Khutbah Idul Adha 1437 H: Tiga Pelajaran Dari Ibadah Haji

Jamaah Haji sedang melakukan Tawaf (mengelilingi Kabah). (kemenag.go.id)

dakwatuna.com

الحمدُ لله ربِّ العالمين، الحمدُ لله الذي بنعمته تتمُّ الصالحات، وبعَفوِه تُغفَر الذُّنوب والسيِّئات، وبكرَمِه تُقبَل العَطايا والقُربَات، وبلُطفِه تُستَر العُيُوب والزَّلاَّت، الحمدُ لله الذي أماتَ وأحيا، ومنَع وأعطَى، وأرشَدَ وهدى، وأضحَكَ وأبكى؛ ﴿ وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا ﴾ [الإسراء: 111].

الله أكبر، الله أكبر ما لبس الحَجِيج ملابسَ الإحرام، الله أكبر ما رأوا الكعبة فبدَؤُوها بالتحيَّة والسلام، الله أكبر ما استلَمُوا الحجر، وطافُوا بالبيت، وصلُّوا عند المقام، الله أكبر ما اهتدوا بنور القرآن، وفرحوا بهدي الإسلام، الله أكبر ما وقَف الحجيج في صَعِيد عرفات، الله أكبر ما تضرَّعوا في الصفا والمروة بخالص الدعوات، الله أكبر ما غفَر لهم ربهم، وتحمَّل عنهم التَّبعات، الله أكبر ما رموا وحلَقُوا وتحلَّلوا ونحَرُوا، فتمَّت بذلك حجَّة الإسلام، الله أكبر كبيرًا، والحمد لله كثيرًا، وسُبحان الله بُكرةً وأصيلاً.

الحمدُ لله الذي جعَل الأعياد في الإسلام مَصدرًا للهناء والسُّرور، الحمد لله الذي تفضَّل في هذه الأيَّام العشر على كلِّ عبدٍ شَكُور، سبحانه غافِر الذنب وقابِل التَّوب شديد العِقاب.

أما بعد،

Hadirin dan Hadirat, Kaum muslimin dan muslimat, jamaah shalat Idul Adha yang mulia.

Segala puji bagi Allah, Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan padanya penerang dan Bulan yang bercahaya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, yang diutus dengan risalah kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dan menerangi umatnya dengan cahaya keimanan.

Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Rasulullah SAW bagaikan Abu Bakar yang menangis bahagia saat diizinkan untuk menemani Rasulullah SAW dalam berhijrah ke Madinah. Aisyah (RA) berkata, فَرَأَيْت أَبَا بَكْر يَبْكِي , وَمَا كُنْت أَحْسَب أَنَّ أَحَدًا يَبْكِي مِنْ الْفَرَح

Maka, aku melihat Abu Bakar menangis, dan aku tak pernah mengira ada seseorang yang menangis (sedemikian hebatnya) karena bahagia.

Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Rasulullah SAW bagaikan Bilal bin Rabah yang tak mampu lagi kumandangkan adzan setelah kematian Rasulullah SAW, semata karena dia tak mampu lagi mengingat wajah Rasul yang mulia itu. Saat sakaratul maut, istrinya menangis sebab mereka jauh dari para sahabat Nabi di Madinah. Bilal berkata, لاَ تَبْكِي.. غَدًا نَلْقِى الْأَحَبَة.. مُحَمَدََا صلى الله عليه وسلم (Janganlah engkau menangis, dinda, sebab besok aku akan berjumpa dengan (manusia) yang paling kucinta, Muhammad SAW).

Jadikanlah kami penyambung risalah perjuangan Rasulullah SAW hingga tidak ada umat manusia di muka bumi ini yang tidak tahu keagungan pribadinya. Maka, jadikanlah perjuangan kami seperti Iqbal yang berkata,

إنْ كَانَ لِيْ نَغْمُ الْهُنُودِ وَدِنٍهم ***لَكِنْ ذَاْكَ الصَوْتِ مِنْ عَدْنَانِ

Meskipun dalam darahku mengalir keturunan India *** tetapi suaraku adalah penyampai keturunan Adnan (Rasulullah SAW)

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Hadirin dan Hadirat, Kaum muslimin dan muslimat, jamaah shalat Idul Adha yang mulia.

Pada kesempatan khutbah yang singkat ini, izinkanlah saya selaku Khatib memberikan tausiyah, terutama kepada diri sendiri, dan jamaah sekalian untuk selalu berusaha meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Yaitu, melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Selanjutnya, saya ingin memberi judul khutbah singkat ini sebagai, “TIGA PELAJARAN DARI IBADAH HAJI”.

Pelajaran Pertama: Haji Sebagai Bukti Cinta

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Hadirin dan Hadirat, Kaum muslimin dan muslimat, jamaah shalat Idul Adha yang mulia.

Pada pagi ini, saudara-saudara kita yang menunaikan ibadah haji tengah berada di Mina setelah sehari sebelumnya berada di Arafah. Dalam satu hadits, Rasulullah SAW mengatakan, “الحج عرفة” (Haji adalah berwukuf di Arafah). Karena itu, secara fiqih, wukuf di Arafah disebut sebagai rukun haji. Setiap jamaah haji wajib berada di Arafah dalam kondisi apapun. Mereka yang sehat berada di tenda-tenda berdzikir, mereka yang sakit diantar dengan ambulans agar tertunaikan haji mereka.

Prosesi ibadah haji itu sendiri dimulai dari tanggal delapan Dzulhijjah yaitu ketika jamaah haji ber-tarwiyah di Mina. Apa maknya? Tarwiyah bermakna berpikir atau merenung. Dengan demikian, hari Tarwiyah disebut juga hari merenung, berpikir dan memantapkan niat perjalanan.

Seperti kita ketahui, haji adalah napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim yang hendak membuktikan cintanya pada Allah SWT. Pada suatu hari di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih anaknya. Dia lalu merenung, apakah ini perintah Allah? Nabi Ibrahim AS merasa ragu tentang kebenaran mimpinya tersebut. Apakah mimpi itu benar berasal dari Allah sehingga menjadi suatu perintah yang harus dikerjakan, atau hanya berasal dari syaitan untuk mengganggunya. Sampai siang harinya, Nabi Ibrahim terus berpikir dan merenung tentang mimpinya tersebut.

Pada malam tanggal 9 Zulhijjah, Nabi Ibrahim AS kembali mengalami mimpi yang sama, yaitu menyembelih putranya Ismail AS. Mimpi kedua kalinya. Ini mulai menimbulkan keyakinan dalam hati Nabi Ibrahim AS bahwa perintah ini benar berasal dari Allah SWT.

Ini dapat dihubungkan dengan nama hari kesembilan bulan Zulhijjah, yaitu hari Arafah. Arafah bermakna pemahaman atau pengetahuan. Maksudnya, Nabi Ibrahim AS sudah mulai paham tentang kebenaran dan tujuan mimpinya. Akan tetapi, Nabi Ibrahim belum melaksanakan perintah dalam mimpinya tersebut.

Pada malam tanggal 10 Zulhijjah Nabi Ibrahim kembali mengalami mimpi serupa. Oleh karena mimpi ini telah tiga kali terjadi, maka besoknya (siang hari tanggal 10 Zulhijjah) Nabi Ibrahim AS memutuskan untuk melaksanakan mimpi tersebut setelah terlebih dahulu berdiskusi dengan anak dan istrinya.

Ketetapan Nabi Ibrahim AS untuk melaksanakan penyembelihan Ismail AS pada hari itu dapat dihubungkan dengan nama hari tanggal 10 Zulhijjah yang disebut juga dengan hari Nahar. Nahar berarti menyembelih. Sedangkan pada hari 11-12, dan 13 Zulhijjah, Nabi Ibrahim selalu digoda oleh Iblis maka hari itu disebut hari Tasyriq.

Keraguan yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS tersebut dapat dimengerti dan dipahami. Betapa tidak, Nabi Ibrahim AS diperintahkan menyembelih anaknya sendiri, anak yang cukup lama diharapkan kehadirannya. Sekian lama Nabi Ibrahim AS memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak. Akhirnya permohonan Nabi Ibrahim itu dipenuhi dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail.

