Kritik Kajian Sejarah Faraq Fouda Dalam Buku Al-Haqaiq Al-Ghaibah (Bag ke-2): Seputar Khilafah Utsman Bin Affan

Peristiwa Pemakaman Utsman bin Affan

Ilustrasi. (topyaps.com)

dakwatuna.com – Faraq Fouda menulis, “Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemik tentang sosok dirinya. Para pemimpin di dalam Ahl al-Hall wa al-Aqdi membuat konsensus untuk melarikan diri dari kepemimpinannya, baik lewat cara pemecatan menurut kalangan ahli pikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya. Wibawanya terguncang di mata rakyat, sampai sebagian masyarakatnya menghunus pedang yang siap mencincangnya dan menohoknya ketika berada di atas mimbar. Bahkan sebagian menghinanya dengan sebutan Na’tsal, sebutan untuk orang Kristen Madinah bernama Na’tsal yang kebetulan berjenggot lebat seperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, ini adalah sesuatu yang sangat terang benderang menunjukkan bahwa ia keluar dari ketentuan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, muncul seruan secara terang-terangan untuk membunuhnya. Hadits Aisyah meriwayatkan: “Bunuhlah Na’tsal, dan terlaknatlah Na’tsal.”  Ini semua tidak meninggalkan keraguan sama sekali tentang bagaimana citra seorang khalifah di mata masyarakatnya dan bagaimana nasib masyarakat di tangan para khalifah.” (hlm. 33-34)

“Al-Thabari misalnya, dalam kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk, menyatakan: “Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ia ditandu empat orang, yaitu Hakim bin Hizam, Jubair bin Math’am, Niyar bin Makram, dan Abu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya. Di situ ada Aslam bin Aus bin Bajrah as- Saidi dan Abu Hayyah al-Mazini. Mereka juga melarangnya untuk dimakamkan di pekuburan Baqi’. Abu Jaham lalu berkata: ‘Makamkanlah ia karena Rasulullah dan para malaikat telah bershalawat atasnya.’ Akan tetapi, mereka menolak : ‘Tidak, ia selamanya tidak akan dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi). Baru tatkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan areal perkuburan Yahudi itu ke dalam kompleks Baqi’.” (hlm. 36)

“Dalam riwayat lain bahkan dikatakan, ketika mayat Usman berada di sebuah pintu, Umair bin Dzabi’i datang meludahinya, lalu ia mematahkan salah satu persendiannya. Dan dalam riwayat lain pun dikatakan, tatkala prosesi penguburannya di Hisy Kaukab berlangsung, orang- orang Islam melemparinya dengan batu sampai-sampai para penandunya mesti berlindung di sebuah tembok. Di samping tembok itulah ia kemudian dimakamkan.” (hlm. 36-37)

“Jadi tidak ada ketentuan, apalagi sistem yang mampu mengontrol kekuasaan. Karena itu, urusan ini dikembalikan kepada hati kecil para penguasa. Jika kebetulan kita menemukan pemimpin yang adil dan asketis, kita akan menjumpai sosok seperti Umar. Namun, jika kebetulan kita menemukan pemimpin yang belum mampu berbuat adil dan tetap bersikukuh memegang kekuasaan, maka akan muncul sosok Usman. Karena itu Usman memaklumatkan bahwa sistem pemerintahan Islam versi dirinya berlangsung atas ketentuan “kepemimpinan seumur hidup.” Di sini, tidak ada tata cara untuk meminta pertanggungjawaban pemimpin. Tidak ada peradilan atau sanksi bilamana ia berbuat salah. Rakyat tidak berhak untuk mencabut mandat darinya, apalagi memecatnya. Cukup dengan sekali baiat kepadanya, itu sudah menjadi penyerahan mandat selamanya. Dan rakyat tidak berhak untuk mencabut atau meninjau-ulang mandat tersebut, atau menuntut orang yang dibaiat untuk mengundurkan diri.

