Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menggenggam Janji Syawal

Menggenggam Janji Syawal

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (photobucket.com)
Ilustrasi (photobucket.com)

dakwatuna.com – “Hey, kenapa kau melihatku seperti itu?”

‘Deg’… Aku langsung menundukkan pandanganku dan menatap ujung sepatuku. Tatapan kagumku ternyata telah terbaca olehnya.

“Ah, tidak apa-apa, hanya saja senyummu begitu indah, sungguh.” Aku menjawab dengan lirih lalu terdiam kembali. Sudah seminggu ini aku selalu menghampirinya. Sekedar menatapnya di atas balkon rumah atau mengamatinya sembari berjalan pelan itu sudah cukup menghibur laraku. Mungkin ia merasa risih dengan tatapanku yang aneh kepadanya. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku sampaikan. Mulai dari kerinduan hingga kegundahan yang tak berkesudahan. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mengungkapkan itu semua kepadanya? Kegundahan kini menari-nari di kepalaku. Ada kata-kata yang terbenam dalam dasar hati namun sulit untuk terbit lagi. Ya sulit. Karena aku merasa, menyampaikan segala yang kurasa kepadanya sama saja dengan menyesali hal yang sudah terlewatkan atau mungkin sudah PERGI.

“Ada yang ingin kau sampaikan padaku?”

Aku terkejut bukan kepalang saat ia bertanya, entah mengapa seolah ia mampu membaca pikiranku. Aku menghela nafas panjang dan mencoba merangkai kata. Kata-kata yang terbenam di dasar hati itu bergemuruh kuat dan memaksa agar terbit lagi!

“Mau kah kau sampaikan salam rinduku kepada Ramadhan?” ujar ku sambil tetap menatap ujung sepatuku-lagi.

“Tentu… hanya salam rindu?” Wajahnya yang ramah seketika berubah menjadi dingin.

“Dan permohonan maafku.”

“Hanya itu? Tidakkah kau ingin bertemu dengannya lagi di tahun yang akan datang?” Aku terhenyak. Mataku mulai berkaca-kaca saat mendengar pertanyaannya.

“Tentu, aku ingin bertemu lagi dengannya, bercengkrama lagi seperti saat ia datang.” Tak terasa rinai dari mataku membasahi pipi. Perasaan bersalahku semakin dalam. Bagaimana tidak? Saat Ramadhan datang, aku benar-benar tidak menyambutnya dengan baik. Bahkan aku hanya sibuk sendiri dengan urusan duniawi hingga Ramadhan terlalu lama menunggu di pelataran. Bulan Ramadhan datang sebagai bulan Al Quran, bulan kebaikan, bulan pengampunan. Lantas tak banyak yang ku lakukan untuknya. Aku sungguh tidak memberikan segala yang terbaik untuknya. Aku lalai dalam menyambutnya, hingga akhirnya ia pulang dengan rasa kecewa di hatinya. Kini ia sungguh pergi, tapi aku berharap bisa bertemu dengannya lagi tanpa membuatnya merasa perih.

“Aku akan sampaikan salam mu kepada sahabatku, Ramadhan. Asalkan kau hapus air matamu dan berjanji untuk menghidupkan semangatnya di setiap bulan, tunggulah ia dengan ke istiqomahan mu hingga Rabb mu mempertemukan engkau kembali dengannya. Apakah kau bisa memegang janji ini?”

“In shaa Allah, aku akan tetap menghidupkan semangatnya di setiap bulan… In shaa Allah… aku akan berusaha. Terimakasih Syawal.”

“Berterimakasihlah kepada Rabbmu.”

“Alhamdullilah hi robbil alamin. Segala puji hanya milik Allah.”

Lalu aku kembali menatap Syawal yang kini tersenyum ramah kepadaku. Oh, andai aku bisa memeluknya. Tapi tanganku tak sampai menggapainya. Malam itu aku tersenyum di atas balkon rumahku, masih bersamanya. Menatap lengkungan indah di wajahnya. Menggenggam janji bersamanya. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswi tingkat akhir di STBA LIA Jakarta, jurusan Sastra Inggris. Civitas YISC Al-Azhar AK Juli 2014. Hobi menulis cerita pendek sejak duduk di bangku SD kelas 5.

Lihat Juga

Refleksi 29 Mei 564 Konstantinopel: Seorang Muhammad Al-Fatih, Sosok ‘Sosial Engineer’

Figure
Organization