. Yunita lanjut membaca, untuk beberapa saat ia berhasil melupakan semuanya dan hanyut dalam cerita itu.

Konstantinopel mampu bertahan dengan begitu kuat melawan semua agresor baik yang berasal dari Eropa maupun dari timur tengah tapi semuanya gagal. Berbeda dengan bangsa Eropa, bangsa Arab yang beragama Islam lebih ambisius dalam menyerang Konstantinopel, sebab mereka berbekal hadits Nabi Muhammad SAW. Mereka yang berhasil menaklukkan Konstantinopel akan mendapatkan titel sebagai pemimpin terbaik pada zamannya dan pasukannya pun akan mendapatkan titel sebagai pasukan terbaik pada zamannya. Dan semuanya semakin semangat karena titel itu bukan saja diakui oleh semua muslimin melainkan juga oleh Allah SWT.

Tapi semuanya gagal. Demikian juga serangan yang dilakukan oleh leluhur Sultan Muhammad al Fatih. Karena itulah, bukan saja dunia Islam melainkan juga belahan dunia lainnya dikejutkan ketika pada akhirnya Konstantinopel berhasil ditaklukkan oleh seorang pemimpin yang umurnya baru 21 tahun.

Penaklukan Konstatinopel yang dilakukan oleh Sultan Muhammad II atau yang pada akhirnya dikenal sebagai Sultan Muhammad al Fatih itu, bukan berarti berlangsung mudah. Malah, berlangsung tidak masuk akal dan gila.

Sultan Muhammad al Fatih mengawali serangan seperti biasa, langsung menggempur tembok dan menyerang melalui laut. Perang di darat berlangsung lama dan penuh perjuangan, ratusan batu yang dilontarkan oleh trebuchet dan catapult tidak bisa menghancurkan dinding. Demikian juga dengan ratusan bola meriam yang ditembakan. Bahkan kehadiran meriam Basilicca pun tidak menolong. Barisan tembok yang kokoh dan berlapis itu tetap bisa menolong Konstantinopel dari serangan Turki Utsmani.

Tak seperti di darat, serangan dilaut langsung membuahkan hasil yang jelas. Tapi bukan kemenangan pasukan Utsmani, melainkan kekalahannya. Konstantinopel melindungi teluk mereka dengan sebuah rantai raksasa yang dibentangkan melintasi satu sisi pantai hingga ke sisi pantai sebrangnya. Membuat kapal-kapal Utsmani tidak bisa memasuki teluk tersebut. Alih-alih berhasil, serbuan kapal Utsmani menuju teluk dan tembok Konstatinopel disepanjang bibir pantai justru menjadi upaya bunuh diri. Utsmani kalah telak.

Lebih dari sebulan pengepungan Utsmani belum juga berhasil menembus tembok. Justru keadaan semakin parah. Moral pasukan turun, pasukan yang terluka semakin banyak, penyakit menyebar di camp tentara Utsmani, munculnya prajurit-prajurit yang desersi, dan banyak lagi masalah yang membelit, termasuk bekal yang semakin menipis. Perlu diingat bahwa pasukan yang dibawa oleh Sultan Muhammad al Fatih saat itu sangat banyak, mencapai dua ratus ribu orang. Jadi biaya untuk ransum pasukan besar seperti itu jelas sangatlah mahal.

Dikejar oleh masalah-masalah yang siap berkomplikasi dan meledak seperti bom waktu, Sultan Muhammad al Fatih mencari ide, menyusun strategi, hingga akhirnya sebuah ide nekat pun direncanakan oleh Sultan Muhammad al Fatih. Sebuah strategi yang jangankan para jenderal Konstantinopel telah pertimbangkan, bahkan para jenderal Turki Utsmani pun tidak menyangka mereka diperintah untuk melakukannya. Bahkan pula, sepanjang sejarah belum ada pemimpin perang Islam yang melakukan ide gila semacam itu.

Disinilah ‘perjudian’ terakhir Sultan Muhammad al Fatih dilakukan. Saat itu, ada tiga pilihan yang dimiliki oleh Sultan. Pertama, menarik mundur pasukan. Konsekuensinya, ia menjadi salah seorang pemimpin yang gagal menaklukan Konstantinopel dan Islam menantikan pemimpin berikutnya yang bisa mewujudkan hadits Rasulullah SAW. Kedua, terus melakukan serangan ditempat yang sama. Konsekuensinya, ia akan gagal, kerugiannya besar, tapi ia masih bisa menyelamatkan yang tersisa dengan mundur jika keadaannya sudah mendesak. Sementara yang ketiga, mengupayakan penarikan kapal-kapal yang tersisa melintasi daratan, mendaki dan menuruni bukit hingga sampai di dalam teluk lalu menyebrang ke Golden Horn; menyerbu dinding yang hanya satu lapis. Konsekuensinya, ia bisa saja gagal dan jika gagal dalam keadaan itu, ia bahkan tidak bisa melarikan diri; atau minimal kerugian perlengkapan perang dan nyawa akan menjadi sangat-sangat banyak. Dalam ‘perjudian’ terakhir ini, ternyata Sultan Muhammad al Fatih memilih yang ketiga. Seketika, gemuruh hadir dihati jenderal Turki Utsmani yang menganggap hal itu mustahil dan upaya sia-sia. Demikian juga dihati para prajurit yang faktanya merekalah yang akan menarik perahu-perahu itu. Tapi, mereka tidak berkhianat. Mereka setia dan takwa kepada pimpinan. Maka dari itu tak heran jika mereka mendapatkan titel sebagai prajurit terbaik pada zamannya.