Karena tidak seorang pun menyepakati bahkan membayangkan bahwa itulah prinsip-prinsip kekuasaan di dalam Islam, maka akhirnya ia dibunuh oleh umat Islam sendiri. Akan tetapi, pertanyaan masih juga menggantung: Adakah prinsip atau ketentuan-ketenuan alternatif dari itu? Adakah sistem kekuasaan yang jelas batasan- batasannya di dalam Islam? Adakah di dalam al-Quran ataupun Sunnah ketentuan soal bagaimana umat Islam mengangkat pemimpinnya dan menetapkan jangka waktu untuk memperbaharui mandat terhadapnya? Adakah ketentuan soal bagaimana tata cara mencabut mandat itu sebagaimana ketentuan untuk mengumumkan mandat sebelumnya, sehingga rakyat berhak untuk mengontrol penguasanya, bahkan memberi sanksi apabila ia bersalah? Bagaimana wewenang yang diberikan dalam mandat itu dijalankan?” (hlm. 42-43)

Tanggapan: Data-data sejarah yang disebutkan oleh Faraq Fouda di atas dikemas begitu provokatif, sehingga pembacanya pun dibuat tercengang dengan akhir kehidupan khalifah Utsman yang begitu ‘tragis’. Apalagi setelah dikesankan oleh Fouda bahwa tragedi tersebut adalah akibat dari sistem kekuasaannya yang otoriter dan penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan sehingga khalifah Utsman pun diadili oleh rakyatnya sendiri. Sungguh cerdik metode propaganda Faraq Fouda untuk merusak citra shahabat Utsman di depan umat Islam, sehingga dapat diharapkan timbul “pemberontak-pemberontak” baru terhadap kepemimpinan dan kedudukan mulia Utsman.

Padahal jika kita mau bersikap lebih bijaksana, tentu kita dapat bertanya: Benarkah shahabat Utsman dinilai begitu rendah oleh shahabat seperti tuduhan Fouda? Bukankah beliau termasuk shahabat yang mulia di sisi Rasulullah dan juga shahabat lainnya? Bukankah beliau sebagai khalifah telah melakukan banyak sekali jasa kepada umat Islam seperti standardisasi Al-Quran, pembuatan kekuatan maritim pertama, penaklukkan Imperium Romawi Bizantine dan Konstantinopel, perluasan wilayah Islam hingga Afrika Utara, dan lainnya?

Satu hal yang dilupakan Fouda, bahwa khalifah Utsman menerima kudeta tersebut dari sekelompok shahabat yang terprovokasi dengan isu-isu dalam pemerintahan Utsman, dimana ketika ditinjau secara mendalam isu-isu tersebut masuk dalam ranah ijtihad sehingga tidak patut bagi rakyat melakukan kudeta apalagi sampai membunuh pemimpin tertinggi. Tidak semua isu yang mereka dengar itu benar setelah diklarifikasi oleh khalifah Utsman sendiri, dan ketika terjadi penyimpangan dalam pemerintahan maka itu tidaklah sepenuhnya salah Utsman. Namun, rumor telah tersebar luas di masyarakat dan para pemberontak telah begitu jauh terperosok dalam hasutan hingga berani memperlakukan jenazah Utsman tanpa adab. Bagi orang yang memiliki itikad baik dan pandangan yang mulia terhadap shahabat, tentu isu-isu tersebut dianggap sebagai fitnah yang memecah-belah umat seperti halnya diutarakan oleh para ulama kita. Beberapa isu tersebut akan dibahas selanjutnya.

Meski demikian, khalifah Utsman tetap dipandang mulia oleh para shahabat. Di saat pemakaman beliau di Hisy Kaukab, shahabat Abu Jahm bin Hudzaifah melarang para shahabat untuk menshalati khalifah Utsman. Ia berkata, “Tinggalkanlah beliau, karena Allah dan Rasul-Nya telah menshalawatinya.” (al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, juz 1 hlm. 322) Bagi seorang Muslim yang berfikiran baik, pengakuan seorang shahabat seperti ini jelas menunjukkan bahwa shahabat Utsman wafat dalam keadaan mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya. Diceritakan pula bahwa ketika Utsman dimakamkan ada sekelompok orang yang datang seraya berkata kepada para shahabat pengurus jenazah Utsman, “Janganlah kalian takut, teguhlah!” Para shahabat pun yakin bahwa mereka adalah malaikat. (al-Riyadl al-Nadlrah fi Manaqib al-‘Asyrah,

juz 1 hlm. 229) Lantas, bagaimana Fouda memberikan kesan yang sangat negatif terhadap Utsman dengan mengecapnya sebagai pemimpin otoriter yang memiliki “kekuasaan seumur hidup”?