Sungguh gembira hati Nabi Ibrahim menyambut kehadiran Ismail. Akan tetapi, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Dikala Ismail masih bayi, dia terpaksa dipindahkan bersama ibunya, Siti Hajar, dari Syam ke lembah gersang yang sunyi di Makkah. Maka berpisahlah Nabi Ibrahim AS dengan anak dan istri yang sangat dicintainya. Sampai akhirnya mereka dipertemukan lagi di Makkah ketika Ismail sudah beranjak dewasa.

Pertemuan yang kedua inipun tidak berlangsung lama. Mimpi yang benar dari Allah SWT. yang berisi perintah penyembelihan Ismail harus dilaksanakan. Mana mungkin dia harus menyembelih anaknya sendiri.

Mana mungkin anak yang selama ini hanya dibesarkan oleh jerih payah ibunya yang berjuang sendiri menghidupi dan membesarkan anaknya, lalu tiba-tiba dia datang dan membawa pergi anak tersebut untuk disembelih. Sungguh suatu keadaan dan pilihan yang sangat berat bagi Nabi Ibrahim. Wajar jika dia berpikir, merenung, dan ragu terhadap apa yang sedang dialaminya.

Cobaan yang sama beratnya juga dialami Ismail AS Dia harus menyerahkan lehernya untuk disembelih oleh ayah kandungnya, yang selama proses pertumbuhannya hampir tidak pernah dilihatnya. Dia juga harus meninggalkan ibunda tercinta yang selama ini telah bersusah payah sebatang kara mendidik, merawat dan membesarkannya. Dia belum sempat membalas jasa-jasa ibunya Siti Hajar.

Setelah ayah dan anak itu sepakat untuk melaksanakan penyembelihan, mereka berjalan menuju suatu bukit batu yang kemudian disebut Jabal Qurbati (Bukit Qurban). Dalam perjalanan, iblis menggoda dengan membujuk keduanya agar penyembelihan Ismail tidak dilaksanakan. Nabi Ibrahim AS dan Ismail tidak mau tergoda. Mereka melempar iblis dengan batu kerikil supaya menghentikan godaannya. Akan tatapi iblis tatap mengejar mereka dan kembali membujuk agar niat mereka itu diurungkan. Namun keduanya tatap berbulat tekad untuk melaksanakannya. Kembali mereka mengusir dan melempar iblis tersebut.

Demikianlah peristiwa pelemparan iblis terjadi di tiga tempat. Ketiga tempat itulah yang disebut dengan Jumrah Aqabah, Wustha, dan Ula. Peristiwa besar yang merupakan ujian berat bagi kedua orang Rasul Allah yang amat tabah itu digambarkan Allah dalam Alquran surat Ash-Shaffaat ayat 102-111.

Allah SWT berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (١٠٢)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (١٠٣)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (١٠٤)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ (١٠٦)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ (١٠٨)سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (١٠٩)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١١٠)إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (١١١)

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. 103. tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). 104. dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, 105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 107. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. 108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, 109. (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. 110. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 111. Sesungguhnya ia Termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Inti dari ayat-ayat tersebut adalah kepatuhan Nabi Ibrahim AS kepada Allah dan keikhlasannya menunaikan perintah Allah, walaupun la harus menyembelih anak kesayangannya. Demikian pula Ismail yang dengan sabar dan ikhlas menyerahkan nyawanya sebagai pelaksanaan perintah Allah kepada ayahnya.

Kedua orang tersebut sungguh manusia pilihan yang amat patuh dan taat kepada perintah Allah, walaupun perintah tersebut amat berat. Dalam ujian tersebut mereka lulus dengan sempurna, maka dengan seketika Allah mengganti Ismail dengan seekor hewan korban dan menyatakan bahwa perintah Allah lewat mimpi Ibrahim itu adalah ujian-Nya.

Karenanya Allah memberi balasan yang baik baginya, namanya harum sepanjang masa dan ia menjadi teladan bagi nabi-nabi yang datang sesudahnya. Jejak sejarah yang ditinggalkan oleh keluarga Ibrahim AS di atas kemudian dikukuhkan oleh Nabi Muhammad SAW seperti yang tercermin dalam ibadah haji yang merupakan napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Tidak saja dari segi perbuatannya tetapi juga hari-hari yang dijalani keluarga Ibrahim ini diabadikan dalam Ibadah haji.

