Topic
Home / Berita / Opini / Belalai Kultur Syiah di Turki

Belalai Kultur Syiah di Turki

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Turki, semakin hari semakin menjadi pusat sorotan dan perhatian dunia Islam. Apa yang terjadi di Turki kini sudah dianggap menjadi masalahnya orang Islam. Kudeta yang gagal, rentetan pemboman saat terjadi otomatis menjadi doanya imam Masjidil Haram di Mekah, epicentrum dan tanah suci utama umat Islam dunia.

Baru-baru ini, Turki melakukan manuver politik yang tidak mudah dicerna oleh kebanyakan orang awam yang terlanjur jatuh hati ke Turki. Erdogan melakukan pendekatan ke negara-negara yang secara politis dinilai “super setan” oleh umat dan termasuk saya, “super setan” itu seperti Iran dan Rusia. Kedua negara ini memang sadis dalam melakukan manuver militer di Suriah. Belum lagi jika kita berbicara masalah politik ekspansionis dan ekspor ideologis dari mereka.

Memahami Turki harus bermula dari latar belakang sejarah Turki sebagai bekas imperium (khilafah) yang pernah menguasai tiga benua yang berbeda. Khilafah Turki bahkan memiliki pengaruh kekuasaan hingga pelosok Afrika dan Asia, ambil contoh Aceh yang sejarah politiknya memang “sangat Turki”.

Konsekuensinya bahwa Turki pernah menaungi dialektika perbedaan kultur bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaannya, kultur ini terdiri dari ragam budaya, madzhab, manhaj hingga pengaruh aliran-aliran non-mainstream di dalam Islam.

Dalam sebuah artikel politik di media sekelas Al Jazeera menyebutkan bahwa gerakan Gulen sebagai suatu gerakan massif apolitis yang memiliki misi-misi yang berorientasi politis ternyata mengadopsi banyak literatur Syiah dari Iran. Basis dari gerakan Gulen adalah sufi yang bermadzhab Hanafi, Gulen berhasil menarik beberapa ajaran Syiah dengan meminjam kedekatan sufi dan Syiah dalam sejarah perkembangan Islam di Turki.

Ini membuat tidak sedikit dari rakyat Turki yang memiliki kedekatan kultural dengan Iran. Sebuah hal yang belum diketahui banyak oleh umat. Dan ini juga menjelaskan mengapa dahulu struktur kekuasaan sekularisme Turki kokoh dan kuat, karena sufisme berhasil dibajak oleh gerakan Gulen untuk menyokong eksistensi sekularisme Turki secara habis habisan. Sampai akhirnya sekularisme berhasil dikebiri pengaruhnya oleh AKP yang mengusung pemikiran “Islam peradaban” yang murni Ahlussunnah.

Diakui atau tidak. Suka atau tidak. Mainstream dari gerakan sufi di negara-negara Islam cenderung menjauhi politik praktis (apolitis) namun kerap menjadi pilar-pilar utama kekuasaan yang bersifat sekuler-liberal, sosialistik dan diktator. Gerakan Gulen mengklaim sebagai pewaris dari pemikiran ulama besar Bediuzzaman Sayyid Nursi, meski dari pengikut Sayyid Nursi kompak mengatakan bahwa Gulen membajak nama Nursi dan mempereteli ajarannya untuk kepentingan kelompok Gulen.

Kenyataan inilah yang membuat Erdogan harus lebih berhati hati dalam menghadapi gerakan Gulen. Sebab gerakan Gulen selain mendapatkan dukungan kuktural dari pengikut setia Gulen, mereka juga disokong oleh kutub kutub geopolitik dunia seperti Amerika dan Rusia.

Erdogan dan pendukungnya melakukan pendekatan yang fleksibel dalam menghadapi Iran yang belalai pengaruhnya tersembunyi rapi di kantong gerakan Gulen. Erdogan menyadari bahwa Iran memiliki mentor setia yaitu Rusia yang membuktikan kesetiaan penuhnya kepada Iran.

Uniknya, Erdogan lewat perangkat kekuasaan dan popularitas epiknya di Turki secara agresif mengebiri jaringan-jaringan gerakan Gulen baik secara domestik maupun internasional. Di sinilah ruang ijtihad politik Erdogan yang mesti segera dipahami oleh umat Islam global.

Terlebih karakter gerakan Gulen ini mirip dengan Hizbut Tahrir, keduanya beretorika secara kuat bahwa mereka menghindari “kotornya berpolitik”, akan tetapi keduanya pun memiliki agenda-agenda politik yang dinilai sebagai agenda super besar dalam konteksnya dengan partai-partai politik.

Dalam bahasa geopolitik terkini, Iran dan Amerika bukanlah lagi sebagai seteru. Agenda-agenda geopolitik kedua negara itu banyak yang mirip. Sebut saja seperti di Irak, Mesir, Suriah dan Yaman, Iran dan Amerika terlihat mesra dalam bersinergi secara politis di sana. Tinggal Turki yang terjebak dimana mana, sementara hanya dia sendiri yang berdiri tegak membela umat Islam. (mutawakkil/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Sarjana lulusan Universitas Al-Azhar, Cairo-Egypt. Saat ini aktif sebagai dai dan pengamat sosial politik Timur Tengah.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization