Merdeka Itu Ketika Bebas Dari Belenggu

Ilustrasi. (Rahmatullah Andre)

dakwatuna.com – Ketika mentari masih samar-samar menampakkan cahayanya, lapangan utama Hidayatullah Surabaya sudah dipenuhi ribuan santri Hidayatullah mulai SD sampai SMA fullday maupun Boarding.

Dalam upacara yang penuh hikmat tersebut, Ust. Marni Mulyana, Lc. selaku pembina upacara menyampaikan pesan kepada seluruh peserta.

“Hari jumat pagi, sayyidul ayyam,  bertepatan pada bulan Ramadhan, bulan penuh ampunan, rahmat dan masih banyak lagi keutamaan di dalamnya, bangsa Indonesia dengan bangga memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan, sebuah kemerdekaan yang diperjuangkan ratusan tahun lamanya”, tegasnya.

“Sebuah sejarah indah yang terukir dan disaksikan serta diakui masyarakat dunia”, sambungnya.

Kemerdekaan itu pula,  menandakan sebuah harapan dan doa panjang yang telah diijabahi oleh sang khaliq dari para pejuang bangsa ini khususnya para kyai dan santrinya.

Tentunya,
Kemerdekaan itu tidaklah dapat diraih tanpa kerja keras, perjuangan tanpa kenal lelah, siang dan malam hidup dengan cara bergerilya. Sebuah harapan dalam doa dan ikhtiar mereka agar anak cucunya kelak dapat merasakan kenikmatan hidup tidak seperti keadaan yang mereka rasakan. Tertindas, terbelenggu, susah beribadah karena tekanan dari para penjajah.

“Kemerdekaan ini adalah salah satu kenikmatan, maka mari disyukuri, karena ini adalah pemberian Allah azza wajalla”, ucapnya.

Syukur itu adalah mengarahkan semua apa yg diinginkan Allah swt. Dan beribadah adalah tugas utama kita dalam hidup ini.

Dalam menjalani hidup, posisi kita ada dua, yaitu sebagai abdi atau hamba dan juga sekaligus khalifah atau pemimpin dalam kehidupan.

“Di mana pun kita berada, kita adalah wakil Allah swt dan harus menjaga kehidupan serta kelestarian di dalamnya”, pesannya.

Islam datang untuk menyelamatkan manusia, memerdekakan dan membebaskan manusia dari penyembahan apapun selain Allah ta’ala.

Sejatinya kemerdekaan itu adalah ketika mampu membebaskan diri beribadah kepada Allah swt.

Karena kemerdekaan itu tidak hanya secara fisik, melainkan merdeka secara batin atau rohani. Dan puncak kemerdekaan itu adalah bebas beribadah kepada-Nya.

“Dalam mewujudkan kemerdekaan sebagai bentuk syukur dan  beribadah kepada Allah yang Maha Perkasa”, sambungnya, “ada beberapa belenggu yang harus dihilangkan agar benar-benar merdeka”.

Pertama, belenggu nafsu. Hal ini harus dibuang jauh dari diri kita. Sebab jika iman dan rohani kita kalah oleh nafsu, maka akan menjadi budak nafsu. Di kala nafsu sudah menjadi lokomotif dalam menjalani hidup, maka kerusakanlah yang ditimbulkan.

Apabila kerusakan yang terus dilakukannya maka akan menimbulkan bencana besar dan menjadikan posisi dirinya lebih rendah dari binatang.

Kedua, belenggu akhlaq tercela (madzmumah). Beliau mengutip sebuah hadits, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak”.

Orang tercela seperti orang yang tidak diharapkan kelahirannya. Keberadaanya hanya menjadi kesengsaraan bagi orang lain. Mengapa demikian, karena kesenangannya adalah kesengsaraan orang lain. Ciri orang seperti ini biasa diibaratkan sampah masyarakat.

Kalau sebuah bangsa tidak memiliki akhlaq maka bangsa itu akan segera lenyap.

Ketiga, belenggu hedonisme, liberalisme, materialisme. Budaya inilah yang menjadikan kita terjajah meskipun secara fisik kita telah merdeka. Budaya sesat yang ditinggalkan para penjajah ini jauh lebih dahsyat dari sekedar penjajahan fisik. Budaya materialisme, hedonisme menodai pikiran dan hati, tak hanya menodai dan menciderai fisik.

Keempat, Belenggu kesyirikan. Ketika kesyirikan masih merajalela dalam diri. Maka sebenarnya dirinya belum merdeka. Belenggu kesyirikan inilah yang sebenarnya diperjuangkan para pejuang kemerdekaan khususnya para kyai dan santrinya.

Mereka berani berjuang membela negara dengan maksud mempertahankan tanah air yang telah diamanahkan Allah ta’ala kepadanya. Ia bertanggung jawab selaku khalifah sekaligus hamba hanya pada-Nya.

“Maka mari kita selaku pewaris dan pelanjut kemerdekaan mengisi dengan hal yang baik dan positif agar menjadi pedoman bagi anak cucu kita kelak. Hal itu dapat dilakukan apabila kita mampu terlepas dari belenggu”, tutupnya. Wallahu a’lam bisshowab. (dakwatuna.com/hdn)

Disqus Comments Loading...