Maka, betapa agung cinta Ibrahim. Karena itulah, dia digelari “khalilullah”; kekasih Allah. Sepanjang sejarah, tak ada manusia berani meletakkan golok di leher anaknya semata karena kecintaannya pada Allah.

Pelajaran Kedua: Haji Sebagai Wujud Persatuan Umat

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Hadirin dan Hadirat, Kaum muslimin dan muslimat, jamaah shalat Idul Adha yang mulia.

Pelajaran kedua dari ibadah haji adalah simbol persatuan umat. Pada ini, sekitar dua juta umat manusia berkumpul di Mina. Mereka mengenakan kain ihram yang sama, bersatu dalam gema talbiyah, menyambut seruan Allah SWT. Mereka hadir untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW menapaki perjalanan Abul Anbiya, Ibrahim (AS).

Allah SWT berfirman:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (٢٧)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (٢٨)

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian dari padanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”. (Al-Hajj: 27-28)

Manusia datang dari segala penjuru dunia. Bahkan beberapa hari lalu, telah diberitakan oleh harian Al-Arabiyah dan Gulf News, seorang jamaah haji asal Cina datang menggunakan sepeda. Ia mengayuh sepeda sejauh delapan ribu seratus lima puluh kilometer dari kota kelahirannya di Xinjiang untuk sampai ke kota suci Mekkah al-Mukaramah.

Perjalanan seperti itu tentu terasa sangat berat dan meletihkan, tetapi kecintaan kepada Allah dan menapaki jejak Rasulullah SAW telah membuatnya mampu melewati keletihan, meninggalkan kemalasan dan bersemangat menyambut seruan Allah SWT.

Orang-orang tua kita dulu pun berhaji dengan cara yang hampir tak masuk akal. Berbulan-bulan di tengah laut, diterpa ombak dan badai, ditemani gelombang surut dan pasang, diiringi keheningan malam yang mencekam, mereka bersemangat menuju baitullah al-haram. Dengan bermodalkan perahu layar, mereka arungi laut dan samudera agar bisa sampai ke tanah suci, menatap baitullah, bersimpuh di makam Rasulullah SAW.

Karena itu, haji adalah simbol muktamar umat. Mereka datang dari seluruh penjuru dunia, dengan aneka rupa kulit dan wajah. Mereka bertemu dalam sapaan yang sama: Labaik Allahuma Labaik, labaika la syarika labaik.

Karena itu pula, ibadah haji merupakan simbol dan lambang pemersatu umat yang sangat ideal di tengah persatuan umat yang semakin rapuh dan pudar sekarang ini. Umat sangat mudah dipecah belah dengan pancingan ekonomi, politik dan sosial. Terasa bahwa umat harus kembali memahami eksistensi dan jati diri mereka.

Inilah momentum yang tepat untuk menata kembali persatuan dan kesatuan yang seharusnya dimiliki umat ini. Yaitu, dimulai dari wahdatul akidah (kesatuan ideologi), wahdatul harakah (kesatuan gerak dan aktivitas), wahdatus syiar (kesatuan syiar) dan wahdatul ghayah (kesatuan cita-cita dan tujuan). Betapa perjalanan ibadah haji banyak memberi pelajaran bagi cita-cita kesatuan umat.

Seperti dikemukakan di awal khutbah, puncak dari prosesi haji adalah wukuf di Arafah. Di sinilah setiap jamaah akan lebih merasakan kesatuan hati dengan sesama jamaah. Mereka bersama-sama bersujud, berzikir, memuji Allah dan mengagungkan-Nya. Mereka saling mendoakan di antara mereka untuk kebaikan dunia dan akhirat seluruh orang yang beriman. Mereka diingatkan akan kesejatian dirinya dan akhir dari perjalanan hidupnya. Begitulah nantinya mereka akan dikumpulkan dan mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka kerjakan selama hidup mereka.