Akhirnya, strategi itupun dilaksanakan. Gelondongan pohon di letakkan disepanjang rute yang sudah ditentukan untuk membantu menggelincirkan kapal-kapal yang mereka tarik. Lalu tambang yang begitu tebal digunakan untuk menarik kapal-kapal tersebut oleh puluhan orang di depannya dan didorong oleh puluhan orang pula di belakangnya. Ratusan kapal itu melintasi daratan, menanjak bukit, menuruni lembah, menanjak lagi, terus seperti itu hingga tiba di dalam teluk. Tambang-tambang yang kering dan berwarna coklat itu berubah. Tak lagi kering tapi basah, tak lagi coklat tapi merah oleh darah dari tangan-tangan prajurit yang lecet menarik kapal-kapal itu.

Suatu kegilaan yang tak pernah dilakukan oleh orang-orang sebelum dan sesudahnya. Kegilaan yang terbukti berhasil dan mengagumkan. Sultan Muhammad al Fatih berhasil menyelesaikan ‘perjudiannya’ dengan baik, sebab bandarnya bukanlah bandar judi seperti biasa, melainkan Allah SWT yang takkan mengecewakan hambaNya yang bertakwa. Ini bukanlah judi dengan uang yang diharamkan. Tapi perjudian hidup, ketika seorang anak manusia mempertaruhkan semua reputasi dan segala hal yang ia miliki—mulai dari keluarganya, rakyatnya, hingga Umat Islam—untuk sebuah cita-citanya yang sudah ia tekadkan ketika ia duduk disinggasananya. Konstantinopel harus takluk. Itulah, sebuah proposal yang ia ajukan kepada Allah dan ia siap mengorbankan apapun jika gagal. Sebuah strategi paling aneh dan gila pun diambil untuk mewujudkannya. Maka ketika Allah sudah melihat seberapa besar usaha yang ia lakukan, yang maha pengasih, yang maha perkasa, memenangkan pertempuran itu.

Seketika Yunita tersadar dari bacaannya. Ia menyadari satu hal, bahwa hidup itu memang perjudian. Perjudian untuk mendapatkan segalanya dengan cara mengorbankan segalanya. Cita-cita kita adalah segalanya, yang harus kita kejar dengan melakukan apapun dan mengorbankan apapun yang kita bisa berikan. Dan tidak seperti perjudian haram yang benar-benar acak dalam menentukan pemenang, perjudian hidup hanya memenangkan seorang yang perjuangannya paling maksimal. Dan memberi pelajaran kepada mereka yang tidak berjuang. Semua itu karena Sang Bandar, Allah SWT, tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hambaNya.

Tapi lebih dari itu Yunita menyadari satu hal lagi, Konstantinopel berada dalam kegelapan dan kesengsaraan selama ini. Terkepung, ketakutan, miskin, dan tertinggal, tapi justru menjadi berbeda setelah al Fatih datang menaklukan dirinya. Lalu iapun sadar bahwa sekarang ini ia dalam kondisi berperang dengan batinnya. Sementara dirinya yang penuh dosa ini berada di pihak yang salah, ada al Fatih yang menyerangnya, yang sedang mencoba memasuki dirinya dan mengubahnya dari dalam. Perang ini akan membuat Yunita yang lama mati, lalu Yunita yang baru hidup dalam pondasi yang kuat dan benar.

Sekarang, Yunita pun mengalah. Ia menyerah. Ia mengizinkan apa yang ia kira sebagai penderitaan itu datang. Ia membukakan gerbang, dan pasukan yang ia kira akan membawa penderitaan itupun datang. Tapi ternyata, persis ketika Sultan Muhammad al Fatih tiba di Konstantinopel dan mengizinkan rakyat Konstantinopel hidup tenang tanpa paksaan beragama ataupun pajak berlebih, pasukan yang masuk ke hati Yunita saat itupun ternyata membawa ketenangan dan kenyamanan. Segala masalah dan hantu masa lalunya pun sirna.

Yunita berhenti membaca. Ia letakkan buku itu di meja dan ia mulai rebahan di sofa. Yunita memejamkan matanya. Dalam mata terpejam, ada satu indra lagi yang hidup dan dapat ia kuasai; indra perasaan. Perlahan cahaya keikhlasan terbit di hatinya seperti terbitnya matahari yang menghapuskan hitamnya malam. Arang pahit yang dihasilkan dari bakaran rasa kecewa kepada kekasihnya itu perlahan terhapusi oleh air keikhlasan yang sejuk. Yunita terus mendalami perasaannya, perlahan semuanya menjadi semakin tenang, semakin damai. Semuanya sunyi. Senyap. Beberapa menit kemudian, Yunita terbangun. Ia tidak sadar apakah tadi ia sempat tertidur atau tidak, yang jelas ia merasa sangat lega.

Tak semua agresor itu buruk. Hal pertama yang Yunita fikirkan. Demikian juga, tak semua yang kita anggap buruk yang hadir dalam hidup kita, buruk untuk diri kita. Nyatanya, perpisahan itu merupakan suatu kebaikan dan berakibat kebaikan pula. Yunita yang lama sudah mati dan sekarang Yunita yang baru telah lahir, telah hadir, dan siap menyongsong hidup barunya dengan lebih baik lagi. Ia menjadi seperti Konstantinopel yang setelah itu menjadi semakin cantik, indah, dan kuat. Kota yang untuk saat itu hingga selamanya menjadi milik Islam. Dan Yunita berharap, begitu juga hatinya. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang yang takkan pernah berhenti mencari dan mengenali jati dirinya. Karena yang mengenal dirinya, yang mengenal Tuhannya.

Lihat Juga

Data Statistik di Bulan Juni, 3.966 Bayi Baru Lahir di Gaza

Figure
Organization