Fouda juga keliru menyebutkan Hisy Kaukab sebagai pemakaman Yahudi, karena shahabat Utsman ketika masih hidup telah membelinya dan menambahkan dalam komplek pemakaman Baqi’. (al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, juz 1 hlm. 322) Jadi darimana Fouda mengatakan bahwa Hisy Kaukab adalah kuburan orang Yahudi dan baru masuk dalam komplek Baqi’ setelah Bani Umayyah berkuasa?

Tentang perilaku tidak beradab Umair bin Dlabi’ terhadap jenazah Utsman, maka hal tersebut lebih karena ungkapan kekesalannya terhadap kebijakan khalifah memenjarakan ayahnya. Hal itu dia akui sendiri ketika ia ditanya oleh Hajjaj soal perlakuannya tersebut. Ia berkata, “Aku melakukannya karena Utsman telah memenjarakan ayahku yang sudah tua renta.” Padahal, khalifah Utsman pada saat itu menghukum Dlabi’ bin Harits selaku ayah dari Umair bin Dlabi’ karena ia tidak mau mengembalikan anjing pemburu yang ia pinjam dari seorang dari suku Hanzhalah, kemudian ia mengucapkan kata-kata kotor kepadanya sehingga ia dilaporkan kepada khalifah Utsman. Pada saat itu khalifah Utsman menerapkan sanksi pidana bagi orang yang melontarkan kalimat-kalimat hinaan di depan umum. Apalagi setelah ia diinterogasi oleh khalifah, ia malah menyabetkan sebuah pisau hingga melukai beliau sehingga ia dijebloskan lagi ke dalam penjara. (al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, juz 3 hlm. 498)

Melihat beberapa fakta sejarah yang diungkapkan Fouda di atas, dia kelihatan sengaja mengajukan penafsiran yang negatif tanpa melihat penjelasan-penjelasan yang sebenarnya terhadap kasus tersebut. Hal ini wajar bagi seorang kritikus Islam semacam dia, namun kritik-kritik pedasnya tersebut akhirnya juga hanya menjadi buih yang tidak terbukti dan tidak bermanfaat apa-apa bagi kemaslahatan umat Islam. Atau, mungkin saja karena bahan bacaannya kurang dan hanya mengandalkan pembacaan yang dilakukan oleh orientalis yang memang telah lama memandang Islam secara negatif.

Urgensi Penerapan Syariat Islam

Faraq Fouda menulis, “Andai anda beranjak dari masa Usman ke masa sekarang, anda tidak akan menemukan banyak perubahan dan perbaikan, baik itu dalam aspek penyelesaian problem masyarakat atau dalam soal kontrol terhadap para penguasa apabila mereka bersalah dari sudut pandang Islam. Tidak perlulah anda mencari-cari hubungan antara penerapan syariat dengan potensi penyelesaian problem masyarakat. Tanyakan pada saya dan pada diri anda sendiri hal-hal berikut ini : Bagaimanakah caranya agar upah meningkat sementara harga menurun bila syariat Islam diterapkan? Bagaimanakah caranya mengatasi soal perumahan yang sangat kompleks itu dengan penerapan syariat? Bagaimana menanggulangi utang luar negari secara syariat? Bagaimana badan usaha milik negara akan menjadi badan usaha yang produktif, seimbang dengan tingkat investasinya, dalam kerangka penerapan syariat?

