Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Wajah Sekularisme

Wajah Sekularisme

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (binapersatuan.com)
Ilustrasi (binapersatuan.com)

dakwatuna.com – Dalam sejarah peradaban Eropa terdapat satu masa kelam yang takkan pernah dilupakan oleh orang-orang Barat. Masa kelam yang menimbulkan trauma berkepanjangan yang tak kunjung hilang sampai saat ini. Masa itu dikenal sebagai masa kegelapan atau sering disebut The Dark Ages yang berlangsung selama kurang lebih 10 abad antara abad ke-5 M hingga abad ke-15 M. Disebut sebagai The Dark Ages disebabkan karena saat itu terjadi kemunduran kualitas hidup yang luar biasa di Eropa (lebih tepat di wilayah Romawi Barat).

Jika ditelusuri lebih lanjut terdapat beberapa indikasi lain yang menyebabkan The Dark Ages menjadi momok bagi orang-orang Barat. Saat itu kekuasaan Romawi Barat runtuh. Banyak penduduk Eropa ketika itu mengungsi ke pedalaman hutan dikarenakan terjadi perang berkelanjutan yang tak kunjung selesai. Selain itu juga muncul wabah penyakit Black Death yang menewaskan sepertiga penduduk Eropa. Sebagai akibatnya penduduk Eropa saat itu menganggap bahwa orang-orang yang terkena penyakit mendapatkan kutukan yang tidak dapat dihilangkan sehingga menjadi halal untuk dibunuh. Hal-hal yang berbau mistis menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat.

Sayangnya pada masa itu hegemoni gereja terjadi di kalangan masyarakat Eropa. Gereja saat itu merupakan institusi tertinggi yang berhak menentukan kebijakan dan hukum. Siapa pun yang saat itu bertentangan dengan gereja, maka akan diadili melalui pengadilan inkuisisi yang juga merupakan momok bagi masyarakat Eropa. Para pemuka gereja menjadi orang-orang yang paling dikultuskan keberadaannya. Semua perintah gereja pun harus ditaati tanpa kecuali. Alhasil, masyarakat Eropa akhirnya trauma dengan hegemoni gereja yang mengekang kebebasan untuk hidup. Hingga pada akhirnya Barat berhasil keluar dari The Dark Ages karena berhasil meruntuhkan hegemoni gereja sebagai institusi yang paling dibenci saat itu.

Tidak mengherankan memang ketika hegemoni gereja berhasil ditaklukan muncul banyak filosof-filosof Barat yang secara frontal mengeksploitasi agama dan mendiskretkan otoritas pemuka agama. Para filosof ini melakukan generalisasi dalam menafsirkan apa itu agama. Mereka menganggap bahwa semua agama itu sama dan dogmatis. Agama hanya memberikan doktrin-doktrin yang membatasi kebebasan berpikir manusia. Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan seperti “God is dead” yang disampaikan oleh Nietzche, pernyataan Karl Marx bahwa “Religion is opium for the people”, sampai teori psikologi Freud yang menyatakan bahwa “God is the tyrant of the soul” menjadi populer di Barat. Para filosof Barat inilah yang notabene merupakan non-agamawan dengan seenaknya berbicara tentang Tuhan dan agama tanpa ilmu.

Sejak para filosof ini menentang agama maka otoritas keagamaan tidak memiliki tempat lagi di hati masyarakat Barat. Muncul banyak sekali pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan agama seperti Protestanisme, Spiritualisme, Agnostisisme, Positivisme, sampai Nihilisme. Pemikiran-pemikiran ini menjadikan agama sebagai suatu hal yang tabu untuk dibicarakan. Para agamawan dianggap manusia berperadaban rendah dan tidak progresif terhadap perkembangan zaman. Agama diposisikan inferior terhadap segala hal sehingga menyebabkan orang-orang Barat tak lagi mengindahkan agama secara menyeluruh.

Inilah tabiat sekularisme yang saat ini menguasai alam pikiran orang-orang Barat. Suatu pernyataan yang salah jika ada yang menyebutkan bahwa Barat merupakan peradaban Kristen. Justru Kristen lah yang saat ini terbaratkan. Kristen terpaksa harus mengikuti arus perkembangan pemikiran sekular yang telah melarut dalam alam pikiran Barat. Nyatanya para pendeta Kristen di Barat masih terus menyesali “Spirituality has gone to the east”. Bahkan sampai orang-orang Kristen pun banyak yang menganggap bahwa sekularisme merupakan konsekuensi tertinggi ajaran Kristen.

Dr. Adian Husaini dalam bukunya, Wajah Peradaban Barat, menjelaskan secara rinci tiga penyebab utama mengapa Barat pada akhirnya memilih untuk mejadi sekular. Terdapat tiga poin yang masing-masing dirinci oleh beliau. Ketiga poin ini mengacu kepada hegemoni gereja yang ditunjukkan pada masa The Dark Ages. Pertama, problem sejarah Kristen. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa saat The Dark Ages terjadi banyak kekerasan yang dilegitimasi oleh gereja. Selain itu pun banyak penyimpangan yang dilakukan oleh para pemuka agama Kristen yang memiliki peran sebagai wakil Tuhan. Dampaknya kepercayaan masyarakat Eropa saat itu terhadap pemuka agama Kristen luntur seketika. Kedua, problem teks bibel. Hal ini disebabkan ayat-ayat dalam bibel satu sama lain saling bertentangan. Selain itu kandungan isi bibel tidak mengajarkan moralitas yang baik dan banyak bertentangan dengan sains. Ketiga, problem teologis Kristen. Aspek-aspek teologis dalam agama Kristen bukanlah bersumber dari Tuhan, tetapi hasil konsensus dan kesepakatan para pemuka agama. Maka, tidaklah mengherankan jika trinitas dan semua aspek-aspek teologis dalam agama Kristen amat sulit untuk dipahami dengan akal sehat.

