Pekerjaan Utama Dosen

Ilustrasi. (Fadh Ahmad Arifan)

dakwatuna.com – Menjadi Dosen, mendengar profesi tersebut tentu enak didengar dan jadi kebanggaan tersendiri, khususnya bagi orang tua dan mertua. Saya yakin, orang tua dan mertua lebih bangga dan antusias bercerita kepada sanak family dan koleganya. “Alhamdulillah anakku sudah jadi dosen di Perguruan tinggi”, begitu kata mertua kawan saya di Jember. Adik saya, Rafidah Mia Andina pernah mengutarakan cita-citanya sebagai dosen di Universitas Brawijaya. Ia bertanya kepada saya, ”Kerjanya dosen ngapain saja mas?”

Jawaban ala kadarnya muncul dari kawan yang menjadi dosen di Jambi, “Cuma nyuruh mahasiswa menulis makalah, presentasi dan kita menambahi sepatah dua kata di akhir perkuliahan.” Ada pula yang jawabnya sesuai UU No 14 tahun 2005 tentang dosen dan PP tahun 2009 tentang dosen. “Semaksimal mungkin menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi”. Begitu yang pernah ku dengar dari dosen di kampus berslogan “World Class University”.

Padahal sejatinya Pekerjaan utama dosen adalah mentransformasikan pengetahuan. Untuk mewujudkan hal itu, Guru besar di UMM Malang, Prof Dr Syamsul Arifin pernah berpesan, di dalam diri seorang dosen harus ada 2 kemampuan : Komunikasi verbal dan literasi (budaya baca yang tinggi).

Kemampuan verbal hanya butuh pembiasaan dan bisa mengikuti kursus/training retorika. Bila sudah menguasai kemampuan verbal, maka perkuliahan di kelas akan hidup dan tidak terasa membosankan. Tentang kemampuan literasi, bisa diketahui dari apakah dosen tersebut lebih banyak bawa buku atau pegang gadget? Seorang kawan usai diterima jadi dosen PTN islam pernah bercerita bahwa budaya literasi koleganya rendah. Jangankan buku, majalah maupun koran pun jarang dibaca. Dosennya saja begitu, apalagi mahasiswanya. Anak didik sekarang yang dipegang hanya gadget untuk keperluan selfie dan sebungkus rokok.

Selanjutnya, berapa kali ia pergi ke perpustakaan dalam seminggu? Berapa jumlah buku yang ia beli dalam sebulan? Sebagian orang setelah menjadi dosen dan meraih jenjang doktor, malas beli buku dan pergi ke perpustakaan. Kalau nongkrong ke warung sambil merokok berjam-jam, mereka tidak keberatan.

Dengan rutin membaca buku dan jurnal, biasanya membuat seorang dosen tergerak berkarya. Tergerak mengajak anak didiknya untuk melakukan riset bersama-sama. Tergerak untuk mempresentasikan hasil risetnya diberbagai konferensi dan simposium. Faktor utama yang menghambat dosen dalam berkarya adalah urusan birokrasi dan beban mengajar yang terlalu banyak. Ini pernah diakui salah satu dosen UIN saat menjadi Pembantu rektor III. Birokrasi memang membuat dosen serba repot.  “Tak heran bila sementara ini banyak dosen yg mengalami impotensi kecendekiaan lantaran asupan gizi intelektual dalam bentuk penelitian dan kekaryaan lain dibatasi aturan-aturan administratif dan teknis

” tulis Fathorrahman Ghufron, Dosen Sosiologi UIN Yogyakarta di harian Jawapos edisi 25 Mei 2016.

Ada baiknya seseorang bila mau menjadi dosen, belajar kepada para pengajar di kampus al-Azhar di Kairo-Mesir. Belajar tentang produktifitas mereka dalam berkarya. Mengapa ulama sekaligus dosen al-Azhar  sangat produktif padahal di perkuliahan strata satu (S-1) tidak ada skripsi, jarang ada tugas penelitian? Kuncinya di kesadaran keilmuan. Kalau menyimak pengalaman teman-teman yang mencari ilmu di kampus tertua no 3 di dunia, di sana dibangun hubungan spiritual antara ilmu, murid dan guru. Terlihat seorang Quraish shihab yang bisa berdiskusi serta tanya jawab di dalam bus dengan Prof Abdul Halim Mahmud (doktoral di bidang ilmu tasawuf dari Universitas Sorbonne, Paris). Dari diskusi tiap hari tersebut, menghasilkan buku berjudul “Logika agama : kedudukan wahyu dan batas batas akal dalam Islam”.

Dosen di al-Azhar tak pelit meminjamkan kitab-kitabnya dan memberi kisi-kisi materi ujian (tahdid). Dosen di sana juga bisa jadi tempat mencurahkan problem pribadi layaknya psikiater. Seperti yang diceritakan Agan Irham dalam blog pribadinya, dosen al-Azhar sering memanggil mahasiswanya dengan istilah “ibni” (anakku). Saat ujian lisan, sang dosen mengajak ngobrol dan mengatakan “ma takhafsy, undzurni ka abik, anta ibni, ana abuk..” (jangan grogi, anggap saja aku ini ayahmu. Kamu anakku, dan aku ayahmu..) sambil tersenyum.

Selain kemampuan verbal dan literasi, pekerjaan lain dari seorang dosen adalah menjaga adab. Baik dirinya sendiri dan sebisa mungkin adab mahasiswanya. Apalah arti bertitel magister, doktor hingga professor bila ia abai tentang adab? Dosen yang tidak beradab, akan seenaknya mengajar di kelas, membiarkan mahasiswanya menyontek, memanipulasi dana penelitian, suatu saat bisa mencuri karya ilmiah mahasiswanya bahkan berani mengajak tidur mahasiswinya. Wallahu’allam. (dakwatuna.com/hdn)

Alumni Jurusan Studi Ilmu Agama Islam di Pascasarjana UIN Malang. Pasca lulus, pada 2013-2015 menjadi Dosen tetap di STAI al-Yasini, Pasuruan. Sejak Februari 2015, menjadi Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di MTs-MA Muhammadiyah 2 kota Malang. Telah mengunggah lebih dari 50 karangan populer dan ilmiah, terutama di bidang Pemikiran Islam, Filsafat, Tasawuf dan Politik. Artikel terbaru berjudul 'Para Penguasa Suriah Dalam Catatan Sejarah' dimuat di Majalah Tabligh bulan April 2018
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...