Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Hidayah dari Ujian

Hidayah dari Ujian

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (grandstrandvacations.com)
Ilustrasi (grandstrandvacations.com)

dakwatuna.com – Sore ini hujan menyambut saat kelas terakhir selesai. Aku dan Alin mengurungkan niat untuk cepat kembali ke kos.“Ke Masjid ajalah, sekalian nunggu maghrib” Alin menyeret lenganku. Melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 17.23, aku tak menolak, meskipun malas sekali berjalan menerjang hujan. Lumayan deras pula hujan sore ini.

Kami duduk di spot favorit, bagian belakang, berbincang kecil soal materi kuliah hari ini. Lalu, aku melihat Sarah, teman kami satu jurusan, sedang shalat. “Eh, Lin, emang udah maghrib?” aku menyikut. “Belum ah, masih setengah jam lagi” Alin menimpali. Asar? Terlalu telat menurutku. “Sarah, shalat apaan lu? Maghrib mah beloman” sontak aku berseru ketika dia selesai. “Ashar lah, baru kelar nugas neh” sarah menjawab sambil lalu, tidak sadar bagaimana reaksi kami. “Ampun deh, ada gitu nugas lebih penting dari shalat?” cibirku spontan. Alin cuman tertawa mendengar ocehanku. “Mai, sini aku certain sesuatu. Waktu habis lulus SMP…..”. dengan seksama aku mendengar ceritanya.

***

Aku masih duduk diam di mobil. Masih ada perasaan tak yakin untuk turun.  “Kak, ayo” si mamah yang sudah di luar membuka pintu, mengajak turun. Aku masih diam, mengikuti mama masuk ke gedung, menuju kantor pendaftaran.

Oh ini namanya pesantren, batinku. Kuyakinkan, saat itu aku sama sekali tidak punya gambaran apapun tentang sebuah tempat bernama pesantren. Aku lulusan SMP Negeri favorit di kota asalku. Aku murid pintar, duduk di kelas internasioanal, cantik, dan populer. Memang Alin SMP adalah anak yang banyak dilirik siswa. Pacar? Hal mudah. Pergaulanku juga luas, pokoknya serba kekinian saat itu. Orangtuaku loyal, uang jajan bukan masalah bagiku. Tapi, aku tak bisa mengaji. Shalatku dapat dihitung jari. Jilbab? Apalah itu hanya selembar kain yang aku ogah memakainya.

“Dulu tuh ya kalau hari Jumat wajib pake jilbab, sampe dikejar-kejar guru BP juga gue gak mau pakai” jelasku pada Mai yang semakin jelas ekspresi tidak percayanya.

Mungkin memang pantas Mai terkaget seperti itu. Aku yang mengingatnya pun geleng-geleng sendiri. Aku yang sekarang berjilbab sampai siku, dulu diwajibkan berjilbab pun tak mau menyentuh. Dulu, saat di pesantrean istilah juz 2 kutafsirkan sebagai Alquran halaman 2, sekarang bisa berkesempatan menghafal sampai juz 15. Dulu yang menghitung shalat dengan jari pun bisa sekarang sesekali bahkan menjalani shalat-shalat sunnah. “Gara-gara pesantren ya?” tebak Mai. Aku menggeleng.

Bukan, memang bukan karena aku masuk pesantren. Tapi jauh sebelumnya ada peristiwa yang akhirnya membawa keputusan kami sekeluarga melanjutkan pendidikanku ke pesantren.

Ketika menginjak akhir masa SMP, mama sakit. Bukan sakit kebanyakan. Mama sakit jiwa. Iya, jiwa. Mama berkelakuan di luar normal. Aku pernah melihatnya keluar lewat jendela pada jam 3 dini hari. Mama pun tak betah di rumah. Setiap ada kesempatan, mama selalu pergi dengan mobil. Sampai suatu hari akhirnya papa memutuskan menjual mobil mama, agar tidak lagi sembarangan keluar. Yang terjadi? Semakin parah. Mama berkelakuan semakin liar, kabur lewat jendela, sampai ketauan menginap di rumah tetangga jauh. Setiap hari orang tuaku ribut hebat. Papa pernah sampai mengunciku di kamar, agar tidak keluar dan melihat. Percuma, aku sudah paham. Saat-saat itu aku akui di mana tiada hari aku tidak menangis. Aku tak betah di rumah. Aku tidak tahu harus menumpahkan kesedihan pada siapa.

Sampai pada puncaknya, mama dijemput pihak rumah sakit jiwa. Itulah keputusan akhir papa, yang berharap kesembuhan mama. Kami sama sekali tidak tahu apa penyebabnya. Masih tergambar jelas bagaimana aku menjenguk mama, melihatnya dari celah kecil di pintu bangsal kamar RSJ. Masih teringat jelas bagaimana mama menyangkal bahwa dirinya gila.

Sampai suatu ketika, papa datang pada seorang ulama, yang menjelaskan bahwa mamaku tidak mengalami gangguan jiwa karena penyakit, tetapi karena diguna-guna. Ada jin yang merasuki dan mengganggunya selama ini. Jin kiriman orang lain. Entahlah, apa maksud tujuannya saat itu. Mengingatnya saat ini membangkitkan emosiku, bagaimana perbuatan orang tersebut merusak kehidupan kami saat itu.

Penjelasan sang ulama lah yang membuat kami sekeluarga sadar, bahwa kami sudah terlalu jauh dari Allah. Terlalu jauh dari agama, sehingga sama sekali tidak memiliki perbekalan agama mumpuni, yang bisa melindungi kamu dari hal-hal seperti itu.

Di sanalah titik balik hidupku, keluargaku. Kami perlahan bertaubat, mendekatkan diri pada Allah, memahami kembali ilmu agama. Kami bukan hanya tak ingin lagi kejadian sama terulang, tetapi lebih takut jika sama sekali dibiarkan Allah dalam kesesatan sampai akhir.

Akhirnya jenjang SMA kulanjutkan di pesantren. Sekali lagi, bukan hal mudah bagiku, yang tak mengerti satu huruf hijaiyah pun, yang shalat masih harus dibimbing. Di pesantrenlah perjuangan bagi diriku untuk berubah. Masih ingat hari-hari dimana aku menangis karena tak bisa baca Alquran, menangis setiap kali shalat dan berdoa. Menangis mengingat keluarga, dan apa yang aku lakukan dulu.

Allah adalah dzat yang Maha Memudahkan. Setelah tahun pertama ku yang sulit, tahun-tahun berikutnya dimudahan. Prestasiku naik pesat. Mengaji? Aku bahkan menjadi mentor bagi adik kelasku. Bonusnya adalah, hafalan Alquran yang mudah. Beasiswa pun selalu mudah ku dapat. Sampai saat ini, apa yang dialami mama dan kami sekeluarga adalah hal yang tak bisa kulupakan. Bagaimana hidayahnya menyentuh kami, bagaimana kemudahanNya menyapa setelah kesulitan-kesulitan yang lalu.

Janji Allah adalah tepat. Tak ada yang bisa menyesatkan seseorang apabila telah disentuh hidayah-Nya, aka nada kemudahan setelah sabar melalui kesulitan.

***

Aku diam. Benar-benar untuk pertama kalinya Alin mengungkapkan kisah hidupnya. Aku, yang sejak kecil sudah terbiasa berjilbab, sudah belajar Alquran, dimarahi ketika tidak shalat, tak bisa berhenti bersyukur bagaimana Allah telah menjaga kehidupan keluargaku, dipahami agama. Bagaimana aku tidak pernah berada di lingkungan yang jauh dariNya. Seseorang yang dikehendaki kebaikan adalah ia yang dipahamkan ilmu agama.

“Gak percaya,Lin, kamu yang penyemangat saat lagi males ngaji, yang paling galak kalau udah ngingetin shalat dulunya begitu. Aku yang dari dulu sudah terbiiasa jadi lalai, dan kurang bersyukur.” Kataku lirih, menanggapi kisahnya.

“Yah, Mai, gak ada yang tahu bakal jadi apa hidup seseorang. Yang terlihatnya tidak alim, siapa yang tahu dia akan berakhir lebih baik dari kita-kita yang sekarang merasa paham dan mengamalkan agama. Jadi, jangan deh kita menilai orang terhadap apa yang dilakukannya saat ini. Hidup di dunia kan proses, hasilnya nanti di akhirat. Kalau ada yang jelek, tugas kita kan saling mengingatkan?”

Aku mengangguk-angguk menyetujui ceramah kecil Alin. Aku beristighfar untuk cibiranku pada Sarah tadi. Mulai saat ini aku berniat saling mengingatkan dan berintropeksi diri lebih banyak lagi. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi jurusan akuntansi Islam, STEI Tazkia.

Lihat Juga

Ujian yang Datang Beruntun Tanpa Henti, Mungkinkah Azab?

Figure
Organization