Pilihan Terbaik-Nya

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Dan aku pun tak menginginkan di posisiku sekarang ini, di atas kegalauan yang tiada tara, di setiap kebimbangan antara dua pilihan, di antara untaian do’a dan istikhoroh. Di lain hal aku sangat ingin meneruskan pendidikanku, di lain hal pula, mengingat usiaku yang sudah lebih dari seperempat abad serta sudah adanya calon suami, aku ingin segera pula menikah.

“Keputusan ada di dik Imah, saya tunggu 3 hari lagi” kata terakhirnya, setelah ia menawarkan diri untuk menjadi pendampingku. Namun aku katakan jika seminggu lagi aku akan meneruskan pendidikanku ke luar Negeri. Orang Tua ku tak mempermasalahkan, jika aku melangsungkan akad terlebih dahulu, dan meneruskan pendidikan, begitupula dengan orang tua Aiman dan tak hanya mereka, bahkan guru ngajiku pun menyarankan demikian. Namun sudah ku tekankan sedari dulu, jika aku menikah, maka diri ini harus menemani suamiku hingga tua kelak, aku tak ingin ada namanya long distance , aku tak ingin perpisahan walaupun hanya sebentar, apa lagi dengan menempuh pendidikan di luar Negeri, tak butuh hanya waktu satu tahun. Bagaimana nanti jika aku tak sanggup menahan rasa rinduku, bagaimana nanti jika aku menyukai laki-laki lain karena memang aku lama tak bertemu dengannya.

Waktu berlalu tak dapat berhenti walau sedetik, dan semakin dekat pula dengan hari yang di tunggu oleh Aiman, aku tetap saja tak menghiraukan kegelisahanku, namun tetap saja hati ini selalu resah dan selalu terpikirkan.  Dengan berjalannya waktupun, aku tetap saja menyelesaikan persyaratan S-2 ku. Aku sengaja mengabaikan pernikahanku, untuk sementara waktu ini saja. Waktu yang diberikan oleh Aiman sudah terlewati satu hari, namun aku tetap saja mengulurnya, aku pun salah dengan mengulur demikian, seolah aku menahan jodoh orang lain jika Aiman memang ditakdirkan untuk orang lain. Aku pun tak ingin melepas Aiman. Rasa ini begitu lama aku menyimpannya, di saat ada kesemempatan seperti ini, aku malah mengabaikannya. Mungkin Aiman memanglah bukan jodohku.

Aiman lagi-lagi datang bersama Kakaknya, sedangkan aku ditemani Ibuku.

“Besok Imah pergi, sampai sekarang Imah belum ngasih kepastian!” tukasnya setelah berbicara beberapa kata.

“Maaf yah”, hanya kata itu yang mampu ku katakan, sedang air mata ku dengan sendirinya mengalir. Ibu memelukku.

“Berat ya memutuskan dik Imah. Jika saja dik Imah tidak mengulur waktu, bisa saja akad pernikahan ini di laksanakan dan dik Imah bisa pula melanjutkan pendidikan di luar Negeri. Malam gini susah nyari penghulu dik” Kak Yanto, Kakak dari Aiman berkata, sehingga tangisku semakin tak tertahan lagi. Aku tetap saja kukuh pada pendirianku. Aku egois.

“Insyaa Allah, saya akan tunggu Imah pulang dari Singapore. Tapi jangan salahkan saya pula jika kelak memilih untuk meninggalkan Imah” Aiman berujar yang membuatku sedikit lega. Namun tetap saja hati ini merasa tak ikhlas.

Tak lama kemudian, Aiman dan Kak Yanto pamit pulang.

Satu hari, dua hari, bahkan satu minggu tak ada komunikasipun antara aku dengan Aiman, sosial medianya, adem ayem, seolah tak berpenghuni. Aku tetap saja menikmati pendidikanku, sedikit demi sedikit berusaha melupakan Aiman, walapun ia pernah berujar untuk menungguku, namun aku tetap saja tak percaya, aku tak ingin berharap padanya, aku tak ingin berada di angan-angan ketidakpastian.