Barat sebenarnya mengakui bahwa dunia mereka saat ini memang telah jauh dari agama. Pengakuan mereka bukan karena ketidakpercayaan terhadap aspek aksiologis yang bersumber dari ajaran agama. Bukanlah demikian yang mereka yakini. Namun, mereka meyakini dan berusaha memahamkan banyak orang bahwa agama harus ditempatkan sesuai dengan porsi nya, yaitu ranah privat. Maka, jadilah gerakan sekularisasi pemikiran juga memperjuangkan privatisasi agama. Merujuk buku Havey Cox, The Secular City, ia menggambarkan dengan jelas bahwa sekularisme memiliki tiga tujuan utama, yaitu disenchantment of nature, desacralization of politics, dan deconsecration of values. Ketiga tujuan ini berhasil mempengaruhi alam pikiran Barat sehingga worldview mereka berlandaskan kepada materialisme dan individualisme yang mematikan rasa belas kasih dan persaudaraan manusia.

Sampai sejauh mata memandang keberadaan sekularisme akan selalu menghegemoni kehidupan Barat. Di dalam kehidupan individu, sekularisme menyuburkan tumbuhnya penyakit ruhani, kata Mohammad Natsir. Ia menjelaskan bahwa manusia membutuhkan suatu pegangan hidup yang asasnya tidak berubah. Natsir berpesan bahwa jika manusia tidak memiliki pegangan hidup, maka mudah sekali baginya mengalami keguncangan ruhani. Inilah akibat dari paham sekularisme dalam kehidupan individu manusia.

Penolakan Natsir terhadap sekularisme tidak hanya sebatas pada ranah individu. Ia juga menegaskan bahwa sekularisme memiliki pengaruh yang sangat berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bukunya, Islam Sebagai Dasar Negara, diterangkan bahwa sekularisme menurunkan sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ketuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata. Dengan menurunkan nilai-nilai adab dan kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat, maka pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut akan merosot. Manusia akan merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai yang bersumber dari wahyu Ilahi. Ia menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang harus dijunjung tinggi, tetapi sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah ciptaan manusia sendiri.

Berdasarkan pernyataan Natsir, tentu dapat disimpulkan bahwa paham sekularisme juga menjadi cikal bakal lahirnya humanisme. Masyarakat humanis mendudukkan tolak ukur pemikiran mereka kepada relativisme. Mereka meyakini bahwa semua nilai kebenaran berdasarkan tolak ukur manusia. Manusia, kata mereka, memiliki peranan sentral dalam menentukan batasan-batasan nilai kebenaran yang mereka yakini. Nilai kebenaran yang diyakini oleh manusia itu relatif. Akibatnya tidak ada istilah kebenaran absolut bagi mereka. Manusia berkuasa atas dirinya sendiri. Sungguh benar pernyataan Hamid Fahmy Zarkasyi, “Semakin humanis seorang manusia, semakin dekat ia kepada ateisme.”

Itulah wajah sekularisme yang merusak tatatan kehidupan. Seyogianya setiap Muslim harus terus waspada terhadap paham sekularisme ini. Sejatinya sekularisme adalah ideologi yang lahir di Barat dan merupakan produk spesifik dari pengalaman masyarakat Barat. Maka, tak sepantasnya umat Islam mengadopsi ideologi sekularisme ini karena merupakan produk hasil refleksi sejarah masyarakat Barat yang penuh intrik dan kesengsaraan. Sekularisme jugalah yang mengubah wajah peradaban Barat saat ini sehingga Kristen pun ikut terwarnai menjadi terbaratkan. Maka dari itu, Islam selamanya bertentangan terhadap sekularisme. Tidak sepatutnya seorang muslim menjadi sekular hanya karena iming-iming fana yang disuguhkan sekularisme. Kembali kepada jalan Islam adalah satu-satunya jalan untuk meniti jalan kebenaran mencapai kebahagiaan hakiki kelak di akhirat. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Medan, 8 Maret 1996. Saat ini tinggal di Kota Bandung. Pernah menempuh pendidikan di Yayasan Ummul Quro Bogor, Ma'had Husnul Khotimah Kuningan dan Insan Cendekia Serpong. Memiliki minat dalam sains dan energi serta selalu berusaha mengungkapkan kebenaran ilmiah dengan cahaya ilmu yang berada di Al-Qur'an. Berbagai perlombaan dan prestasi telah diraih olehnya dan Insha Allah dapat menorehkan prestasi yang lebih membanggakan. Dalam hidup berusaha untuk dapat menjadi yang terbaik dintara yang lain dalam ketaqwaan kepada Allah. Semoga Allah memudahkan sekaligus meridhoi apa-apa yang dilakukan olehnya dan ia pun ridho atas apa yang Allah SWT tentukan untuknya. Saat ini sedang berusaha menggeluti dunia tulis menulis dengan baik dan selalu menjadi mujahid yang haus akan ilmu dan hikmah. Penulis merupakan salah satu mahasiswa dan aktivis dakwah kampus di Institut Teknologi Bandung ??? ???? ?? ????? ??? ? ???? ??

Lihat Juga

Setelah 94 Tahun Berjaya, Dapatkah Sekularisme Turki Bertahan?

Figure
Organization