Ini hanya soal yang terbersit dalam benak saya untuk dikemukakan kepada para pendukung penerapan yang segera atas syariat. Mereka berfantasi akan diperolehnya solusi yang segera atas problem masyarakat dan berjanji mampu menjawabnya. Mereka sebetulnya juga terjebak dalam kebingungan ketika mendialogkan persoalan-persoalan ini. Karena itu, mereka tidak mampu membuat agenda politik yang menyeluruh. Bahkan keahlian mereka berinovasi dengan ayat-ayat dengan bersandar pada ijtihad- ijtihad abad ke-2 hijriah pun akan membuat persoalan bertambah rumit, alih-alih akan menyelesaikannya.” (hlm. 46)

“Kita harus membedakan antara dua perkara, yaitu antara melarikan diri dari kenyataan atau menghadapinya, antara kenekatan dan keberanian, antara menonjolkan kulit luar dan menelisik inti terdalam. Masyarakat tidak akan berubah dan umat Islam tidak akan maju hanya dengan memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Islam tidak akan dapat menaklukkan zaman dan maju ke depan hanya ketika para pemudanya menggunakan pakaian Pakistan. Menjemput kemajuan ilmu pengetahuan tidak akan terjadi hanya dengan menggunakan siwak untuk menggantikan pasta gigi, atau hanya sekadar mencelak mata dan mengunakan tangan telanjang ketika makan atau dengan cara membesar-besarkan teori terbelakang tentang “menangkap bayangan” untuk mengharamkan patung atau gambar atau dengan menghabis-habiskan waktu dengan pertengkaran soal tata cara masuk kamar kecil atau sibuk menentukan tempat munculnya al-Masih al-Dajjal. Semua itu adalah persoalan yang remeh-temeh.” (hlm. 48)

Tanggapan: Jika Fouda mempertanyakan urgensi Syariah Islam dalam rangka menyelesaikan masalah umat dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, maka kita bisa saja bertanya kepadanya: Apakah masalah-masalah yang dia angkat tersebut telah menemukan solusinya tanpa menerapkan Syariah? Nyatanya, masalah-masalah tersebut masih terus saja ada kan? Ketika masyarakat kuat dalam berakidah, memenuhi kewajiban ibadah dan muamalah, dan meniru gaya hidup Rasulullah, apakah hal itu menghalangi mereka melakukan kajian dan dialog untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia yang ia bicarakan? Bukankah kerusakan agama dan moral manusia yang menjadi masalah besar di dunia berasal dari semakin jauhnya manusia dari Syariat?

Syariah adalah hukum-hukum Allah yang diturunkan kepada manusia untuk dipatuhi dalam seluruh aspek kehidupan dunia. Ada yang berorientasi keakhiratan, juga ada yang beorientasi keduniawian. Semua itu diatur oleh Allah untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat. Jika terdapat persoalan-persoalan dunia yang tidak tercantum dalam Syariah, maka Syariah memperbolehkan manusia untuk menyelesaikannya sesuai ilmu dan kebijakan yang diambil. Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama saja bersabda, “Kalian lebih tahu dengan hal-hal dunia kalian.” (HR. Muslim)

Jadi, tidak perlu ragu untuk melaksanakan Syariah. Syariah tidak akan menghalangi manusia mengembangkan urusan-urusan dunia mereka, dan detail penerapan Syariah dalam kehidupan dunia dapat kita jumpai dan bicarakan dalam kerangka kitab salaf yang telah dibuat oleh para ulama. Syariah mesti tetap diusahakan melalui jalur politik, dan di sana pasti ada orang-orang yang antipati terhadap Syariah seperti Faraq Fouda ini. Bagi Faraq Fouda dan para pendukungnya, jangan Anda katakan Syariah tidak realistis jika tanpa Syariah saja Anda tetap tidak bisa menyelesaikan masalah. (bersambung). (dakwatuna.com/hdn)

Konten ini telah dimodifikasi pada 03/08/16 | 15:13 15:13

Penulis lahir di Pati tahun 1991. Belajar di MI, MTs, dan MA Darul Falah Sirahan Cluwak Pati hingga tahun 2009. Aktif dalam menulis di berbagai media Islam lokal pondok pesantren dan meneliti berbagai pemikiran Islam.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...