Saat ditunggu maka dua hari pun terasa sangat lama. Namun jika tak ditunggu-tunggu, waktu begitu cepatnya berlalu. Terasa berat aku lalui hariku ketika sepulang kuliah, bahkan ketika diajak berlibur mengelilingi Singapore dan singgah ke Malaysia, seringkali terbesit sosok Aiman, sosok yang sedari dulu ku kagumi, sosok yang dari dulu ku hormati.

Tesis ku hampir saja selesai, lancar tanpa kendala. Dengan semangatku yang ingin sekali memajukan pendidikan di Indonesia, seringkali membuat orang yang bertanya dengan tesisku kagum padaku. Aku ingin sistem pendidikan di Indonesia semakin membaik.

Sepulang dari kampus.

“Assalamu’alaikum?” salam di seberang sana. Ini suara Aiman. Setelah hampir satu tahun aku tak pernah mendengar suaranya. Aku menjawab salamnya dengan rada gugup.

“Naimah Alhusna. Langsung saja, tanpa basa-basi ya.” Ia memanggilku dengan nama lengkapku. Aku semakin gugup.

“Mohon maaf, jika untuk selanjutnya aku lebih memilih untuk melepasmu. Karena aku tak ingin berada dalam angan dan ketidakpastian yang kau ingini. Aku merelakanmu bersanding dengan pria lain. Jika kita berjodoh, pastikan dipertemukan, dan mungkin saat ini kita tak berjodoh. Adakah yang mau Imah sampaikan?” degh… hatiku seolah tertusuk belati yang sangat tajam, menancap dan seolah tersayat perlahan. Aku tak ada kata-kata selain menangis. Suara ini berat.

“Jika tidak ada, saya tutup teleponnya. Assalamu’alaikum!”

Ya Rabbi,,, perasaan apa ini? Sakit.. sungguh sakit hati ini, kaki ini lemas seolah tak berfungsi, nafas ini tersengkal.Ya Rabbi, ampuni aku, karena telah berharap kepada makhlukmu. Sungguh, ini bukan salahnya memutuskan ini semua, aku yang begitu berharap lebih kepadanya. Ini salahku.

Tidak ada suatu kenangan apapun yang mampu dilupakan, yang ada kita hanya mencoba mengikhlaskan, sehingga kita pura-pura lupa pada kenangan-kenangan yang telah terlewati. Mengikhlaskan adalah cara untuk menghilangkan rasa dendam pada diri.

Tak butuh waktu bertahun-tahun untuk mengikhlaskan, selagi kita menyadari dan percaya bahwa ini semua sudah ketentuan yang Allah telah atur sebaik mungkin, aku hanya belajar menerimanya saja. Waktu seolah berputar begitu cepatnya, tak ada yang menghentikannya walau hanya sedetikpun. Ah, kita mempunyai waktu yang sama, namun aku merasakan waktu begitu cepatnya. Telah sampailah aku harus pulang ke Indonesia, tempat yang ingin sekali ku undur kepulanganku.

Aroma Indonesia sudah tercium merasuk melewati relung indra penciumku, bibit-bibit aroma itu menyebar ke segala saraf dan memaksakanku untuk mengingat kenangan ketika sebelum Aiman melamarku. Terbesit, andai saja Aiman tak melamarku, mungkin kenangan dan pengalaman ketika aku masih menyimpan rasa yang tak ku ketahui itu antara cinta dan kagum akan menjadi cerita indah yang tetap tersimpan tanpa terungkap. Astagfirullah… ampuni aku ya Rab.

“Akhirnya bertemu juga sudah rindu Abang de….” suara samar lelaki yang seolah ku mengenalnya. Aku mencari asal suara itu. tak salah lagi itu suara Aiman.

Wanita itu, menyalami Aiman, mencium tangan Aiman. Wanita itu menggendong anak kecil. Pemandangan apa ini? Pemandangan yang harus ku lihat ketika aku baru sampai. Ah, hati ini masih saja terasa sakit.

