Medan Perang Intelektual Dakwah Kampus

Ilustrasi. (ridwansyahyusufachmad.wordpress.com)

dakwatuna.com – Mahasiswa merupakan salah satu komponen masyarakat yang tidak dapat dinafikan keberadaannya. Posisi mahasiswa dalam struktur kemasyarakatan adalah sebagai civil society of academia atau masyarakat sipil yang terpelajar. Posisi ini memiliki daya tawar tersendiri dalam paradigma masyarakat secara umum. Terlebih mahasiswa merupakan subjek utama dalam medan intelektual paling tinggi, yaitu kampus perguruan tinggi.

Dalam satu dekade terakhir ini, muncul suatu fenomena sosial yang cukup menggelitik bagi kalangan cendekiawan muslim. Cukup banyak bermunculan tokoh-tokoh naif yang merupakan lulusan kampus-kampus ternama justru mencoreng nama cendekiawan muslim, bahkan lebih-lebih mencoreng nama Islam. Mereka menyatakan diri termasuk dalam kalangan cendekiawan muslim, tapi naif dalam pola pikir dan sikap mereka. Produk pemikiran mereka yang dihasilkan pun tidak memberikan maslahat kepada masyarakat untuk berproses menjadi peradaban madani. Justru sebaliknya, mengantarkan masyarakat menuju jurang kebodohan dan kenestapaan.

Realita ini menuntut sebuah analisis yang mendalam. Mengapa mereka yang merupakan lulusan kampus perguruan tinggi ternama justru bersikap ambivalen dan bahkan ada yang secara eksplisit ataupun implisit menyatakan bahwa mereka kontra dengan Islam? Selain itu muncul juga pertanyaan mengapa mereka yang seperti itu kebanyakan merupakan seorang muslim juga? Jawaban yang sesuai dari dua pertanyaan ini adalah bahwa kampus pada dasarnya merupakan sebuah medan perang intelektual yang seyogyanya dapat dimenangkan oleh para aktivis dakwah. Kampus merupakan salah satu objek paling penting dalam proses islamisasi. Maka, ketika kampus sama sekali tidak menyentuh nilai-nilai keislamaan dan sains secara baik, lulusannya tentu tidak akan pernah muncul dengan afiliasi mereka terhadap nilai-nilai yang integral dan universal dari Islam.

Medan perang intelektual ini akan selamanya terjadi di perguruan tinggi. Maka, keniscayaan adanya dakwah kampus merupakan suatu tuntutan yang harus dilaksanakan para aktivis dakwah. Para aktivis dakwah ini akan mengalami banyak sekali fenomena sosial para mahasiswa yang jauh dari nilai-nilai Islam akibat produk Ghazwul Fikri. Visi utama dakwah kampus ini adalah bagaimana proses islamisasi sains di kampus termanifestasikan dengan baik dengan terjadinya integrasi seluruh aspek keilmuan dalam proses pendidikan, khususnya antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Karena pada dasarnya Islam tidak mengajarkan paradigma yang dikotomis dalam memandang ilmu. Dalam khazanah pemikiran Islam, terdapat konsep kehidupan ad-dunya wal akhirah.

Dua bagian ini merupakan kesatuan yang sama sekali tidak dapat dipisahkan. Maka, pendidikan umum pada hakikatnya adalah pendidikan agama juga. Dari visi utama ini diharapkan dapat terbentuk suatu model peradaban kecil masyarakat madani dalam lingkup kampus. Sebuah kampus biru yang tidak hanya melarutkan semua aspek keilmuan, tapi juga mengintegrasikan seluruh ilmu yang pada dasarnya merupakan milik Allah SWT.

Di atas telah disebutkan bahwa ketika kampus sama sekali tidak menyentuh nilai-nilai keislamaan dan sains secara baik, lulusannya tentu tidak akan pernah muncul dengan afiliasi mereka terhadap nilai-nilai yang integral dan universal dari Islam. Ini adalah sebuah refleksi dari salah satu misi keberadaan dakwah kampus, yaitu sebagai wadah proses pembentukan kepribadian mahasiswa agar kelak menjadi lulusan perguruan tinggi yang memiliki afiliasi kepada Islam.  Misi lainnya adalah optimasi peran kampus yang terangkum dalam tridharma perguruan tinggi dalam upaya transformasi menuju bangsa berperadaban tinggi dengan masyarakatnya yang madani. Dua misi ini menjadi titik tolak pergerakan dakwah kampus dalam merespon keniscayaan medan perang intelektual yang selama ini terjadi kampus.

Kelak ketika medan perang intelektual ini berhasil dimenangkan sepenuhnya oleh para aktivis dakwah, kampus dapat diselematkan dari belenggu-belenggu filsafat materialisme dan sekularisme yang kini menampakkan ekses dan krisis, dilihat dari kepentingan maslahat dan kesejahteraan masyarakat. Tidak akan lagi muncul lulusan-lulusan kampus yang naif dengan sikap dan pemikiran mereka yang medekonstruksi masyakarat. Dengan begitu cita-cita peradaban masyarakat yang madani seyogyanya dapat terwujud kembali dengan kemenangan dakwah medan perang intelektual ini. Jika medan perang intelektual ini selalu eksis dan selamanya ada, maka Islam yang berhak memenangkannya. Karena selama ini telah terbukti bahwa produk pemikiran manusia itu terbatas dan tidak memberikan sistem yang utuh untuk kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, keberadaan Islam merupakan satu-satunya sistem dan tatanan kehidupan bersumber langsung dari Allah SWT yang dapat memberikan kebagiaan hakiki di dua dimensi secara bersamaan, yaitu kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

 

Lahir di Medan, 8 Maret 1996. Saat ini tinggal di Kota Bandung. Pernah menempuh pendidikan di Yayasan Ummul Quro Bogor, Ma'had Husnul Khotimah Kuningan dan Insan Cendekia Serpong. Memiliki minat dalam sains dan energi serta selalu berusaha mengungkapkan kebenaran ilmiah dengan cahaya ilmu yang berada di Al-Qur'an. Berbagai perlombaan dan prestasi telah diraih olehnya dan Insha Allah dapat menorehkan prestasi yang lebih membanggakan. Dalam hidup berusaha untuk dapat menjadi yang terbaik dintara yang lain dalam ketaqwaan kepada Allah. Semoga Allah memudahkan sekaligus meridhoi apa-apa yang dilakukan olehnya dan ia pun ridho atas apa yang Allah SWT tentukan untuknya. Saat ini sedang berusaha menggeluti dunia tulis menulis dengan baik dan selalu menjadi mujahid yang haus akan ilmu dan hikmah. Penulis merupakan salah satu mahasiswa dan aktivis dakwah kampus di Institut Teknologi Bandung ??? ???? ?? ????? ??? ? ???? ??
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...