Topic
Home / Narasi Islam / Sejarah / Mengenal Fiqih Mazhab Zhahiri

Mengenal Fiqih Mazhab Zhahiri

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (inet)
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Mazhab Zhahiri adalah mazhab yang berhaluan zhahir dalam menetapkan hukum. Ibnu Hazm adalah salah satu tokoh utama dalam mazhab ini. Menurutnya, pondasi Islam adalah Alquran, sunah, dan ijmak. Alquran sebagai dalil dalam menetapkan hukum merupakan kesepakatan semua ulama. Dalam sudut pandang mazhab Zhahiri, Alquran berperan menjelaskan hal-hal konkrit-tematis, seperti hukum-hukum nikah, perceraian, kewarisan, dan lain-lain.

Berikutnya, dimaklumi bahwa Alquran dalam perinciannya punya kemusykilan (ta’arudh) dilalah dalam jelas dan samarnya, para ahli hukum Islam-pun berbeda pendapat tentang hal ini. Secara tegas al Zhahiriyah yang diwakili Ibnu Hazm menolak adanya pertentangan sesama nash, beralasan Alquran adalah wahyu ilahi, mustahil ada pertentangan. Pertentangan dalam Alquran berarti mengindikasikan adanya kesemrautan (ikhtilaf), dan ini dianulir oleh Allah SAW dengan firman-Nya, “Afala yatadabbaruna Alquran a wa law kana min ‘indi ghayrillah lawajadu fihi ikhtilafan katsira” Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (An-Nisa: 82). Ibnu Hazm mengakui bahwa penjelasan umum dalam irisan-irisan ayat Alquran adakalanya jelas dan ada kalanya pula samar yang hanya mampu diketahui oleh ahl az dzikr, sebagaimana firman-Nya, “Fas’alu ahl az dzikra in kuntum la ta’lamun” (An-Nahl: 43) Dalam hal ini, Ibnu Hazm menjelaskan adanya kesamaran di dalam Alquran terjelaskan dalam ayat yang lain, dan adakalanya pula tiada terjelaskan sehingga membutuhkan adanya takhshis dengan indikasi masa, adakalanya pula tanpa memerlukan indikasi masa yang disebut naskh sebagai pengecuali keumuman hukum, dengan ini dapat mengatasi perbenturan dalam Alquran.

As-Sunnah

Secara tegas Ibnu Hazm menegaskan, jika seorang muslim telah mengikrarkan bahwa Alquran sebagai sumber dalam segala hal, maka secara otomatis akan didapati di dalamnya perintah untuk menaati Rasul SAW, semua ucapan dan tindakan Nabi SAW pada dasarnya adalah dari Allah S.w.t., sebagaimana firman-Nya, “Wama yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyuy yuha” Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An-Najm : 3-4). Dalam kacamata Ibnu Hazm, as Sunnah sebagai sumber pengambilan hukum kedua dalam Islam terbagi pada dua kategori; wahyu dengan makna dan redaksi dari Allah S.w.t. beserta adanya nuansa i’jaz alias Alquran, dan Wahyu yang tiada seperti demikian, akan tetapi tetap terbaca, yaitu khabar yang datang dari Rasul SAW dengan maksud dari Allah S.w.t.

Disini kita bisa melihat, al Zhahiriyah memandang as Sunnah seperti dan sejajar posisi Alquran, di mana keduanya merupakan wahyu, meskipun berbeda dalam teknisi, kodifikasi, retorik dan i’jaz-nya. Namun yang jelas, ia berperan dalam membantu dan menjelaskan Alquran dalam mendatangkan hukum-hukum yang barang kali tidak tertera secara jelas dalam Alquran. Berpegang teguh pada-Nya adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh pada Alquran, demikian pamungkas al Zhahiriyah cs. terkait hal ini.

Dalam penerimaan as Sunnah sebagai dalil hukum, Ibnu Hazm sedikit mendetilkan bagian ini, dimana ia menerima tanpa syarat redaksi lisan Nabi SAW (aqwal) sebagai dalil hukum tanpa ada keraguan. Namun dalam aktivitas sehari-hari Nabi SAW (af’al), Ibn Hazm memberi batasan (syarat) jika disertai dengan redaksi lisan yang menunjukkan realisasi dari perbuatannya tersebut. Sebagai misal, statement Nabi SAW dalam teknis shalat; “Shallu kama ra’aytumuni ushalli” (Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku shalat), yaitu selain berteori, Nabi SAW juga memberi contoh langsung tentang tata cara shalat. Demikian juga jika didapati indikasi (qarinah) dari perkataan Nabi SAW yang menunjukkan perbuatan, maka indikasi tersebut menjadikan perbuatan dalam makna perkataan, alias dapat dijadikan dalil hukum.

