Arus Globalisasi Perdagangan, Peluang atau Ancaman

Ilustrasi. (blogspot.com)

dakwatuna.com – Serbuan arus globalisasi dunia cepat atau lambat akan merambah ke berbagai sektor kehidupan. Sektor IT (Information Technology) adalah contoh paling real yang menggambarkan bagaimana dasyhatnya serbuan globalisasi itu, dengan munculnya internet dan teknologi WhatsApp, yang telah mengikis sekat-sekat antar negara. Di sektor budaya, fenomena Awkarin dan munculnya budaya hedonisme, permisivisme, liberalisme, serta menjamurnya diskotik dan klub-klub malam, menunjukkan betapa kuatnya arus globalisasi menjerat bangsa Indonesia.

Kini, arus globalisasi itu mulai merambat ke sektor perdagangan. Perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah memberi jalan bagi masuknya entitas perdagangan asing ke tanah air. Belakangan ini, Komisi VI DPR-RI sedang membahas perjanjian ratifikasi perdagangan International, yang diagendakan memasuki tahap persetujuan dalam beberapa pekan ke depan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, pada Pasal 83 disebutkan bahwa pemerintah dalam melakukan perundingan perjanjian perdagangan internasional berkonsultasi dengan DPR.

Ada 6 Perjanjian yang diajukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan RI untuk diratifikasi, yaitu.

  1. Protocol to Amend the Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area.
  2. Agreement on Trade in Services under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and the Republic of India.
  3. ASEAN Medical Device Directive (AMDD).
  4. Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Among the Governments of the Republic of Korea and the ASEAN.
  5. Protocol to Amend the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation and Certain Agreements there under between the ASEAN and the People’s Republic of China.
  6. Protocol to Implement the Ninth Package of Commitments under the ASEAN Framework Agreement on Services

Dampak dari 6 perjanjian ini adalah akan semakin terbukanya pasar Indonesia bagi Negara Anggota ASEAN dan mitra dagang lainnya seperti yang disebutkan dalam 6 perjanjian tersebut yaitu Australia, China, India, dan Korea. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan pertumbuhan ekonominya ditopang oleh konsumsi masyarakat, pasar Indonesia menjadi target bagi produk asing. Di sisi lain, kondisi industri dalam negeri yang diharapkan bisa menembus pasar Internasional, justru sedang mengalami degradasi. Pertumbuhan industri pengolahan non migas pada kuartal I/2016 hanya mencapai 4,46%. Ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2015 yang angkanya sebesar 5,26%. Berdasarkan catatan Kemenperin, pada kuartal I/2016 ada beberapa sektor industri tertekan antara lain sektor farmasi dan Industri kimia. Kondisi tertekan ini disebabkan oleh ketidaksiapan sektor-sektor Industri tersebut menghadapi perubahan arus globalisasi.

Daya saing produk Industri Indonesia juga masih jauh di  bawah Negara-negara ASEAN. Pada tahun 2015 Indeks “Revealed Comparative Advantages” (RCA) melansir daya saing produk Industri Indonesia berada di posisi kelima, di bawah negara-negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Data Kementerian Perindustrian juga menyebutkan angka yang tak jauh berbeda, produk industri Indonesia yang berdaya saing hanya sekitar 22,15%, dibanding Singapura 41,95% dan Thailand 38,78%.

Selain mengancam Industri dalam negeri, perjanjian kerjasama perdagangan internasional juga dapat membahayakan tenaga kerja lokal. Dengan adanya 6 perjanjian kerjasama perdagangan internasional itu, tenaga kerja lokal akan bersaing bebas dengan tenaga kerja asing. Padahal jika kita melihat kondisi tenaga kerja dalam negeri, unskill Labour di Indonesia masih sangat dominan. Data yang dilansir BPS menyebutkan bahwa jumlah angkatan kerja yang sudah bekerja, yang terbanyak adalah berpendidikan SD, yaitu sebesar 27% atau berjumlah 32,4 juta dari total angkatan kerja. Sementara tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2016 mencapai 7,02 juta orang atau sebesar 5,5%.

Di tengah keprihatinan akan persiapan Industri dan tenaga kerja domestik itu, mau tidak mau, sesaat lagi arus globalisasi perdagangan akan menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. TPP, MEA dan Perjanjian Perdagangan International adalah sebuah keniscayaan. Tantangan yang harus dihadapi bersama. Bisa menjadi peluang yang menguntungkan bila dikelola dengan tepat, namun bisa juga menjerat dan menjerumuskan.

Keuntungan bonus demografi yang akan dimiliki Indonesia adalah salah satu peluangnya. Tahun 2020 sampai 2030-an, Indonesia akan mengalami masa transisi ketika jumlah penduduk produktif lebih banyak dibandingkan dengan penduduk yang tidak produktif. Saat ini usia produktif di Indonesia hanya sekitar 44,98% (artinya, lebih banyak penduduk berusia manula dan anak-anak yang menjadi beban bagi Negara dan penduduk berusia produktif tersebut). Namun di tahun 2035, penduduk usia produktif akan melonjak hingga 70% dari 305,6 juta penduduk Indonesia. Bonus demografi ini dapat membawa Indonesia menjadi negara maju jika mayoritas sumber daya manusianya berpendidikan tinggi dan memiliki keterampilan. Di sini perlunya menggenjot dunia pendidikan agar cepat berkiprah dan melahirkan sarjana hingga doktor yang memiliki keahlian memadai.

Kebijakan pemerintah untuk memproteksi Industri dalam negeri menjadi bagian penting yang ditunggu oleh pelaku usaha khususnya Industri Kecil dan Menengah. Salah satu opsi yang direkomendasikan DPR-RI adalah pemantauan dan standarisasi kualitas produk dalam bentuk kebijakan Non-Tariff Barrier. Kebijakan ini merupakan aturan non tarif untuk menghadang serbuan produk asing ke pasar domestik. Penerapan Non-Tariff Barrier ini bisa ditempuh melalui tiga aspek, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI), kemasan dan bahasa. Pemerintah dapat membuat persyaratan khusus yang lebih mudah dipenuhi industri domestik tetapi sulit bagi produk impor. Hal ini sesuai dengan pasal 54 ayat (3) UU Perdagangan No. 7 Tahun 2014, dimana pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan.

Proteksi terhadap tenaga kerja lokal khususnya unskill labour perlu digesa sedini mungkin. Dengan 32,4 juta tenaga kerja Indonesia yang tamatan SD, perlindungan khusus perlu diterapkan melalui kebijakan pemerintah. Tenaga kerja asing yang masuk tidak boleh menempati pekerjaan yang tidak memerlukan skill, sehingga tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tamatan SD tidak kehilangan pekerjaannya karena diambil oleh tenaga kerja asing yang masuk ke tanah air. Kalau ini tidak dilakukan, maka kita akan melihat nanti bahwa tukang sapu di jalanan adalah orang India, office boy di perkantoran orang Korea. Lalu ke mana orang Indonesia? Ternyata menganggur di rumah. Lapangan kerjanya diambil orang asing. (adhi/dakwatuna.com)

Aktifitas saat ini sebagai Direktur Center of Development Studies (CDS) dan Tenaga Ahli DPR-RI. Sarjana Teknik Gas dan Petrokimia, Universitas Indonesia. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...