Ini bukanlah hal yang memberatkan. Meyakinkan diri dengan segala ketentuan, bangkit dari masa lalu yang tak memastikan masa depan. Mencoba untuk selalu belajar ikhlas atas ketentuan-Nya. Ya Rabbi,, ku pasrahkan diri kepadamu, rela atas segala ketentuan-Mu, kembali Kau yang ku harapkan bukan ciptaanMu.

Rizal Abdullah, seorang lelaki yang pernah ditawarkan oleh ibu. Namun ketika aku melihat biodatanya, ia hanya lulusan SMP, bahkan kerjaannya tak menentu, ia bukan buruh. Infomasi mengenai dirinya begitu singkat, bahkan foto nya pun tak terlihat dengan jelas. Ibu tak mempermasalahkan meskipun ia hanya lulusan SMP. Yang membuatku tertarik di akhir penjelasan mengenai dirinya tertulis “Alhamdulillah, semenjak diwajibkannya sholat, aku tak pernah meninggalkan sholat subuh berjama’ah dan aku punya beberapa hafalan juz 30”.

“Imah, ada tamu!” tukas Ibu sambil mengetuk pintu kamarku. Aku bergegas keluar kamar dan menemui tamu itu. Aku sempat terkejut yang datang Aiman dengan kakaknya, ia datang bermaksud untuk melamarku. Melamarku. Bagaimana dengan wanita yang di bandara waktu itu? Ia menjelaskan bahwa wanita itu adalah adik kandungnya yang baru saja pulang dari Turky, dan suaminya kala itu masih berada di Turky, dan Aiman menjemputnya. Lalu, mengapa ia memutuskan hubungan ini? Ia menjelaskan bahwa ia takut kepada Allah kerena telah memberi suatu harapan yang sebenarnya ia sendiri tak tau, antara aku dengannya jodoh apa tidak. Dan kini ia bermaksud memperbaiki hubungan ini. Ia lagi-lagi memberikan waktu kepadaku, dan aku tak seharusnya menunda waktu yang telah ia berikan.

Ya Rabb, perasaan dilema apa lagi ini, lelaki yang ku nginkan dengan harapan yang nyata sudah berada di depanku, aku hanya menyetujuinya saja sehingga ia bersamaku. Dulu aku sangat mencintainya, aku sangat mengharapkannya, harapan itu terbuka lebar. Bagaiamana dengan Rizal, yang tak pernah ku jumpa ia sebelumnya, tak tau wataknya, tak tau kepribadian dan banyak lagi yang tak ku ketahui tentangnya. Siapa yang harus ku pilih? Astagfirullah al adzim

Waktu yang diberikan Aiman tak ku sia-siakan lagi. Telah ku sampaikan kepada Ibu jika aku memilih lelaki yang ku mengharapkan kepada Allah jika bersamanya ketaatanku kepada Allah semakin bertambah. Aku memilih Rizal Abdullah sebagai calon suamiku. Segala urusannya telah ku serahkan kepada Ibu. Keluarga kami tak mengatur pertemuanku dengan Rizal, bahkan ketika waktu akad telah ditentukan, hanya saja Ibuku yang pernah menemui Rizal, dan Ibu dari Rizal yang menemuiku. Akad dilaksanakan di rumahku, dan resepsi di laksanakan di gedung, karena undangan dari pihak lelaki lebih banyak, dan rumahku tak mencukupi bahkan yang ku dengar ada beberapa rombongan dari luar negeri dan luar daerah yang sampai menginap di hotel untuk menghadiri acara walimahan kami.

Kebahagiaan telah membuncah di hatiku, ada haru yang tak terkira ketika ia mengucapkan janji suci pernikahan, dan ketika kami dipertemukan, belum juga aku berani menatap wajahnya, air mata ini mengalir dengan sendirinya kerena begitu terharunya. Aku menyalaminya, mencium tangan kekasih halalku, ia membacakan doa kepadaku dan mencium keningku. (dakwatuna.com/hdn)

Mahasiswi di Universitas Palangka Raya senang dengan dunia kepenulisan selalu ingin belajar menyampaikan kebaikan dengan tulisan
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...