Jalan Terjal RUU Larangan Minuman Beralkohol

Ilustrasi. (tribunnews.com)

dakwatuna.com – Pada tahun 2016 ini, DPR-RI telah mencanangkan target penyelesaian pembahasan 52 Rancangan Undang-Undang (RUU) atau yang disebut Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Hingga bulan Agustus 2016, dari 52 RUU tersebut, sebanyak 8 RUU sudah disahkan menjadi UU, dan 19 RUU sudah memasuki pembahasan tingkat 1. Salah satu RUU yang sedang dibahas di tingkat 1 adalah RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol (Minol).

RUU Minol ini menjadi isu penting karena menyangkut masa depan anak-anak Indonesia. Kasus-kasus kriminal seperti kejahatan seksual, pemerkosaan dan pembunuhan yang marak terjadi belakangan ini hampir semuanya diawali dari menenggak minuman beralkohol. Pelakunya pun masih tergolong anak-anak. Sebutlah kasus Yuyun di Lampung yang paling mencuat diperbincangkan publik, para pelaku kejahatan terlebih dahulu menenggak minuman memabukkan sebelum melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun.

Perdebatan paling krusial dalam pembahasan RUU ini apakah minuman beralkohol akan dilarang atau hanya cukup dikendalikan saja. Dalam DIM (Daftar Inventaris Masalah) RUU ini, judul RUU yang di inisiasi oleh Fraksi PKS dan Fraksi PPP ini adalah RUU Larangan Minuman Beralkohol, kemudian pemerintah mengubah judulnya menjadi RUU Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Perubahan ini menyebabkan hampir seluruh pasal-pasal dalam Draft awal RUU yang melarang setiap orang untuk mengedarkan, menjual dan mengonsumsi Minol menjadi diperbolehkan menjual dan memproduksi Minol dengan syarat tertentu. Sebagaimana di pasal 8 tertera bahwa “Setiap Orang yang memproduksi Minuman Beralkohol wajib memiliki izin usaha industri.”

Lebih mengenaskan lagi, pasal tentang konsumsi Minol yang dalam Draft Awal dilarang, diubah dalam usulan pemerintah menjadi diperbolehkan asal tidak berlebihan. Dalam pasal 7 Draft RUU ini menyebutkan “Setiap orang dilarang mengonsumsi Minuman Beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, Minuman Beralkohol tradisional, dan Minuman Beralkohol campuran atau racikan.” Lalu DIM Pemerintah mengubahnya menjadi “Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan atau terus menerus sehingga menimbulkan ketergantungan.” Bahkan, DIM usulan pemerintah juga memperbolehkan penjualan minuman beralkohol golongan A, dapat diperdagangkan di toko grosir dan pengecer lainnya dalam bentuk kemasan. Rencana melarang Minol malah bergeser menjadi upaya memperluas wilayah peredarannya.

Memang, secara medis pengaruh alkohol dalam jumlah 5-15% etanol (golongan A) dalam darah, hanya akan menyebabkan seorang peminum kehilangan koordinasi. Kehilangan kesadaran baru akan terjadi bila terdapat 30-40% kadar etanol dalam darah. Namun pertanyaannya, apakah pengawasan pemerintah mampu menjangkau hingga titik terluar dari pelosok Nusantara ini dalam membatasi kadar konsumsi Minol ini. Bagaimana supply chain bahan bakunya, rantai distribusinya, hingga minol racikan yang mudah dibuat dan diedarkan secara ilegal. Kasus-kasus kriminal yang marak terjadi akhir-akhir ini telah menunjukkan lemahnya pengawasan.

Bila urusannya hanya pengendalian dan pengawasan terhadap Minol, ini sudah diatur dalam UU No.39 Tahun 2007 tentang Cukai, yang mengatur semua yang berkaitan dengan barang kena Cukai. Salah satunya adalah Minuman beralkohol. Semua yang berkaitan dengan perijinan, pembukuan, pencacahan, penimbunan, pemasukan, pengeluaran, pengangkutan dan perdagangan barang kena Cukai (termasuk Minol) sudah diatur dalam UU ini. Karena itu, perubahan judul menjadi RUU Pengendalian Minol menjadi tidak relevan dan berpotensi tumpang tindih dengan UU Cukai ini.

Judul “Larangan” yang digagas DPR-RI ini bukan tanpa ruang pengecualian. Sebagaimana tertera dalam Draft awal RUU ini, yaitu Larangan menggunakan Minol tidak berlaku untuk kepentingan tertentu yaitu ritual keagamaan, farmasi, kepentingan adat, wisatawan dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Artinya, tetap ada ruang bagi berbagai keperluan untuk menggunakan Minol meski judulnya adalah Larangan Minol.

Faktor keuangan menjadi salah satu pertimbangan keberatan pemerintah dalam rencana pelarangan produksi, peredaran dan konsumsi Minol. Pendapatan Negara yang dihasilkan dari Cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (C2H5OH) atau MMEA sebesar Rp.6,4 Triliun (target RAPBN 2016). Bila dibandingkan dengan cukai etil alkohol (bila tidak diproduksi sebagai Minol) cukainya hanya Rp.171,2 Miliar. Besaran cukai MMEA ini melonjak bila dibandingkan tahun 2013 (Rp.4,6 Triliun) dan 2014 (Rp.5,3 Triliun). Secara nominal, cukai Rp.6,4 Triliun itu memang besar, namun bila dibandingkan dengan total pendapatan Negara secara keseluruhan yang sebesar Rp.1.882 Triliun, maka cukai Minol hanya sekitar 0,4% saja. Ini artinya, secara ekonomi cukai Minol tidak signifikan bagi pendapatan negara, namun signifikan menambah kerusakan moral anak bangsa.

Kini, RUU ini akan segera disahkan dalam masa persidangan I tahun 2016-2017 yang akan berlangsung hingga 28 Oktober 2016. RUU ini akan menjadi payung hukum bagi Perda-perda yang sudah berlaku di berbagai Daerah. Sejauh ini ada daerah yang menggunakan kata “Pengendalian dan Pengawasan” dan ada yang menggunakan kata “Pelarangan,” dan ada juga yang belum memiliki Perda tentang Minol. Bila payung hukumnya terlalu longgar, maka peraturan di bawahnya dapat mencari celah untuk membuka lebih luas pintu peredaran Minol. Apalagi mengingat belakangan ini Kementerian Perdagangan melakukan relaksasi aturan mengenai pengendalian dan penjualan minuman keras golongan A pada September 2015 lalu. Kontestasi gagasan, argumentasi ilmiah dan deal politik akan mewarnai perjalanan RUU ini baik dalam wacana di kalangan publik maupun pertarungan “diruang gelap” yang menguji daya tahan kejujuran akademis, ketulusan beragama dan pembelaan terhadap nasib anak bangsa di masa depan. (dakwatuna.com/hdn)

Aktifitas saat ini sebagai Direktur Center of Development Studies (CDS) dan Tenaga Ahli DPR-RI. Sarjana Teknik Gas dan Petrokimia, Universitas Indonesia. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...