Oleh karena itu, dalam hadits Rasulullah saw bersabda tentang pentingnya kebersamaan dan persatuan antar sesama yang akan menjadi media meraih ampunan Allah swt. Sebaliknya pertikaian merupakan penghambat ampunan Allah swt:

تفتح أبواب الجنة يوم الإثنين والخميس فيغفر الله لمن شاء من عباده لا يشرك به شيئا. إلا عبدان بيهما شحناء, فقال الله لملائكته: أنظروا حتى يصطلحا أنظروا حتى يصطلحا أنظروا حتى يصطلحا

“Dibuka pintu-pintu surga setiap hari Senin dan kamis, maka Allah memberi ampunan kepada siapa yang dikehendaki-Nya selama tidak berbuat syirik. Melainkan dua orang hamba yang masih ada pertikaian di antara keduanya. Allah berfirman kepada malaikat-Nya: “Tangguhkan ampunan-Ku untuk keduanya hingga keduanya berbaikan, tangguhkan ampunan untuk keduanya hingga keduanya berdamai, tangguhkan ampunan-Ku untuk keduanya hingga keduanya berdamai”. (HR. Thabrani)

Seharusnya, umat ini adalah satu kesatuan yang tidak boleh bercerai berai. Mereka bagaikan bangunan yang kokoh. Bagian yang satu saling menguatkan bagian yang lain. Semen, bata, pasir, air dan besi merupakan kesatuan unsur perekat bangunan. Unsur yang menguatkan dan mengokohkan bangunan tersebut bila bersatu dalam satu kesatuan. Oleh karenanya, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ. رواه البخاري

Dari Abu Burdah bin Abdullah bin Abu Burdah, dari kakeknya, dari Abu Musa ra, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan yang satu sama yang lain saling menguatkan. Dan beliau mengeratkan jari jemarinya. (HR Bukhari)

Umat ini juga digambarkan oleh Rasulullah SAW seperti satu tubuh. Setiap organ tubuh saling memerlukan dan saling sinergi dalam satu kesatuan yang sempurna. Baik dalam suka maupun duka. Di saat salah satu organ tubuh kita ada yang sakit, pasti akan berpengaruh pada organ tubuh yang lain. Bila gigi kita ada yang sakit, maka akan berpengaruh pada saraf mata, selera makan turun dan kenyamanan tidur terganggu. Akan tetapi seluruh organ tubuh saling memahami dan ikut larut dalam rasa duka dan sakit.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى. رواه مسلم

“Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan mereka, kasih mengasihi di antara mereka dan saling tolong menolong seperti jasad. Apabila satu organ merasa sakit maka berpengaruh terhadap seluruh jasad dengan jaga (tidak bisa tidur) dan panas”. (HR Imam Muslim)

Inilah fenomena persatuan dunia Islam dalam bingkai ibadah. Dan yang seharusnya bisa dipraktikkan dalam kehidupan umat Islam. Haji yang merupakan ibadah yang menitik beratkan unsur maaliyah (harta) dan jasadiyah (fisik) harus menjadi inspirasi umat ini untuk membangun jaringan di antara mereka yang menuju terbentuknya “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur” sehingga melahirkan “al-khilafah ala Minhajin Nubuwah”.

Pelajaran Ketiga: Haji Sebagai Peringatan Usia

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Hadirin dan Hadirat, Kaum muslimin dan muslimat, jamaah shalat Idul Adha yang mulia.

Dalam sejarah hidupnya, Rasulullah SAW menunaikan ibadah haji hanya satu kali. Haji yang HANYA sekali itu kemudian disebut oleh para ahli sejarah sebagai “Haji Wada'” (Haji Perpisahan). Mengapa? sebab setelah pelaksanaan haji itu, Rasulullah SAW tidak berhaji lagi. Karena itu, haji seakan ibadah paling puncak dalam perjalanan hidup seseorang. Ia menjadi pengingat tentang perjalanan umur dan kematian. Bahkan, ketika Rasulullah SAW berkhutbah di Arafah saat haji itu, Beliau (SAW) memulai khutbahnya dengan mengatakan:

أيها الناس, اسمعوا مني أبيّن لكم, فاني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا في موقفي هذا.