Ibn Hazm merinci lagi dengan membagi As Sunnah kepada dua, sunnah al mutawatirah dan sunnah ahad, yang keduanya memang berbeda dalam kekuatan istidlal. Ibnu Hazm mensyaratkan dalam periwayatan dengan kriteria adil-terpercaya serta mengutamakan kepakaran (faqih), intelektualitas (dhabith) dan senantiasa terjaga memori haditsnya (hafizh) serta menolak hadits dengan sanad tidak bersambung alias mursal. Sunnah al mutawatirah telah menjadi konsensus ulama dalam validitasnya, namun Ibn Hazm memberi catatan kevaliditasan mutawatir tersebut melalui konsensus ulama hadits dan fiqih, bukan yang lain. Sementara itu khabar ahad, di kalangan jumhur dapat digunakan sekaligus perpegangi dalam persoalan akidah dan amaliyah sehari-hari secara bersamaan. Namun Ibn Hazm menolak pendapuat ini. Argumen Ibnu Hazm dalam hal ini adalah pernyataan Nabi SAW ketika mengirim satu orang utusan saja kepada raja-raja di berbagai wilayah, seperti Mu’adz yang diutus ke Yaman, Abu Bakar diutus sebagai pemimpin haji (amir al hajj) dan Ali sebagai qadhi di Yaman. Karena sesungguhnya para sahabat ketika itu, ketika tidak menemukan pemecahan dalam nash Alquran, mereka merujuk hadits Rasul SAW tanpa memperhatikan jumlah periwayat. Satu hal yang cukup mengagetkan, Ibnu Hazm menolak perkataan (pendapat) pribadi sahabat sebagai dalil meski dinisbahkan kepada Rasul SAW. Karena itu jika terdapat perkataan sahabat misalnya; “as sunnah kadzaa” atau “amarana bi kadza”, dll., maka ini tiada diterima sebagai dalil karena hanya berupa perkataan pribadi. Wallah al a’lam

Ijmak

Dalam sumber hukum berikutnya, al Zhahiriyah menempatkan ijma’ sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Alquran dan As Sunnah. Namun ijma’ yang dimaksud oleh al Zhahiriyah disini adalah ijma’-nya para dan dimasa sahabat saja, yang agak berbeda dengan ijma’ versi fuqaha’ lain. Artinya -seperti baru disinggung di atas-, Ibnu Hazm atau tepatnya al Zhahiriyah hanya menerima ijma’ kolektif sahabat, adapun pendapat pribadi sahabat sama sekali tertolak. Karena itu, al Zhahiriyah hanya bersepakat pada ijma’-ijma’ yang sudah pasti seperti wajibnya shalat, puasa, zakat, dll. Namun jika berkaitan hal-hal yang terdapat didalamnya perdebatan tentang ijma’ tidaknya para sahabat, al Zhahiriyah akan selektif yang pada akhirnya akan menolak pendapat pribadi atau kontroversial sahabat.

Istishab

Diakui bahwa al Zhahiri tidak menggunakan ijtihad dan qiyas dalam menggali hukum, maka apa dan bagaimana jika terdapat persoalan yang tidak tertera secara letterer dalam Alquran? Dalam hal ini al Zhahiriyah mengambil jalan ishtishab yaitu suatu anggapan bolehnya segala sesuatu menurut asalnya. Maksudnya, tetapnya suatu hukum yang terbina atas nash hingga ditemukan petunjuk nash dari petunjuk nash lainnya. Al Zhahiriyah memegang prinsip bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah boleh kecuali terdapat indikasi yang melarangnya. Contoh kasus; Air akan tetap suci alias tidak bernajis ketika bercampur kotoran najis, kecuali nyata adanya najis secara materi dengan berubahnya warna dan cita rasa air, namun jika tidak berubah, air tetap suci, terkecuali bila bercampur air kencing manusia dalam air yang tenang (ar rakid) karena ada petunjuk zhahir nash (hadits) terkait. Contoh lain: Berdasar zhahir nash hadits di atas, kencing manusia (bawl al insan) di air tenang adalah menajiskan, karena itu kencing selain manusia di air tersebut, seperti Babi misalnya tidaklah najis, karena zhahir nash tidak melarangnya. Syekh Muhammad Abu Zahrah menyebut hal ini sebagai sangat ganjil dalam fiqih dan fikir, tanpa memberi ruang sedikitpun pada qiyas, ijtihad (akal) dan sebab-hikmah hukum (ta’lil ahkam) dan seolah-olah mematikan kreatifitas istinbath.

