Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Pelabelan yang Merugikan

Pelabelan yang Merugikan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Saling melabel… Ini ‘sunni jumud’, itu ‘wahabi sesat’, si fulan ‘sufi menyeleweng’, dia ‘MD’, beliau ‘NU’ si fulan ‘teroris khawarij’ dan si fulan pula ‘salafi mazum’.

Pelabelan ini mengelirukan, merugikan… Bayangkan seorang yang baru berjinak-jinak hendak berdzikir, tiba-tiba diterangkan dengan “dzikir semacam itu bid’ah”. Renungkan pula… Bagaimana pula seorang yang selama ini belajar tauhid secara pendekatan Tauhid Rububiyah dan Uluhiyyah dianggap keluar dari ajaran islam? Tuduh-menuduh ‘bid’ah dhalalah’ dan ‘syirik’ pula.

Namun, jika diteliti semua pihak yang saling bersitegang ini masih mengucap kalimat syahadah yang sama. Mereka yang berbeda ini juga adakalanya duduk sekampung, tinggal sekomplek, rekan satu kerja atau organisasi dan boleh jadi satu keluarga juga. Sakit demam, kemalangan dan urusan jenazah (apabila menghadapi kematian) masih saling memerlukan. Kita hanya mampu berdo’a agar Allah turunkan petunjuk untuk kita agar sama-sama ikhlas dan bijak menghadapi perbedaan. Allahummahdina.

Imam Syafi’i pernah berkata, “pandanganku betul, tetapi aku tidak menolak kemungkinan pandangan orang lain pun betul juga”. Lihat betapa tingginya kepribadian beliau ketika mempunyai pandangan yang berbeda dengan gurunya Imam Malik beliau pernah berkata, “Apabila disebut ulama, maka Malik adalah bintangnya”.

Lihat pula kepribadian Imam Ahmad, murid Imam Syafi’i yang juga mempunyai banyak pandangan berbeda dengan gurunya. Namun, beliau juga pernah berkata, “demi Allah, aku tidak tidur malam selama 30 tahun kecuali aku berdo’a untuk Imam Syafi’i”.

Sekarang, lihat pula bagaimana hormat guru (Imam Syafi’i) kepada muridnya (Imam Ahmad). Imam Syafi’i pernah berkata, “aku telah meninggalkan bahkan dan di sana tak ada seorang yang lebih wara’, lebih alim dan lebih mendapat petunjuk berbanding Ahmad bin Handal”. Jiwanya penuh dengan adab dan akhlak terhadap orang lain tanpa menafikan pendirian dan keyakinan terhadap diri sendiri.

Imam-imam besar itu bukan saja mempunyai ilmu yang tinggi tetapi juga akhlak dan kepribadian yang tinggi. Lantas mengapa kita mempermasalahkan? Apa kedudukan kita lebih mulia dari mereka? Kembali ke diri kita masing-masing.

Di setiap detik yang berlalu kita memohon kepada Allah agar senantiasa bertambahkan kebaikan. Kebersamaan kita bukan karena tujuan lain, selain kebaikan dan kebenaran. Mari tetap bersama-sama menempuh jalan ini. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Anak ke dua dari 3 bersaudara yang ingin membahagiakan keluarga. Seorang Penulis Buku.

Lihat Juga

Sistem Akuntansi Syariah di Perusahaan

Figure
Organization