“Wahai manusia, dengarkanlah akan aku jelaskan pada kalian (tentang hal penting). Maka, sesungguhnya aku tidak tahu bahwa kemungkinan besar aku tidak akan berjumpa dengan kalian setelah tahun ini di tempat ini”.

Setelah Rasulullah SAW selesai menyampaikan khutbahnya, Allah swt menurunkan ayat al-Quran terakhir, “pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu…” (QS Al-Maidah: 3). Mendengar ayat ini turun, Abu Bakar menangis. Umar bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, tidak ada lagi setelah kesempurnaan, kecuali semua akan berakhir.”

Untuk itulah, para ulama terdahulu, dalam upayanya merenungi perjalanan usia kita di dunia ini, mengatakan shalat lima waktu adalah “neraca harian” kita. Shalat Jum’at merupakan “neraca pekanan” kita, puasa di bulan Ramadhan menjadi semacam “neraca tahunan”, dan ibadah haji adalah “neraca usia” kita.

Secara umum, seseorang baru menunaikan ibadah haji setelah berusia di atas empat puluh tahun. Maka, jika kita merujuk kepada usia Rasulullah SAW, usia seorang anak manusia itu telah lebih banyak yang ia gunakan dibandingkan sisa usia yang dimilikinya.

Setidaknya, ada tiga hal yang harus kita perhatikan agar kita dapat memanfaatkan usia kita dengan sebaik-baiknya.

Pertama, Sadarkan diri kita semua bahwa umur sangat cepat berlalu. Ia berlari meninggalkan kita melebihi kemampuan kita untuk mengejarnya. Perhatikanlah, rasanya baru kemarin berhari raya Idul Fitri, tetapi kini kita telah berada di hari raya Idul Adha. Baru kemarin, rasanya, kita duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), bermain-main petak umpat dengan teman sebangku, bercengkerama dengan teman sekelas dan bersenda gurau di bangku kuliah. Kini kita telah di sini, di kesenjaan usia kita, sebagian telah merayakan reuni alumni yang keempat puluh, sebagian lain telah bermenantu, beranak cucu, dan sebagian lain sudah sulit menemukan rambut hitam di kepalanya sendiri. Waktu laksana angin, ia berembus cepat baik saat kita senang ataupun susah. Jika ada yang beranggapan, ketika sedang bergembira waktu berlalu begitu cepat dan saat susah waktu terasa enggan beringsut, sesungguhnya hal itu hanyalah perasaan seseorang. Sebab, keadaan sebenarnya sama saja: Ia berputar sama cepatnya, baik saat kita senang ataupun susah. Dan, manakala maut datang menjemput, masa-masa yang panjang yang pernah dilalui seseorang hanyalah merupakan bilangan masa pendek yang berlalu bagaikan kilat.

Dikisahkan, ketika Nabi Nuh (Alaihi Salam), seorang rasul yang berusia sembilan ratus lima puluh tahun, hendak dicabut nyawanya oleh malaikat, malaikat bertanya, “Wahai Nuh yang memiliki umur terpanjang, bagaimana kamu mendapati kehidupan dunia ini.” Nuh menjawab, “Dunia ini laksana rumah yang memiliki dua pintu, saya masuk dari pintu yang satu dan segera keluar dari pintu yang lain.”

Terlepas dari otentik atau tidaknya cerita tersebut, namun ada satu hal yang menjadi pelajaran bagi kita: Bahwa Nuh yang berusia sangat panjang, ternyata mendapati kehidupan dunia hanya sebentar saat ajal datang menjelang. Maha Benar Allah swt, saat Dia berfirman,

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا (٤٦)

“Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) yaitu di waktu sore atau di waktu pagi”. (QS: An-Nazi’at: 46)

Kedua: Umur yang telah berlalu tak akan pernah kembali. Setiap detik yang bergeser dari jam tangan kita telah menjadi sesuatu yang lampau. Ia pergi dan kita masih di sini, dengan sejuta persoalan yang membelenggu diri kita. Seorang penyair sufi berkata,

ما من يوم ينشق فجره، إلا وينادى: يا ابن آدم أنا خلق جديد، وعلى عملك شهيد، فتزود مني، فإني إذا مضيت لا أعود إلى يوم القيامة‘

Tidaklah fajar hari ini terbit, kecuali ia akan memanggil, “Wahai anak Adam, aku adalah ciptaan yang baru dan aku akan menjadi saksi atas setiap pekerjaanmu, maka mintalah bekal kepadaku. Karena bila aku telah berlalu, aku tak akan kembali hingga hari kiamat tiba.”

Untuk itulah, sering kita dapati orang yang meratapi masa mudanya saat ia telah berusia renta, lanjut dimakan zaman, rapuh dikikis angan-angan. Ketahuilah! Seandainya masa muda itu dapat kembali sehari saja. Niscaya akan kuberitahukan kepadanya apa yang telah dikerjakan oleh seorang yang renta ini. Seorang penyair sufi lain berkata,

وما المرء إلا راكب ظهر عمره *** على سفر يطويه باليوم والشهر

يبيت ويضحى كل يوم وليلة *** بعيداً عن الدنيا قريباً من القبر

“Seseorang hanyalah pengendara di atas pundak usianya *** Berkelana mengikuti hari dan bulan. | Ia berjuang dan rehat di siang dan malam *** Semakin jauh dari dunia, semakin dekat ia dengan pusara”

Ketiga: Umur adalah “harta” termahal yang dimiliki manusia. Ia lebih mahal dari harta apapun di dunia ini. Andai kita memiliki sekarung emas, nilainya tetap tak sebanding dengan umur. Sebab, seandainya emas yang kita miliki dicuri orang, kita masih bisa mencari sekarung yang lainnya. Namun, satu detik saja dari umur kita berlalu, ia telah menjadi cerita masa lalu.

يا أَبَّن آدَم إنَمَا أنت أيأَمْ .. إذا ذَهَبَ يَوْمك ذَهَبَ بَعْضك

Wahai anak Adam, sesungguhnya kalian hanyalah sekumpulan dari hari-hari. Setiap kali hari berlalu, akan berlalu pula sebagian dari umurmu.

Orang yang tak kunjung mengerti harta termahal ini, pada suatu saat ia pasti akan menyesalinya. Namun, sesal kemudian tak berguna. Hal demikian digambarkan Allah SWT pada peristiwa-peristiwa berikut ini:

Pertama: Tatkala seorang menghadapi sakaratul maut, detik-detik menuju gerbang kehidupan abadi di sisi Allah, seorang yang lengah dengan waktu akan berharap kematiannya ditangguhkan. Tapi semua sia-sia. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (٩)وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ (١٠)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, “Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih”. (QS Al-Munafiqun: 9-10)

Kedua: Tatkala manusia dibangkitkan dari kubur. Kepadanya segera dipertontonkan amal-amalnya di dunia. Mereka yang menggunakan waktu dengan baik, menjaga setiap detik dengan keimanan, keshalihan dan ketaatan segera memasuki pintu surga. Sementara, mereka yang melalaikan usia dunianya, sibuk dengan maksiat, berlomba dalam korupsi, tak pernah puasa di bulan Ramadhan, tak pernah membasuh mukanya dengan air wudhu, tak pernah shalat kecuali Shalat Jum’at, mereka segera memasuki neraka. Saat itulah mereka berharap kalau-kalau dapat diizinkan mudik ke dunia. Tetapi pintu sudah tertutup. Allah swt berfirman,

وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا كَذَلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ (٣٦) وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ (٣٧)

“Dan orang-orang kafir, bagi mereka neraka jahanam; mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. )(Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan.” Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir. Dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolongpun.” (QS Fathir: 36-37)

Mengingat sedemikian pentingnya perjalanan usia kita, tak ada kata lain bagi kita untuk segera bangkit, mengoptimalkan setiap detik yang berlalu dalam kebajikan. Setiap pekan yang kita lalui semoga menjadi titik penyempurnaan untuk mengoptimalkan sisa-sisa usia yang kita miliki sebelum nama kita terukir dalam sebuah batu nisan.

أَقُوْلُ هَذَا القَوْلَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

(dakwatuna.com/hdn)

Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: inayat4@yahoo.com Salam Inayatullah Hasyim
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...