Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Belajar dari Para Petani

Belajar dari Para Petani

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Banyak petani yang beralih ke profesi lain yang lebih menjanjikan. (satelitpost.co)
Banyak petani yang beralih ke profesi lain yang lebih menjanjikan. (satelitpost.co)

dakwatuna.com – Akhir-akhir ini, kondisi iklim kita tidak menentu. Bulan-bulan seperti saat ini, biasanya sudah berada pada musim kemarau, mungkin terik-teriknya. Di saat matahari mulai bergeser ke sisi selatan khatulistiwa. Kini berbeda, musim hujan masih berada diujung masanya. Sesekali kita masih menjumpai hujan di pagi hari atau bahkan di siang hari dan udara dingin terkadang masih menyelimuti malam-malam kita.

Satu sisi hal ini menjadi berkah bagi petani, karena memperpanjang masa bertani mereka, terutama yang bersawah tadah hujan. Yang biasanya hanya bisa panen setahun 2 kali, kini bisa 3 kali. Alhamdulillah. Namun disisi lain, muncul kekhawatiran akan datangnya kemarau panjang yang siap mengancam kehidupan mereka dan mengeruk persediaan makanan mereka.

Berdasarkan pengalaman, hal demikian memang telah beberapa kali terjadi. Ketika para petani harus menunda panen atau bahkan tidak dapat bercocok tanam karena tak adanya air untuk mengairi persawahan mereka. Faktanya, mereka mampu melewati itu semua dengan baik. Di beberapa daerah memang akan kita jumpai bagaimana kekeringan yang berkepanjangan menimbulkan krisis yang luar biasa, namun dari sini saya belajar hal yang sangat berharga dari para petani, bersabar dan menerima.

Bersabar dan menerima atas apa yang Allah karuniakan kepada mereka. Hasil panen yang tak menentu karena hama yang menyerang dengan ganasnya, tak menjadi penyebab mereka mendemo Tuhan yang mendatangkan hama itu dan mereka mengutuk alam. Mereka bahkan mengambil sisi positifnya, bahwa mereka kurang dalam memperhatikan nutrisi atau memberikan penanganan kepada tanaman mereka. Bahwa mereka menanam dalam waktu yang salah, dan seterusnya. Bukan menyalahkan dan marah kepada Allah atas sedikitnya nikmat yang mereka terima, mungkin ada yang menggerutu namun sebatas di bibir mereka saja.

Hasil panen yang menurun karena jumlah pasokan air yang menurun juga tak menyebabkan mereka mendemo Tuhan yang tidak menurunkan hujan dalam jumlah yang cukup, layaknya para buruh yang menghendaki bayaran yang cukup. Atau penuntut agar BBM tak dinaikkan lagi harganya. Mereka juga tak mengutuk pemerintah yang tak peduli dengan pertanian, mereka yakin bahwa yang mereka usahakanlah yang akan kembali kepada mereka. Mereka yakin, bahwa berapa pun yang mereka dapatkan, mereka akan merasa cukup dengan itu semua. Entah itu cukup dalam artian sebenarnya atau “dicukup-cukupkan”.

Mereka adalah orang yang gigih, mengatur irigasi mereka sendiri ketika orang-orang di atas mereka tak ada perhatian ke sana. Kurangnya, mungkin memang bentuk kesyukuran mereka, tapi itu tak seberapa.

Petani tak serendah para penjahat berdasi, karena mereka sangat berhati-hati dengan apa yang mereka berikan bagi anak dan istri. Tak rela jika yang diberikan bukanlah hasil keringat mereka sendiri, meskipun itu sedikit dan tak selezat kudapan para menteri. Karena bagi petani, makan beralaskan daun jati lebih nikmat dari pada makan daging rasa pupuk hasil korupsi.

Namun petani tetaplah petani. Mereka sang penjaga kearifan bangsa agraris ini, yang posisinya tak diinginkan oleh kebanyakan orang. Coba tanyakan pada anak muda di sekelilingmu, adakah yang hendak menjadi petani? Hampir dipastikan tak ada, bahkan mereka yang sejak kecilnya merasakan indahnya menjadi putra seorang petani. Gemerlap kehidupan berdasi menyilaukan kebanyakan orang dan meninggalkan kearifan petani yang menjunjung tinggi kerja keras, pemahaman proses kehidupan yang panjang, dan indahnya bersenandung dengan alam.

Petani tetaplah petani, yang selalu terpinggirkan dan dianggap sebelah mata. Penyokong tegaknya perut-perut pejuang negeri, penyuplai energi bagi pegiat bangsa ini seperti orang yang terlupakan. Dan di sinilah lagi-lagi pelajaran itu diperoleh, bahwa dari petani saya belajar untuk tidak menuhankan pujian dan tetap rendah hati meskipun jasa kita besar bagi orang lain. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa ITS Surabaya. Peserta PPSDMS Nurul Fikri Angkatan VII (2014-2016).

Lihat Juga

Program Polisi Pi Ajar Sekolah, Pengabdian Polisi Jadi Guru SD dan TK

Figure
Organization