Analisis dan Nalar Al-Zhahiriyah dalam mengeluarkan hukum

Ditegaskan, al Zhahiriyah menolak qiyas dan ijtihad dalam menggali hukum, karena itu perlu kiranya disini kita paparkan jalan fikiran (analisis) al Zhahiriyah dalam hal ini. Penolakan terhadap ijtihad dan qiyas dikalangan al Zhahiriyah beralasan sebagai berikut;

  1. Firman Allah S.w.t. surat Al An’am ayat 38; Artinya: “Tiadalah kami alpakan sesuatu pun di dalam al Kitab…”, dan firman Allah S.w.t. surat Al Anfal ayat 20; Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”. Kedua ayat ini membatasi bahwa mashadir syari’at adalah Al-Qur’an, as Sunnah dan ijma’ saja, bukan yang lain.
  2. Hadits Nabi SAW yang melarang menggunakan akal dalam mencari hukum, a.l.;

لا ينزع العلم من صدور الرجال, ولكن ينزع العلم بموت العلماء, فإذا لم يبق عالم اتخذ الناس رؤساء جهالا, فأفتوا بالرأي فضلوا وأضلوا

  1. Perkataan sahabat, seperti perkataan Umar: “ittahamu ra’yakum fi dinikum”, dan “Innama kana al ra’yu min rasulillah SAW mushiban li annallah ‘azza wa jalla kana yarihi, wa innama huwa minna az zhann wa al takalluf”.

Al Zhahiriyah menegaskan, ijtihad (ar ra’yu) yang digemakan fuqaha’ sejatinya adalah qiyas atau maslahah, sementara keduanya tetap berpulang dan bermuara pada Alquran dan ss Sunnah. Menggunakan ijtihad/qiyas atau maslahah sejatinya hanyalah pengingkaran pada nash Alquran dan as Sunnah. Padahal telah jelas, jika kamu berselisih maka merujuklah pada keduanya (Alquran dan As Sunnah).

Al marhum Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf (mantan Guru Besar Islam Fakultas Hukum Universitas Kairo) menuturkan, diantara alasan orang-orang yang menolak qiyas dalam menetapkan hukum beralasan sebagai  berikut;

  • Sesungguhnya qiyas terbangun melalui dugaan saja (zhan) dengan menjadikan ‘illah sebagai patokan. Sama diketahui, sesuatu yang terbangun dari jalan zhan maka hasilnya juga akan zhan, padahal Allah S.w.t. melarang mengikuti sesuatu yang meragukan. Allah S.w.t. berfirman; “Wa la taqfu ma laysa laka bihi ‘ilm” Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-Isra’: 36) Karena itu tidak sah berhukum dengan qiyas karena mengikuti sesuatu yang zhan.
  • Sesungguhnya qiyas terbangun melalui perbedaan pandangan (ikhtilaf anzhar) dalam mencari sebab hukum yang merupakan tempat terjadinya berbagai ikhtilaf dan pertentangan. Sama diketahui hukum syari’at tidak ada pertentangan didalamnya.
  • Berdasarkan ungkapan-ungkapan dari para sahabat yang mengecam penggunaan akal semata dalam mencari hukum.

Namun demikian, ketiga alasan ini ditolak oleh Profesor Abdul Wahab Khallaf dengan alasan bahwa tertolaknya penggunaan dalil zhan adalah dalam persoalan akidah, adapun dalam persoalana ritualitas (amaliyah) kebanyakannya adalah melalui dalil-dalil zhan. Sementara itu dalih melalui pernyataan sahabat dipandang sebagai larangan mengikuti hawa nafsu semata, bukan pengingkaran pada qiyas. (dakwatuna.com/arwin)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Alumni Institute of Arab Research and Studies (Ma‘had al-Buhūts wa ad-Dirāsāt al-‘Arabiyyah) Cairo. Aktifitas saat ini dosen Fakultas Agama Islam UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization